17. Pengecut!

1219 Words
“Dia pikir aku main-main!” “Dia sungguh tidak tahu, dia sedang berhadapan dengan siapa?” “Dia menggoda Dini. Dia berusaha merebut Dini dariku dan dia sengaja membuatku marah!” Levian yang duduk di tempat duduk penumpang bagian belakang sopir mobil miliknya, memang diam. Namun, tidak dengan hatinya yang sibuk mengumpat. Setelah beres makan malam bersama keluarga kecilnya lengkap dengan kedua orang tuanya, Levian sengaja pamit. Dalam pamitnya Levian berdalih akan mengurus pekerjaan dadakan. Padahal sebenarnya, Levian hendak menghampiri pak Bagas ke rumah dosen itu. Setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam lamanya, akhirnya Levian sampai di perumahan menengah dan terbilang padat pemukiman. Levian sengaja meminta sang sopir untuk berhenti di sebelah rumah pak Bagas. Hal tersebut sengaja Levian lakukan agar tidak membuat pak Bagas curiga. Sementara pria yang membawa dus paket lumayan besar ke rumah pak Bagas juga merupakan orang Levian. Levian yang baru keluar dari mobil, bertatapan dengan pria berkulit hitam yang bertugas menjadi tukang paket. Selanjutnya, yang Levian lakukan ialah menunggu di gerbang sebelah rumah pak Bagas. “Paket untuk Bagas Abraham,” ucap pengantar paketnya ketika seseorang di depan pintu sana, tampak bergegas. Dari balik jeruji gerbang rumah, Levian sudah bisa melihat sosok pria yang mengaku sebagai Bagas. Pria yang dari suaranya saja sudah langsung membuat tubuhnya gemetaran, selain darah dalam tubuhnya yang seolah didihkan. “Ternyata masih orang yang sama? Ngakunya pindah ke Bandung dan jadi enggak pernah respons WA apalagi teleponku?!” lantang Levian sudah langsung meledak-ledak sambil mendekat ke pintu gerbang. “Y—ya ampun! L—Levian ... apakah dia sengaja menjebakku? Bagaimana dia tahu aku di sini? Ah, dia ke sini karena Dini?” batin pak Bagas sudah langsung ketakutan—kacau. Jantung pak Bagas berdetak sangat cepat sekaligus keras. Tubuh gemetaran, sementara kedua kakinya terasa begitu kaku untuk diajak melarikan diri. “Jangan pergi! Jangan lari! Jangan jadi pengecut! Kemari hadapi aku! Apa maksudmu menggoda istriku dan menjadikan skripsi sebagai alasannya!” teriak Levian sambil memanjat b e ri n g as gerbang rumah pal Bagas yang kiranya hanya setinggi dua meter. Levian saja bisa melongok ke belakang gerbangnya, tanpa harus memanjat dan cukup berjinjit. “K u r a n g a j a r! B a j i n g a n! Jika dia memang tidak bersalah, dia tak mungkin lari ketakutan begitu!” Di tengah napasnya yang memburu, Levian mundur sambil mengawasi rumah berlantai dua dan kanan kirinya merupakan rumah tetangga. “Kamu memang boleh bersembunyi di rumah. Namun aku pastikan, itu hanya sementara karena aku akan meratakannya!” lirih Levian benar-benar emosi. Kedua tangannya yang memakai jaket hitam, mengepal kencang di sisi tubuh. Levian memutuskan untuk menghubungi orang kepercayaannya melalui sambungan telepon suara di ponselnya. “Kirim aku satu ekskavator ke alamat—” Kedua mata tajam Levian mengawasi sekitar, memastikan alamat pasti di sana. Namun kemudian, ia sengaja membagikan lokasi terkini ia berada. Sekitar dua jam kemudian, apa yang Levian harapkan datang. Sebuah eksavator diboyong secata khusus ke sana. Tanpa pikir panjang, Levian sudah langsung menyuruh orang yang akan mengendalikan eksavator, untuk meratakan rumah pak Bagas. “Mau sampai kapan dia di depan? Dari dulu dia benar-benar tidak berubah!” batin pak Bagas masih sesekali melongok dari jendela sebelah pintu yang sedikit ia tarik. Pak Bagas sama sekali tidak curiga meski di depan sana jadi terdengar ramai suara mirip kendaraan berat. Pak Bagas tak sedikit pun berpikir, Levian akan nekat meratakan bangunan rumahnya. Apalagi jika itu sampai terjadi, ia bisa menjebloskan Levian ke dalam penjara dengan sangat mudah. Karenanya, pak Bagas sengaja bersiap tidur. Membasuh wajah dengan sabun khusus sambil bercermin di cermin depan wastafel, ia jalani. Ia melakukan perawatan khusus tersebut karena untuk menunjang penampilan yang juga menjadi bagian dari harga matinya. “Kok goyang-goyang, ya? Ada gempa, apa bagaimana?” lirih pak Bagas dengan mulut penuh busa. Selain sempat berhenti membasuh wajah, pak Bagas juga jadi mengawasi sekitar. Termasuk langit-langit ruang keberadaannya dengan teliti. Namun karena ia rasa hanya gempa kecil, pak Bagas mengabaikan getaran yang memang sudah membuat rumahnya goyang-goyang. Pak Bagas lanjut dengan menggosok gigi, dan berakhir dengan bersiap tidur. “Gruuubaaaaakkkkkk!” Ada suara jatuh dan sampai membuat pak Bagas yang sudah sempat memejamkan kedua matanya, terperanjat. Pak Bagas refleks keluar untuk memastikan. Namun, baru juga keluar dari kamar, pak Bagas yang yakin ada gempa lanjutan lebih besar, mendapati bagian rumahnya di luar kamarnya, runtuh total. Seiring suara berisik khas suara dari mesin berat, kedua mata pak Bagas berangsur memastikannya. Meski belum apa-apa, pak Bagas sudah menerka. Bahwa ada mesin berat di sebelah kirinya selaku rumah bagian depan miliknya. Mesin berat yang ia curigai telah menjadi alasan rumah termasuk atapnya, roboh. Tak jauh dari eksavator yang berhenti beroperasi tapi suara mesinnya masih terdengar, Levian yang memakai jaket hitam berdiri angkuh sambil bersedekap. Levian menatap pak Bagas penuh kemenangan. “B a j i n g a n!” batin Bagas sambil menatap Levian penuh dendam di tengah kedua tangannya yang mengepal kencang di sisi tubuh. Levian berangsur melangkah santai sambil terus bersedekap menghampiri pria berambut lurus rapi di dalam sana. Ia tetap melangkah elegan, di antara reruntuhan yang menimpa banyak perabotan. “Aku kira kamu akan tetap di dalam, membiarkan tubuh kamu tertimpa reruntuhan. Namun nyatanya, kamu sepengecut itu!” ucap Levian sambil tertawa geli. Ia menertawakan sahabatnya, kemudian menggeleng, tapi berakhir mengernyit, menatap pak Bagas sarat curiga. “Memang hanya kepada Dini, ... atau kamu merupakan o k n u m dosen yang sengaja memanfaatkan mahasiswi khususnya yang membuatmu tertarik. Sejauh mana? Sampai kamu membuat mereka menjadi k o r b a n p e l e c e h a n s e k su al? Sampai menjadikan mereka b u d a k n a f s u k a mu untuk sebuah skripsi?” lanjut Levian masih dengan sangat santai. “Tutup mulutmu!" sergah pak Bagas benar-benar emosi. Lagi, di hadapannya dan hanya berjarak sekitar satu meter, Levian tersenyum menyepelekan kepadanya. Senyum yang membuat sudut bibir tebal pria yang terkenal sangat arogan itu terangkat. “Sekarang kamu boleh saja merasa menang, tapi setelah ini, kamu akan menangis darah. Aku tak segan melaporkan kamu ke polisi dan menjebloskan kamu ke penjara!” sergah pak Bagas. “Jangankan dilaporkan ke polisi, dilaporkan ke mama papa kamu saja, aku enggak takut, Gas!” balas Levian masih kelewat santai. “Aku harus membuatnya marah agar dia juga bisa membuatku babak belur. Dengan begitu, p a s a l yang dia terima akan berlapis!” batin pak Bagas. “Jika menurutmu aku seperti itu, ... YA! Termasuk dengan Dini, ... kami sudah melakukannya. Terlebih wanita seperti Dini, cukup mengancamnya dengan beasiswanya akan dicabut, dia sudah merengek—” “Buk!” Bogem mentah Levian mendarat di bibir pak Bagas. Tak sampai di situ. Sebab Levian yang paling anti Dini diapa-apakan, apalagi dile c e h kan walau secara verbal, sengaja membuat wajah pak Bagas bonyok. Bogem demi bogem Levian lakukan kepada Pak Bagas tanpa ada yang berani menghentikannya. Terlebih yang menyaksikan masih orang Levian, dan otomatis mereka tak berani kepada Levian. Barulah setelah para tetangga di sekitar sana keluar dari rumah untuk memastikan yang terjadi, Levian dipisahkan dari pak Bagas. “B a j i n g a n sepertimu tidak pantas menjadi dosen!” ucap Levian meledak-ledak ditahan kanan kiri tangannya oleh dua orang pria paruh baya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD