Satu hal yang Dini lupakan akibat kemelut dalam kehidupannya dan itu karena Levian. Dini melupakan jadwalnya dengan pak Bagas sang dosen!
Pak Bagas Dosen : Kamu di mana? Ini sudah jam berapa? Jadi, tidak kamu urus skripsi? Kalau memang kamu sungguh-sungguh dengan skripsimu, harusnya kamu sudah ada di sini.
Pesan tersebut pula yang membuat Dini kelimpungan. Terlebih kini sudah pukul delapan malam, sedangkan jadwal janjian itu pukul tujuh malam. Masalahnya, Dini tidak mungkin meninggalkan Anna yang masih dirawat inap. Bukan semata Anna tidak bisa jauh-jauh darinya, tetapi karena tidak ada orang lain yang menjaga Anna.
Demi cari aman dan memperjelas keadaan agar tidak terjadi salah paham, Dini sengaja mengirim pesan balasan.
Dini : Selamat malam, Pak Bagas. Mohon maaf saya baru mengabari bapak. Ini saya ada urusan keluarga, Pak. Anak saya sedang dirawat inap. Mohon maaf banget, paling nanti dijadwalkan ulang ya, Pak. 🥺🙏🙏
Pesan WA yang Dini kirimkan sudah langsung mendapat centang dua menyala. Menandakan bahwa pesan tersebut sudah langsung dibaca. Namun, sampai sepuluh menit berlalu, pak Bagas tetap tidak membalas pesannya. Hingga Dini berinisiatif menanyakan kejelasannya lewat pesan WA.
Dini : Pak, bagaimana? Saya benar-benar minta maaf, Pak 😭
Pak Bagas Dosen : Kamu kelihatan banget enggak niat. Sudah lupakan saja.
Membaca itu, Dini refleks memijit pelipis kirinya menggunakan tangan kiri. Di sebelahnya dan ada di hadapannya, Anna memang sudah lelap. Namun sekali lagi, ia tak mungkin meninggalkan Anna. Anna lebih penting dari skripsinya yang sudah digantung selama satu bulan lamanya oleh pak Bagas.
“Ya ampun ....” Dini menggunakan kedua tangannya untuk menekap wajah. Ponsel yang masih di tangan kanannya turut mengenai wajahnya.
Akhir-akhir ini, awalnya beban hidup Dini memang hanya skripsi. Bukan hanya pengurusannya yang membutuhkan perjuangan hingga tifus Dini kambuh. Sebab dosen pembimbingnya juga sangat killer. Pak Bagas itu lebih s e n s i t i f dari wanita yang sedang PMS maupun ibu-ibu hamil yang sedang mengalami sensasi kontraksi.
“Berasa di—ambekin sama gebetan kalau gini caranya. Pantas ada saja yang sampai diopname lama gara-gara berurusan dengan pak Bagas. Ya ampun ini terus aku gimana?” batin Dini tidak bisa untuk tidak menangis, meski tangisnya tak sampai disertai suara.
Kedatangan Levian dengan langkah sangat hati-hati, membuat Dini yang sedang sangat sedih, tak terusik. Levian yang masih memakai setelan jas warna biru lengkap dengan dasi, membawa buket bunga mawar merah berukuran cukup besar. Kiranya ada tiga puluh tangkai mawar merah yang mengisi buket tersebut.
Kenyataan Dini yang jongkok di sebelah ranjang rawat Anna, membuat Levian tak melihatnya dari jarak jauh. “Sepi banget ... Anna sendiri? Dini ke mana? Apa lagi ke kamat mandi?” pikir Levian yang yakin, semarah sekaligus sebenci apa pun Dini kepadanya, wanita itu tak mungkin tega kepada Dini.
Sempat akan menghampiri Dini ke kamar mandi, adanya Dini di sebelah kanan ranjang rawat Anna, membuat Levian menghampiri. “Ni, ... suamimu Levian. Aku suami kamu, apa yang perlu kamu tangisi? Memangnya kamu pengin apa?” lembut Levian sesaat setelah ia turut berlutut di hadapan Dini.
