Chapter 3 : Mommy Tiri (2)

2057 Words
Sisi berjalan menuju ke area kolam renang dengan mengendapendap. Menaikkan gamis panjang yang dia pakai lalu melepas sandalnya. Jalan berjinjit agar suara langkahnya tidak terdengar oleh sosok yang sedang asyik berenang kesana-kemari di kolam kecil rumahnya itu. Sudut bibir Sisi terangkat saat melihat Aisha berenang dengan begitu bersemangat. Bocah itu memutari kolam renang dengan memakai pelampung. Seperti tidak kenal lelah. Aisha justru terlihat senang. Tidak nampak kelelahan sedikitpun. Sisi duduk di kursi persegi yang menghadap ke kolam. Mengamati gerak-gerik Aisha yang asyik bermain air. Dia begitu ingin main dengan Aisha, dia ingin dekat dengan bocah itu. Namun Aisha selalu menolaknya. Padahal dulu saat dibawa pertama kali ke rumahnya oleh Ali ketika melamar, Aisha terlihat menyukainya. Entah kenapa sekarang anak itu jadi berubah. Sisi ikut tertawa melihat Aisha tertawa-tawa saat memainkan bola di dalam kolam renang. Dia sangat menyayangi anak-anak. Dulu saat masih mengajar di sekolah dasar, Sisi bahkan dianggap sebagai ibu kedua para muridnya. Karena dia begitu penyayang dan baik pada anak-anak. Sisi membatin dalam hatinya, seandainya saja Aisha bisa menerimanya, dia pasti sangat bahagia. Memiliki anak secantik dan sepintar Aisha. Dia jadi membayangkan, seperti apa wajah ibu kandungnya. Apakah secantik Aisha, atau mungkin bahkan lebih cantik? Wanita itu mendesah pelan. Jika memang ibu kandung Aisha begitu cantik, pantas saja Ali tidak tertarik padanya. Sisi yang gadis biasa dan sederhana. Dengan baju gamis dan jilbab panjangnya yang pastinya tidak menarik di matanya. "Kakak ipar!" Sisi tersentak kaget saat tepukan di bahu mengagetkannya. Di belakangnya, Ira, adik sepupu Ali datang bersama dengan suaminya. Wanita itu langsung duduk di sampingnya. "Mbak Ira..." ucap Sisi. Ira berdecak pelan. "Jangan panggil Mbak, dong. Kayak aku udah tua aja!" gerutunya. Sisi tersenyum tipis. "Kan memang Mbak Ira lebih tua dari aku," balasnya. "Ya tapi kan kamu istrinya Abangku. Jadi harusnya aku yang panggil Kakak." "Tapi kamu kok nggak pernah panggil Abang ke Mas Ali?" tanya Sisi pada Ira. Ira meringis. "Soalnya Ali itu ngeselin! Males banget kalo harus panggil Abang ke dia!" Sisi terkikik. "Masa sih Mas Ali ngeselin?" Ira mengangguk cepat. "Iya, Si. Sumpah! Masa kamu nggak ngerasa sih?" Sisi menggeleng pelan membuat Ira kembali berdecak. "Ish... tanya Gio aja kalo nggak percaya! Iya kan, Sayang?" kini Ira ganti berbicara pada suaminya. Gio mengangguk cepat. Dia sangat setuju dengan pendapat istrinya. "Iya, Kak Sisi. Si Ali itu orangnya ngeselin banget. Udah dingin, kalo ngomong ketus, mana mukanya datar banget lagi! Untung aja dia ganteng," ujarnya. Sisi dan Ira tertawa terbahak mendengar ucapan Gio. Suara tawa mereka sampai terdengar ke telinga bocah mungil yang sedari tadi tak henti bermain air. Mata Aisha berbinar saat melihat Gio. "Om Gio!" teriaknya dari tengah kolam. Gio melambai pada Aisha. Dan bocah itu pun langsung berenang ke tepian. Lalu naik ke atas. Langsung berlari menyongsong Gio. Aisha tertawa-tawa saat Gio menggendongnya ke atas bahunya. Sisi tersenyum kecil melihatnya. Dia ikut senang melihat Aisha begitu gembira. Matanya indahnya masih terus mengikuti Gio dan Aisha yang berjalan masuk ke dalam rumah. "Aisha akrab banget ya sama Gio," ujarnya. Wanita itu berdiri dan mengajak Ira untuk masuk ke dalam rumah. Mengikuti Gio dan Aisha. Ira mengangguk cepat. "Iya. Akrab banget mereka. Aisha kan anaknya