Tangan kiri Levian yang tak memegang ponsel, kembali sibuk menarik-narik b r a bagian kaitan di punggung Dini. Terhitung sejak hari kemarin, kenyataan tersebut menjadi c a n du untuk Levian. Terlebih, Dini tak mengomel atau setidaknya meliriknya tajam. Yang dengan kata lain, Dini tak mempermasalahkan apa yang Levian lakukan.
“Prettt ....” Ada yang lepas dan refleks membuat tatapan Levian teralih dari layar ponselnya yang penuh ketikan.
Kedua mata Levian refleks memastikan punggung Dini.
“Mas, ih!” lirih Dini sambil menatap sebal Levian.
Detik itu juga, Levian jadi senyum-senyum sendiri. Termasuk juga, meski Anna yang duduk di antara dirinya dan Dini, menanyakannya apa yang terjadi.
“Mama, tenapa? To Papa dadi tenum-tenum tendili?” tanya Anna bertanya kepada sang mama. Sebab alih-alih membalas, sang mama justru cekikikan. Namun karena sang papa tampak sangat bahagia, Anna tidak marah.
“Enggak kenapa-kenapa, Sayang!” balas Dini sambil mencoba memasang kembali kaitan b r a-nya. Ia menghadap kebersamaan Levian dan Anna.
“Bisa enggak?” ucap Levian masih cekikikan, tapi tak mengurangi sikap manisnya kepada sang istri.
Dini langsung cemberut manja dan memang marah. Namun bukan marah yang membuatnya ingin mengamuk. Dini hanya menyalurkan rasa manjanya kepada Levian yang selalunya ingin menempel kepadanya. Levian yang selalu ia marahi sedikit saja pria itu membuat salah. Padahal bagi orang lain, Levian merupakan sosok yang wajib disegani, ditakuti. Namun bagi Dini, Levian merupakan orang yang bisa ia marahi sesuka hati, saking nyamannya pria itu dalam memperlakukannya. Levian tidak bisa marah kepadanya, seberapa pun Dini menyakiti pria itu.
“Sini aku pasangin,” manis Levian masih cengengesan.
“Enggak usah, aku bisa,” ucap Dini yang kemudian menoleh ke belakang. “Mas, dari luar enggak bisa lihat ke dalam, kan?”
“Aman ... aman. Dari luar enggak bisa lihat yang di dalam, tapi yang di dalam, bisa lihat yang di luar,” ucap Levian menjelaskan dan langsung membuat Dini yang awalnya terlihat khawatir, mengangguk-angguk paham.
Pagi ini, Levian memang mengantar Dini dan Anna, ke sekolah Anna. Rutinitas yang sepertinya akan selalu ketiganya jalani setiap pagi. Rencananya, Levian akan pulang lebih awal, kemudian akan menemani Dini masak untuk makan malam.
“Ma, kamu mau bunga, cokelat, apa es krim?” tanya Levian sambil melongok Dini dari depan Anna. Kenyataan yang langsung membuat Anna berbinar-binar mengawasi wajah papa mamanya, silih berganti.
“Temuanaaa!” ucap Anna dan langsung membuat Dini menahan senyumnya. Dini dapati, sang suami yang sempat bengong—bingung menatap Anna, berangsur melongoknya sambil memastikan.
“Mau semua!” ucap Dini sambil menahan senyum, menatap sang suami penuh cinta.
“Mama sama Anna, sama-sama borong, ya?” ucap Levian sengaja menyindir seiring dirinya yang kembali fokus ke ponsel.
“Temuana, Papa ...,” rengek Anna sambil mengguncang pelan lengan kiri sang papa menggunakan kedua tangannya.
“Iya ... iya, nanti Papa beliin semuanya!” ucap Levian meyakinkan.
“Apa yang membuat kak Arina meninggalkan pria sehangat sekaligus semanis mas Levian. Apalagi walau sudah dicampakkan, Mas Levian juga tetap mengurus Anna,” pikir Dini yang jadi bertanya-tanya, mengenai alasan Arina mencampakkan Levian.
Sekitar empat puluh menit kemudian, Dini dikejutkan oleh kedatangan sang dosen. Dini tengah menunggu Anna di ruang tunggu bersama wali murid lainnya, dan kebanyakan ibu-ibu muda.
“P—Pak?” ucap Dini sampai tak bisa berkata-kata.
Padahal niatnya, Dini akan menemui sang dosen di cafe dekat universitas mereka. Namun pak Bagas yang tiba-tiba mempercepat waktu, langsung menghampirinya ke sekolah Anna.
“Kok rasanya, Pak Bagas jadi gercep banget. Memang karena dia merasa bersalah karena sudah gantung nasib skripsiku selama satu bulan lebih. Apa bagaimana?” pikir Dini yang kemudian mempersilahkan sang dosen yang membawa tas kerja jinjing, duduk.
“Kalau gini caranya, anaknya Levian pasti bakalan ngadu ke papanya, kalau mamanya habis ketemuan sama om-om lain,” batin pak Bagas sambil tersenyum semringah kepada Dini.
Berbeda dari mahasiswi lainnya yang akan sibuk tebar pesona kepada pak Bagas, Dini selalu mengabaikan pak Bagas. Seolah di mata Dini, ketampanan sekaligus pesona sang dosen, sama sekali tidak menarik. Layaknya kini saja. Meski sudah duduk bersebelahan dan hanya dipisahkan oleh taa bekal milik Dini, Dini sama sekali tidak melirik Levian. Dini terlalu fokus mengurus skripsi.
“Dini tipikal yang terlalu lurus, apa gimana, sih? Kok gini banget,” pikir pak Bagas mulai bosan dengan kebersamaan yang terjalin di sana.
“I—ni kok aku cuma dibalas deham sama anggukan. Maksudnya lulus apa gimana, Pak?” tanya Dini dan langsung mengusik pak Bagas.
“Hah ...? Gimana?” tanggap pak Bagas memastikan karena memang tidak fokus menyimak Dini.
“Gimana sih, katanya dosen pembimbing terbaik. Kok enggak fokus hahe hahe sih?” batin Dini dongkol sendiri. Ia refleks merengut dan perlahan memalingkan wajah.
“Ayo cepat tanya ... tanya! Ayo mulai perhatian biar aku punya alasan buat mendadak deep talk!” batin pak Bagas benar-benar ngarep. Namun, Dini yang sempat memalingkan wajah, justru menerima sambungan telepon video.
Pak Dimas yang langsung mengenali suara sang penelepon merupakan Levian, buru-buru kabur dari sana.
“Sayang lagi ngapain? Sudah makan camilan, belum? Cantik banget?” ucap Levian dari seberang dan terdengar sangat g e n i t.
Pipi Dini jadi merah karenanya. Selain, Dini yang jadi salah tingkah dan terus menghindari tatapan Levian.
“Apakah bagi Dini, cintanya hanya untuk orang yang berduit? Digituin sama Levian saja, langsung senyum-senyum gitu!” jengkel pak Bagas masih tidak mau diketahui oleh Levian.
“Balik kerja. Yang semangat kerjanya. Jangan lupa makan juga. Jangan berisik-berisik, di sini banyak orang. Malu. Nanti kan ketemu di rumah. Mas bilang, mau pulang awal?” ucap Dini kepada sang suami.
“Cek pesan WA dari aku, ya!” ucap Levian yang mengakhirinya dengan salam sayang.
Tak lama kemudian, kembalinya pak Bagas, membuat Dini menyikapinya dengan tegas. “Pak Bagas tolong yang fokus, ya. Soalnya kejar waktu juga kan. Biar saya bisa lulus angkatan kali ini. Sebelumnya saya minta maaf. Namun, saya perlu katakan ini. Bahwa suami saya sudah menyarankan saya untuk ganti dosen pembimbing, andai Pak Bagas memang tidak serius!”
“Gini, Din—” Mendadak, pak Bagas tak bisa melanjutkan ucapannya. Namun tak lama kemudian, pintu kelas dibuka dan terdengar suara murid yang berpamitan.
Tepat ketika anak-anak keluar dari kelas secara tertib, pak Bagas sengaja melakukan trik m u r a h an. Pak Bagas mendadak pura-pura pusing, sempoyongan, sebelum akhirnya memeluk Dini, agar Anna melihatnya.
Anna yang sangat menyayangi Dini dan Levian, langsung marah. Anna yang awalnya langsung merengut kesal, buru-buru lari kemudian mendorong pak Bagas. Meski tentu saja, tenaganya tidak seberapa. Ulahnya tak membuat perubahan berarti karena pak Bagas tetap merangkul tubuh Dini.
“Dangan peyut-peyut Mama atu! Mama tuma puna papa!” sergah Anna benar-benar marah.
“Sebenarnya Pak Bagas kenapa, sih?” sergah Dini antara khawatir, tapi tetap cenderung kesal. Ia berusaha melepaskan dekapan kedua tangan sang dosen.
“M—maaf, Din. Namun saya benar-benar kurang enak badan,” sergah pak Bagas masih lanjut bersandiwara pura-pura pusing sekaligus pura-pura tak enak badan.
“Ya ampun ... mana si Anna kelihatan ngambek lagi,” batin Dini yang kemudian memberi putri sambungnya pengertian.
•••
“Papa, dadi ada yang peyuk-peyuk Mama di cekolah. Lagi cakit tatana ci Oum!” Kabar apa yang pak Bagas lakukan, sungguh sampai ke Levian dan itu, Anna yang melakukannya.
Padahal Dini sudah sempat yakn, Anna tak akan cerita karena ia sudah memberi pengertian. Bahwa alasan pak Bagas memeluknya, murni karena sedang kurang enak badan.
“Oum siapa, Ma?” todong Levian yang baru beres menenggak segelas air putih dingin dan ia ambil dari poci di kulkas.
Dini yang sedang memanggang salmo, jadi deg-degan tak karuan. Namun demi membuat Levian agar tidak salah paham, ia sengaja menjelaskan sejelas-jelasnya.
“B a j i n g a n! Tuh orang maunya apa sih? M o d u s kok m u r a h a n banget! Harus diberi pelajaran memang tuh orang!” batin Levian yang kemudian menaruh gelas bekas minumnya.
Levian menghampiri sang istri yang masih sibuk di depan kompor, kemudian mendekapnya erat dari samping belakang kanan. “I love you! H a j a r saja siapa pun yang berani pegang apalagi peluk-peluk kamu. Apa pun itu, nanti aku yang tanggung jawab karena memang sudah harus gitu.”
Meski Levian membisikkan kata-kata penuh perhatian, yang ada Dini malah takut. Dini takut, Levian yang tidak pernah mau berbagi dirinya dengan siapa pun, nekat mendatangi kemudian m e n g h a j a r pak Bagas.