Satu hal yang sangat Dini sesali, kedua matanya kembali terbuka. Ia terbangun dan sungguh belum mati seperti harapannya.
Dini masih meringkuk di ranjang kamar rahasia yang ada di dalam kamar Anna. Selimut putih yang begitu lembut juga masih menutupi tubuh hingga dadanya. Tak ada perubahan berarti pada keadaan Dini. Karena selain tubuhnya yang masih polos, terasa remuk dan area kewanitaannya amat sangat sakit. Noda dan itu darah miliknya juga ada di sekitar pan ta tnya. Bukti bahwa Levian sudah mere nggut kesuciannya itu juga terasa mengering, dan sebagiannya lengket di area kewanitaannya.
Padahal, terbangunnya Dini yang dengan kata lain, Dini benar-benar masih hidup, juga dibarengi dengan harapan. Bahwa apa yang ia dan Levian alami kemarin malam, hanya mimpi b u ruk. Akan tetapi, harapan tersebut tak mungkin menjadi kenyataan karena nasi telanjur menjadi bubur. Kenyataan Levian yang sudah mereng gut kesucian Dini, benar-benat nyata.
“Morning Sayang ... aku sudah menyiapkan air hangat untuk berendam. Itu bisa membuat tubuh termasuk ‘milikmu’ jauh lebih rileks. Sekalian, ... pagi ini kamu mau sarapan apa? Dan ... mulai hari ini, aku akan mengantarmu ke kampus.” Levian menyambut Dini dengan sangat manis.
Levian baru saja keluar dari kamar mandi, dan langsung menghampiri Dini. Kepalanya masih setengah basah. Kemeja lengan panjang warna biru langit dipadukan dengan celana bahan panjang warna hitam, telah menyempurnakan penampilannya. Selain itu, Levian juga sudah sampai bercukur. Rambut tipis di sekitar dagu, pipi, dan juga leher Levian sudah bersih. Pria berotot dan sebelumnya sempat berpenampilan lusuh itu jadi terlihat sangat menawan.
Terlepas dari semuanya, kenyataan Levian yang malah jadi merawat diri menegaskan. Bahwa pria itu sedang dalam keadaan suasana hati yang baik. Dalam diamnya Dini jadi berpikir, apakah apa yang terjadi kemarin malam antara dirinya dan Levian, menjadi alasannya?
Seorang Levian yang selama ini terkenal dingin tak tersentuh, mendadak bertutur dengan suara sangat lembut. Pria berusia tiga puluh dua tahun itu juga menatap kedua mata Dini penuh keteduhan. Tubuh Levian yang sudah beraroma sangat segar, perlahan mengungkung tubuh Dini. Sementara bibir berisinya yang agak basah sekaligus hangat, berakhir menempel di pipi kanan Dini.
“Plaaakkkk!!”
Tangan kanan Dini tidak bisa untuk tidak menampar pipi kiri Levian sekuat tenaga.
“Kamu suami orang, Mas! Sementara aku calon istri adikmu! Bahkan kamu tahu, di celana d a lam aku masih ada pembalut!” Dini histeris kemudian mengerahkan seluruh tenaganya untuk mendorong d**a Levian sekuat tenaga menggunakan kedua tangan. Namun, ulahnya itu tak menghasilkan perubahan berarti. Di hadapannya dan tepat di atas tubuhnya, Levian tetap mengungkungnya.
“Aku bersumpah akan menceraikannya, asal kamu mau menikah denganku,” lembut Levian sambil menunduk dalam.
Dini tetap tidak bisa tenang terlebih menerima kenyataan, bahkan walau Levian terus meyakinkannya. Pria itu dengan sangat mudah membopong tubuhnya yang masih terlilit selimut putih. Levian membawa Dini ke dalam kamar mandi. Selimut putih di tubuh Dinu, Levian singkirkan dengan hati-hati.
Tak tanggung-tanggung, Levian yang sudah rapi dan siap pergi, juga membantu Dini mandi. Rambut Dini, Levian guyur dengan sangat hati-hati menggunakan shower selang kecil di bak Dini berendam.
“Pergi, ... aku mohon pergi!” isak Dini.
“Oke, ... aku tunggu di depan!” sanggup Levian masih sangat sabar. Ia pergi dengan pakaian maupun wajah basah karena pemberontakan yang Dini lakukan.
Kepergian Levian membuat Dini tersedu-sedu. Akan tetapi Dini sadar, tangis bahkan usahanya tak mungkin mengubah keadaan. Ia tak mungkin lagi kembali pe rawan. Karenanya, Dini berusaha tegar. Tak disangka, saat Dini keluar dari kamar dan memang hanya memakai handuk piyama warna lavender, Levian kembali menyambutnya.
Levian berdiri di sebelah lemari pakaian yang sebagian besar raknya dipenuhi gamis maupun celana panjang, dalam keadaan tergantung. Lemari pakaian tersebut berada persis di sebelah pintu kamar mandi.
“Ini milikmu. Aku menyiapkannya secara khusus sejak dua tahun lalu. Sejak aku menyadari, bahwa aku mencintaimu. Sungguh bukan lagi Arina yang aku tunggu bahkan inginkan. Melainkan kamu yang selama ini begitu peduli kepada Anna, maupun kepada keluarga ini!”
“Cukupppppp!” tegas Dini lirih, tapi nyaris histeris. Hanya saja, Dini yang membekap kedua telinganya erat, berlalu meninggalkan Levian begitu saja.
Dini kembali masuk ke dalam kamar mandi. Ia kembali mengunci pintunya, tapi jadi tak sengaja melihat pantulan tubuhnya di cermin wastafel. Dari cermin tersebut Dini bisa melihat, Levian telah memenuhi leher maupun anggota tubuh Dini yang lain, dengan jejak cinta berwarna merah gelap.
“Ya Allah, tolong biarkan aku pergi sejauh mungkin. Dia sudah punya istri, sementara harusnya aku menikah dengan Leon. Namun, ... namun aku juga tak mungkin menikah dengan Leon. Aku enggak mungkin melanjutkan semua ini!” Dini membekap erat wajahnya. Lagi-lagi ia menangis karena terlalu bingung.
Bahkan walau hanya dalam mimpi, Dini tidak pernah membayangkan dirinya akan mengalami situasi yang amat sangat pelik layaknya kini. Bisa-bisanya Levian terkesan sudah sangat terobsesi kepadanya sejak lama. Masalahnya, kenapa Levian baru mengungkapnya sekarang? Kenapa pria itu melakukannya ketika hari pernikahan Dini dan Leon, tinggal lima hari lagi?
Sekitar tiga puluh menit kemudian, Dini keluar menggunakan koleksi pakaian yang Levian siapkan. Namun hingga detik ini, Dini tak sudi dekat-dekat maupun sekadar berkomunikasi dengan Levian lag. Dini terus berusaha menghindari Levian meski sekadar melangkah saja, ia kerap berhenti sekaligus kesakitan.
“Biarkan aku menggendongmu!” lirih Levian masih saja menjadi satelit Dini.
Levian yang berdiri di sebelah kiri Dini, nyaris merangkul kedua lengan Dini. Andai dari lantai atas dan itu di depan anak tangga, suara Leon tak terdengar dari sana.
“Sayang, semalam kamu ke mana? Aku cariin, enggak ketemu juga. Hape kamu di meja ruang keluarga, sementara saat aku telepon ke mama kamu, ... mama juga bingung.” Leon langsung menyikapi Dini dengan sangat serius. Ia langsung mendekati calon istrinya yang sudah memakai pakaian lain, bukan pakaian yang kemarin.
Bagi Leon, Dini sedang kurang sehat dan itu ditegaskan dengan keadaan wajah Dini yang pucat. Selain itu, Dini juga tampak kesulitan untuk sekadar melangkah. Dan ... Dini terlihat kebingungan.
“Kamu bilang, kemarin mens kamu harusnya sembuh karena tinggal flek dikit.” Leon hendak meraih kedua lengan Dini, tapi dengan segera, Dini yang mundur saja susah, menghindarinya.
“J–jangan ... jangan mendekat ... lupakan. Aku mohon lupakan aku. Aku ... enggak bisa lanjut ....” Dini yang sudah langsung berlinang air mata, jadi tidak bisa berkata-kata. Dadanya terasa sangat sesak. Rasanya sakit sekali, dan sekadar bernapas saja, ia tak lagi bisa.
Dini pergi tak lama setelah ia menyambar tas maupun ponsel miliknya dari meja ruang keluarga di sana. Dengan langkah tertatih sekaligus sempoyongan, Dini terus tersedu-sedu. Selain itu, Dini juga terus menolak Leon dekati.
“S–Sayang! Aku antar. Kamu mau ke mana, aku antar. Please, ... please jangan gini!” Leon terus memohon.
Karena Dini terus menolak dan kedua tangan Leon juga terus Dini singkirkan. Di depan teras rumah, Leon memeluk calon istrinya itu sangat erat. Hanya saja, ulah Leon justru membuat tangis Dini jadi meronta-ronta.