supel. Dia bisa langsung dekat sama orang yang baru dia kenal." "Oh ya?" tanya Sisi yang langsung dibalas anggukan oleh Ira. Tapi kenapa anak itu nggak bisa dekat sama aku, batinnya. "Tapi kayaknya Aisha nggak terlalu dekat sama kamu ya, Ra?" Ira tersenyum kecut. Bibirnya mengerucut ke depan. Ekspresi mukanya berubah menjadi sebal. "Itu karena dia musuh bebuyutannya Aisha, Kak Si. Mereka kan nggak pernah akur." Gio tiba-tiba berada di dekat mereka menyahuti pertanyaan Sisi. Bagian pundak kemejanya basah karena menggendong Aisha tadi. Dan wajah kesal Ira pun makin menjadi. "Iya. Monster kecil itu sama ngeselinnya kayak Bapaknya!" gerutu Ira. Sisi tertawa geli. Wanita itu tak kuat melihat muka kesal Ira yang sekarang sedang dipeluk suaminya. Dalam hatinya Sisi begitu iri melihat Ira dan Gio. Ira beruntung memiliki suami seperti Gio. Gio terlihat begitu menyayanginya. Seandainya saja Ali juga seperti itu, pasti dia akan sangat bahagia. Tapi Sisi tau itu tidak akan mungkin terjadi. Dia sadar siapa dirinya. Dia hanya gadis kampung, anak supir yang sedang beruntung bisa menjadi istri dan menantu orang kaya. Ya. Dia hanya sedang beruntung saja. Entah sampai kapan keberuntungan itu akan berpihak padanya. *** "Si..." Wanda mencolek bahu Sisi yang sedang serius menonton kartun di TV bersama Aisha, Gio dan Ira. Sisi menoleh pada ibu mertuanya. "Iya Ma?" "Mas mu udah pulang loh! Tuh!" ujar Wanda. Tangannya menunjuk pada sosok Ali yang berjalan menaiki tangga. Setelah sebelumnya melirik mereka. Sisi mengangguk. Dia sudah paham tugasnya saat suaminya pulang kerja. "Ya udah, Ma. Sisi ke atas ya! Nyusul Mas Ali." Wanda mengangguk dengan senyuman lebar. Dia begitu bangga memiliki menantu seperti Sisi. Yang begitu menghormati mertua dan juga suami. Sisi memang istri idaman. Menyiapkan semua kebutuhan suaminya. Melayaninya dengan sepenuh hati. Gadis itu begitu sabar menghadapi Ali yang dingin dan cuek. "Oma!" Wanda tergagap saat mendengar suara Aisha. "Kenapa, Sayang?" "Mommy tiri kemana?" tanya bocah itu dengan mata berkeliling. Mencari-cari sosok Sisi. Wanda tersenyum tipis. Mengangkat tubuh mungil Aisha dan menggendongnya. "Mommy Sisi lagi ke kamar. Soalnya Daddy Ai udah pulang," jawabnya. Aisha hanya manggut-manggut sebentar. Wanda yang gemas padanya pun langsung menciumi pipi Aisha dengan membabi buta. Membuat anak itu tertawa geli. "Udah. Ayo nonton lagi! Biarin Daddy sama Mommy berdua. Jangan diganggu!" ujar Wanda membawa Aisha kembali ke ruang tengah. *** Sisi membuka pintu kamarnya perlahan. Gadis itu langsung menghampiri Ali yang baru saja melepas sepatunya. Dengan senyuman lebarnya, Sisi mencoba bicara pada Ali. "Mas, mau langsung mandi? Aku siapin airnya ya?" ujarnya dengan lembut. "Hm." Ali berucap datar membalas perkataannya. Tanpa menoleh sedikitpun pada Sisi. Sisi duduk di pinggir ranjang. Menunggu Ali selesai mandi. Sambil menyiapkan baju ganti untuk suaminya itu. Gadis itu sibuk dengan pikirannya sendiri. Sudah hampir seminggu dia menjadi istri Ali. Namun tidak ada perubahan sedikitpun terhadap hubungan mereka. Tidak Aisha, tidak Ali, keduanya sama-sama menolak kehadirannya. Walau bagaimanapun pengorbanannya, Sisi tidak pernah mendapat sambutan baik dari dua orang itu. Seperti malam-malam yang lalu, Sisi berusaha menjadi ibu yang baik untuk Aisha. Dengan berniat membacakan dongeng sebelum tidur untuk bocah itu, namun ditolak mentah-mentah oleh Aisah. Dia hanya mau Ali yang membacakan dongeng sebelum tidur untuknya. Mata Sisi beralih ke arah pintu