“Dosenku marah dan menganggapku tidak serius urus skripsi. Padahal kan ... padahal aku hanya lupa jadwal janjian kami sekali. Sementara dia, selama sebulan ini gantung aku. Pesanku hanya dibaca dan beneran jarang direspons. Aku juga sering nunggu sampai malam di depan rumahnya buat tunggu dia, tapi tetap enggak ada hasil.” Dini tersedu-sedu sambil tetap menekap wajahnya menggunakan kedua tangan.
“Kenapa enggak ganti dosen saja? Satu bulan itu bukan waktu sebentar loh. Tuh dosen cari mati apa gimana?” sewot Levian.
“Urusannya ribet kalau harus ganti dosen. Iya kalau dosen sebelumnya enggak jelek-jelekin aku atau mempersulit!” balas Dini masih merasa sangat sedih sekaligus putus asa.
“Suami kamu Levian. Nanti aku yang urus tuh dosen. Kalau dia tetap enggak mau urus kamu, biar aku yang urus dia ke atasan! Biar dia tahu rasa, jadi dosen kok mempersulit orang. Urus skripsi saja sudah sulit. Dia justru seenaknya memperlakukan hasil skripsi!” tegas Levian yang kemudian meminta Dini agar berhenti menangis. Lagi-lagi Levian berdalih agar Dini tidak menangis maupun sedih-sedih karena wanita itu memiliki suami Levian yang sangat bisa diandalkan.
“Ini buat kamu,” ucap Levian sambil menyodorkan buket mawarnya.
Mendengar apa yang Levian katakan dan terkesan pria itu memberikan sesuatu kepadanya, Dini berangsur menyingkirkan kedua tangannya dari wajah khususnya mata. Buket mawar yang Levian sodorkan sudah langsung menarik perhatian Dini. Tak bisa Dini pungkiri, hatinya sudah langsung berbunga-bunga.
“Terakhir kali aku dapat bunga itu ... pas aku dan Leon lamaran. Karena Leon memang tipikal yang jarang kasih-kasih apalagi hadiah. Atau malah efek Leon yang belum begitu punya uang banyak. Karena selama ini, selain memang mas Levian yang jadi pundi-pundi uang sekaligus kekayaan keluarga. Leon juga ... belum semangat buat kerja. Mama mertua saja sering telepon aku buat menyemangati Leon agar rajin kerja dan enggak dimarahin mas Levian terus. Soalnya, mas Levian memang terbilang keras banget dalam didik Leon. Itu saja, ... itu saja tetap enggak mempan,” batin Dini. Ingin tidak baper dan tak mau perasaan, hati, apalagi harga dirinya tak ada harganya karena langsung luluh oleh buket mawar merah, pada dasarnya Levian itu suaminya.
“Enggak mau baper, dan sampai detik ini masih tetap pengin minggat, pada kenyataannya mas Levian suamiku. Kalau enggak baper ke dia, masa iya aku suruh baper ke pria lain apalagi suami orang? Yang ada justru dosa kalau gitu caranya,” pikir Dini yang langsung membeku ketika bibir Levian mengabsen wajahnya searah gerakan jarum jam, kemudian berhenti di punggung hidung.
“Besok aku bantu. Sudah kamu jangan sedih. Aku mandi dulu,” ucap Levian sambil beranjak bangkit dan turut mengikutsertakan Dini.
Levian menaruh buket bunganya di kedua tangan Dini, tapi kemudian ia juga menyita ponsel Dini.
“Sekarang waktumu sudah sepenuhnya punyaku. Aku pengin me time!” singkat Levian yang mengakhirinya dengan senyum manis. Ia dapati, Dini yang jadi buru-buru memalingkan wajah sambil tetap mendekap buket mawarnya. Namun, Levian tetap bisa melihat dengan jelas perubahan warna pipi Dini. Pipi putih mulus itu jadi merah merona khas orang sedang gugup. Sungguh keadaan yang membuat Levian gemas dan dengan sengaja memeluknya dari samping belakang.
“Ya ampun nih orang malah gini!” ucap Dini yang lagi-lagi hanya bisa sekaligus berani mengatakannya dalam hati. Ia terlalu gugup sekaligus gengsi jika harus mengatakannya kepada Levian.
“Ke kamar mandi bentar, yuk,” ucap Levian yang jadi lirih dan terdengar merengek.
“Apaan sih, Mas. Ini rumah sakit loh, ... jangan aneh-aneh lah. Kalau ada pemeriksaan, atau Anna bangun, gimana?” balas Dini.
Balasan Dini yang terdengar nyaris kembali menangis, membuat Levian tidak bisa untuk tidak tertawa. Namun, Levian sengaja menahannya. Karena Dini tidak mau menyanggupi ajakannya, ia menggantinya dengan mengabsen wajah sang istri menggunakan c i u m an gemas searah jarum jam.
“Ya ampun nih orang ... memang lagi bucin apa gimana? Leon saja enggak pernah gini. Lagian kan ada mamanya Anna. Dan ... ngapain juga aku masih mikirin Leon. Ya ampun kalau ingat m a l am pertama kami, terus cara dia menghakimiku. Sumpah aku jijik!” batin Dini lagi.
“Mas enggak bawa pakaian ganti? Awas loh ... aku enggak mau ada adegan Mas minta aku antar baju ganti ke kamar mandi, terus Mas macem-macem ke aku!” protes Dini dan langsung membuat kedua pipi Levian bersemu akibat senyum yang pria itu tahan.
“Kan, modusnya kelihatan banget!” gerutu Dini dan bergegas menaruh buketnya di meja sebelah Levian. Meja yang kanan kirinya disertai sofa lipat.
“Mas ih!” teriak Dini karena Levian buru-buru masuk ke dalam kamar mandi. Levian tampak jelas sedang meledeknya.
“Enggak ada salahnya kalau aku macam-macam ke kamu di kamar mandi,” ucap Levian.
“Intinya jangan aneh-aneh kalau selain bukan di rumah!” sebal Arini sambil memberikan pakaian ganti untuk Levian dan ia ambil dari koper miliknya. Ia memang sengaja membawakan Levian pakaian ganti karena pria yang telah menikahinya itu meminta secara khusus.
Ketika sebelumnya, Levian meluapkan rasa gemasnya melalui c i u m an searah jarum jam, kali ini Levian hanya melakukannya di bibir Dini. Namun sampai detik ini, Dini tetap tidak mau membalas dan justru cenderung menolak.
“Semakin kamu menolak, semakin aku tambah cinta!” ucap Levian yang menatap Dini penuh senyuman, tapi yang dimodusi masih saja judes. Tanggapan judes yang membuat rasa sayang Levian kepada Dini makin besar.
Beres mandi, Levian yang awalnya akan kembali mengganggu Dini, tak jadi melakukannya. Sebab wanita yang akan ia ganggu justru ia pergoki tengah bengok sambil meringkuk di sofa lipat.
“Ni, ... aku telepon temanku yang dosen dulu,” lembut Levian sambil mengacak asal rambutnya yang masih setengah basah.
“Beda urusan lah Mas. Beda dosen, beda universitas, pasti beda drama,” ucap Dini sambil makin memunggungi Levian.
Namun seperti sejak Levian memaksa Dini untuk menikah dengannya, Levian kembali menempel kepadanya. Dini yang sudah duduk dengan benar juga Levian angkut ke pangkuannya.
Tanpa sengaja, Dini melihat layar ponsel Levian. Ada nama : Bagas selaku nama kontak yang tengah Levian hubungi melalui sambungan suara.
“Mas Levian bilang, dia mau menelepon temannya yang dosen. Memangnya ada berapa banyak dosen di negara ini yang namanya Bagas?” pikir Dini.