kamar mandi setelah mendengar suara pintu membuka. Gadis itu terhenyak saat melihat Ali masuk ke dalam kamar dengan santainya hanya memakai sebuah handuk kecil yang menutupi tubuh bagian bawahnya. Sedangkan tubuh bagian atasnya dibiarkan telanjang. Buru-buru Sisi memalingkan wajahnya yang memerah karena malu. Wanita itu mencoba menunduk. Menyembunyikan wajahnya yang dia rasa panas. Ali mengernyit melihat ekspresi Sisi yang aneh. Pria itu dengan tanpa dosanya berjalan ke arah Sisi. Menyahut kaos oblong berwarna hitam di atas ranjang tepat di samping Sisi. Kemudian memakainya dengan santai. Lalu Ali melepas handuknya. Memakai celana pendek yang disiapkan Sisi dengan segera. Pria itu terheran melihat Sisi yang malah kini menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. "Kenapa kamu?" tanya Ali bingung. Sisi menggeleng pelan. Dengan wajah yang masih tertutup dengan tangan. Ali mengendikkan bahunya melihat kelakuan aneh istrinya. Namun pria itu tak ambil pusing. Ali berjalan ke ujung ruangan dekat kamar mandi. Menyampirkan handuk bekasnya ke jemuran kecil yang ada disana. Setelah selesai, Ali kembali ke ranjang. Merebahkan dirinya disana. Bersandar nyaman dengan memakai bantal sebagai tumpuan di punggungnya. Ali meraih remote TV dan menyalakannya. Sisi menyingkirkan tangan dari wajahnya saat mendengar suara TV dinyalakan. Gadis itu bingung melihat Ali sedang bersantai sambil menonton TV. "Loh... Mas nggak turun? Itu ada Ira sama Gio! Mas juga belom makan kan?" Ali berdecak. "Ngapain turun kalo ada duo rombeng itu? Bikin sumpek aja!" balasnya ketus. Sisi menggeleng pelan. Mereka ini bersaudara. Namun tidak bisa akur. Seperti kucing dan tikus. "Mas... jangan gitu. Biar gimana juga kan mereka saudara Mas Ali. Mereka juga bertamu di rumah ini. Jadi udah sewajarnya kita menyambut mereka," ujar Sisi. Ali mendengus. "Kamu nggak usah ikut campur deh! Mau aku disini, mau aku keluar, apa urusan kamu!" balasnya ketus. Sisi terdiam sejenak. Gadis itu tersenyum tipis pada Ali. Dia beranjak dari tempat duduknya dengan wajah sendu. Ali melirik Sisi dengan sudut matanya saat wanita itu diam tak menjawab kata-katanya. Entah kenapa hatinya terasa nyeri saat melihat wajah sedih Sisi yang disebabkan olehnya. "Si..." Ali menghentikan Sisi yang akan berjalan keluar kamar. Sisi berbalik menatap Ali. Dan saat itu pula Ali membuang wajahnya ke samping. Enggan bertatapan dengan Sisi. "Ya Mas?" Ali mengambil nafas dalam. Kemudian menghembuskannya perlahan. Mencoba bersikap tenang. "Aku udah makan tadi. Kamu nggak perlu siapin makan malam buat aku. Istirahatlah!" ucapnya memberi tahu Sisi. Sisi tertegun. Gadis itu membatu di tempatnya berdiri. Sisi menatap Ali dengan wajah syoknya. Matanya berkedip pelan. Dia membatin, apa baru saja Ali menyuruhnya istirahat? Ali memperhatikannya? Baru saja sudut bibirnya berkedut. Akan tertarik ke atas. Namun urung mendengar Ali kembali membuka suara. "Muka kamu nggak bisa biasa aja ya! Ada yang salah sama ucapanku?" ucap Ali ketus. Sisi menghela nafas pendek. Wanita itu menggeleng pelan. "Nggak, Mas. Maaf..." lirihnya. Ali mendengus. "Kayak aku ini alien aja. Ngeliatnya sampai syok gitu!" omel Ali pada Sisi. Sisi menggigit bibirnya. Berlalu menuju ke arah pintu sembari menunduk. "Nggak sadar kalau dia emang kayak alien?" gerutunya pelan. "Apa kamu bilang!" Sisi menoleh dengan cepat. Gadis itu buru-buru menggeleng. "Ng-nggak kok, Mas. Aku nggak ngomong apa-apa," balasnya gugup. Ali terdiam. Menatap Sisi tajam. Bibirnya terkatup rapat seolah seperti macan yang sudah siap menyerang mangsanya. Sisi yang ketakutan pun bergegas keluar dari kamar. Kembali ke bawah dimana semua anggota keluarga sedang berkumpul. *** "Aisha!" Langkah Aisha yang akan menuju gerbang sekolahnya terhenti saat suar panggilan Ciara, teman sekelasnya. Bocah berkucir kuda itu terlihat berlari kecil menghampiri Aisha. "Kamu dijemput Mommy tiri kamu lagi ya?" tanyanya pada Aisha. Aisha mengendikkan bahunya. "Enggak tau," balasnya. "Kok kamu mau sih, Ai? Bukannya Mommy tiri kamu jahat ya?" Aisha terdiam. Sejenak, bocah itu terlihat berpikir. "Mommy tiri sebenernya enggak jahat sih," balas Aisha. "Ah masa sih Mommy tiri kamu nggak jahat? Bukannya semua Mommt tiri itu jahat ya? Kayak Mommy tirinya Adam. Dia kan jahat banget. Adam aja sering dikunci di kamar. Ngga boleh main," celoteh Ciara. Aisha kembali mengendikkan bahunya. "Kata Daddy sih, Mommy tiri baik. Sayang sama aku." "Apa Daddy kamu nggak bohong?" tanya Ciara. "Daddy nggak pernah bohong sama aku." "Daddy kamu pasti bohong. Semua Mommy tiri itu jahat, Ai. Jangan percaya sama yang dibilang Daddy kamu." Aisha terdiam. Matanya yang lucu berkedip pelan. Samar-samar dilihatnya sosok Sisi, mommy tirinya sedang berdiri di depan gerbang sekolah. Sepertinya menunggu dirinya. "Ai, aku pulang duluan ya! Aku dijemput sama Papaku." Ciara berlari kecil meninggalkan Aisha setelah berpamitan. Aisha diam mematung di tempatnya. Menatap Sisi dari kejauhan. Dia teringat akan Adam, temannya yang memang memiliki ibu tiri yang jahat. Aisha menghela nafas panjang. Bocah itu berjalan mengendap-ngendap menuju gerbang sekolahnya siang itu. Dia berniat pulang sendiri tanpa Sisi. Aisha mengintip Sisi yang berdiri menunggunya dari balik pintu gerbang. Saat ada kesempatan, Aisha segera menyelinap keluar tanpa sepengetahuan Sisi. Bocah mungil itu berlari menjauh dari sana. Aisha mendesah lega saat Sisi tidak menyadari jika dia sudah keluar. Mommy tirinya itu masih menunggu disana. Aisha berjalan dengan langkah riang di sepanjang trotoar. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti saat tubuhnya menabrak seseorang yang berdiri di hadapannya. Wajah orang itu terlihat seram. Dia mendekati Aisha, berjongkok di hadapannya. "Eh adik kecil mau kemana?" tanyanya. Aisha diam tidak menjawab. Dia teringat akan ucapan Daddynya yang melarangnya berbicara dengan orang asing. Aisha hanya menggeleng pelan. "Om anter yuk!" Aisha kembali menggeleng. "Ai mau pulang sendiri," jawabnya. "Loh, kenapa? Ikut sama Om aja yuk! Om anterin pulang." Aisha menggeleng kencang. Bocah itu mulai ketakutan saat orang seram itu makin maju mendekatinya. Jangan-jangan Om ini, monster penculik kayak yang dibilang Daddy? Aisha membatin. Kalau gitu, Ai harus lari secepatnya! Ai nggak mau diculik! Aisha mengambil ancang-ancang untuk berlari, namun sosok seram itu sudah terlebih dahulu menangkap lengannya. Aisha menjerit-jerit berusaha berontak dari cengkeramannya. "Tolong! Daddy! Tolong Ai! Daddy! Mommy tiri! Tolong Ai!" Aisha tidak mampu lagi berteriak karena mulutnya dibekap oleh orang seram itu. Sisi yang merasa mendengar suara Aisha langsung menoleh. Wanita itu mengedarkan pandangannya, mencari-cari sosok Aisha. Kemudian tanpa sengaja matanya bertemu dengan sosok pria bertubuh besar sedang menggendong anak kecil. Sisi membelalak saat melihat tas sekolah anak yang ada bersama pria itu. Dia tau tas itu milik Aisha. Wanita itu langsung menjerit kencang. "Aisha!!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD