2. Paksaan yang Terus Berlanjut

1346 Words
Air mata Dini sudah kering. Wanita cantik berusia dua puluh tiga tahun itu merasa sangat han c ur. Otak Dini tak lagi bisa berpikir, selain tubuhnya yang seolah menjadi tak memiliki tulang. Sungguh, sekadar bergerak saja, Dini tak sanggup melakukannya. Terlebih jika Dini mengingat apa yang sudah terjadi antara dirinya dan Levian. Bahwa beberapa saat lalu, pria yang harusnya menjadi kakak iparnya, justru merenggu t kesuciannya. Padahal hari pernikahan Dini dan Leon adik Levian, sudah ada di depan mata. Levian melakukannya dengan sadar. Pria berahang tegas itu begitu menikmati tubuh Dini sekaligus ‘permainan cinta’ yang dikendalikannya sendiri. Sepanjang kebersamaan malam ini yang dipenuhi paksaan dari Levian, Levian yang masih berstatus sebagai suami Arina, tak hentinya memaksa Dini untuk menikah dengannya. Rasanya jika lari sejauh mungkin dari Levian tak bisa Dini lakukan. Dini ingin mati saja. Dini merasa hidup pun percuma. Dini tak sanggup mengatakan apa yang terjadi kepada Leon maupun keluarga besar mereka. Selain itu, apa yang terjadi juga membuat Dini menjadi anak gagal untuk kedua orang tuanya. Segala pembelajaran dan juga kesucian yang Dini jaga selama ini, han cu r seketika dalam hitungan jam karena obsesi seorang Levian. “Andai aku jujur, apakah mereka akan percaya? Apa kata mereka jika mereka tahu, bahwa aku dan mas Levian ... ya ampun! Bahkan mas Levian masih berstatus sebagai suami kak Arina ... ya Allah! Cobaan macam apa ini, padahal pernikahanku dan Leon tinggal lima hari lagi! Padahal selama mengenal, aku juga selalu menutup aurat dan–” batin Dini seiring hatinya yang terasa sangat ngilu sekaligus perih. Rasanya sakit sekali. Tak kalah sakit dari area kewanitaannya setelah apa yang Levian lakukan kepadanya, bahkan sampai ada ronde ke dua. Sampai detik ini, tubuh Dini yang masih dibiarkan ‘polos’, meringkuk tak berdaya sekaligus gemetaran di sebelah kiri Levian. Levian yang tak berhenti menatap setiap lekuk tubuh polos Dini penuh kekaguman, berangsur menarik selimut putih dari lantai. Levian menyelimutkan selimut tersebut hingga pundak Dini. Membuat noda merah di seprai sekitar area kewanitaan Dini berada, turut tertutup. Pelan tapi pasti, penuh kelembutan sekaligus kasih sayang, Levian yang hanya memakai boxer hitam, mendekap Dini dari belakang. “Thank you! Benar-benar makasih banyak! Aku tidak menyangka, aku menjadi orang pertama yang menyentuhmu, Di!” bisik Levian yang kemudian menempelkan bibirnya di telinga kanan Dini. Bibir Levian kembali meninggalkan beberapa ‘jejak cinta’ berwarna merah gelap berukuran kecil di leher, tengkuk, dan juga rahang Dini. Meski di sana juga sudah banyak jejak yang Levian tinggalkan, Levian tetap melakukannya karena menikm a ti tubuh Dini, menjadi kebahagiaan sendiri untuknya. J i j ik, adalah kata yang mewakili perasaan Dini kali ini atas apa yang Levian lakukan kepadanya. Sayangnya, jangankan memberontak, sekadar bersuara apalagi bergerak saja, Dini tak lagi bisa. Sentuhan tangan maupun bibir yang masih saja Levian lakukan, membuat Dini memejamkan erat kedua matanya. Berharap, meski Levian tak mau melepaskannya. Karena sampai detik ini Levian masih mendekapnya erat, dan wajah Levian juga sampai menindih sebagian kepala Arini. Arini berharap, kedua matanya tak lagi bisa terbuka. Agar dirinya tak perlu menjelaskan apa yang terjadi kepada Leon, maupun keluarga besar mereka. •••• “S—Sayang ...?” lembut Leon sambil menuruni anak tangga. Ia baru saja keluar dari kamar yang ada di lantai atas, dan itu memang kamarnya. “Sayang, sudah siap belum? Katanya mau pulang buat urus skripsi. Dosen kamu masih minta kamu revisi skripsi, kan?” lanjut Leon yang refleks diam tak lama setelah kedua matanya mendapati tas Dini. Tote bag hitam milik Dini masih ada di salah satu sofa tunggal ruang keluarga lantai bawah. Posisi tas sederhana tersebut belum berubah, masih sama layaknya awal kedatangan Dini. Sekitar lima jam yang lalu, dan itu pukul lima sore, sepulang ngantor, Leon memang sengaja memboyong calon istrinya ke rumah. Kini, selain tidak ada tanda-tanda Dini di sana, televisi juga sudah dimatikan. Padahal sekitar satu jam lalu sebelum Leon pamit ke kamar, tapi malah ketiduran, Dini masih menemani Anna menonton acara kartun di sana. Di ruang yang menjadi ruang pertama setelah anak tangga terakhir yang baru saja Leon lewati, suasana di sana benar-benar sepi. Tak ada tanda-tanda kehidupan lain, selain dari Leon sendiri. “Sayang ...? Anna ...?” lantang Leon dengan suara lembut penuh perhatian. Orang tua Leon memang tengah ke luar kota untuk membagikan undangan pernikahan Leon dan Dini. Sekarang, di rumah hanya ada Leon, Anna, enam ART, dan juga Dini yang sengaja Leon undang untuk menemani Anna. Karena jika sang oma sedang tidak ada, Anna yang sedang kurang enak badan, hanya akan patuh ke Dini. Urusan makan, minum obat, dan semua hal yang harus Anna lakukan, hanya akan berjalan lancar jika Dini yang menemaninya. “Oh, ... sepertinya masih di kamar Anna. Sudah pukul sepuluh malam. Sepertinya Dini ketiduran bareng Anna,” pikir Leon bergegas memastikan. Pria yang wajahnya nyaris bak pinang dibelah dua dengan Levian itu langsung menuju lorong tak jauh dari ruang keluarga. Di lorong tujuan Leon ada dua pintu kamar yang saling berhadapan. Kamar tersebut merupakan kamar Anna dan kamar Levian. Keduanya tidur terpisah, terlebih Levian memang jarang pulang. Selain itu, andai Dini terpaksa menginap karena kemalaman, Anna juga lebih memilih tidur dengan Dini. Ketika Leon membuka apalagi memasuki kamar Anna, entah kenapa jantungnya menjadi berdetak lebih cepat. Dadanya terasa jadi pegal karenanya. “Kenapa, ya? Dadaku jadi sakit banget!” lirih Leon refleks meringis kemudian menahan dadanya menggunakan kedua tangan. Rasa sakit yang begitu tiba-tiba itu membuat Leon menghela napas pelan sekaligus dalam, demi meredamnya. Kemudian, yang Leon lakukan ialah memastikan keberadaan sang kekasih di sana. “Di sini pun enggak ada. Apa di kamar mandi?” lirih Leon masih menerka-nerka. Leon tak menemukan Dini di kamar Anna. Pria berusia dua puluh tujuh tahun itu segera pergi dari sana dan mencari Dini di tempat lain. Leon memutuskan ke dapur yang keberadaannya masih di lantai bawah paling belakang. Leon mencari Dini di sana, tapi suasana di sana juga tak kalah sepi bahkan dalam keadaan gelap. Menandakan bahwa di sana memang tidak ada orang beraktivitas. Karena andai ada orang, lampu di sana pasti akan dinyalakan. “Loh, ... Dini ke mana? Apa pergi sama mas Levian? Memangnya malam ini mas Levian pulang?” lirih Leon. Demi menjawab setia pertanyaan, Leon sengaja menemui sang satpam. Laporan dari satpamnya menegaskan bahwa selain malam ini Levian pulang, Dini juga masih ada di dalam. “Pak Ardi, yakin?” tanya Leon yang kembali memastikan. Sebab setelah dirinya menanyai setiap ART, tak ada satu pun yang melihat Dini maupun Levian. Termasuk di kamar Levian, juga tidak ada sang pemilik rumah. Sayangnya, selain CCTV depan rumah sedang ru sak, area dalam rumah juga tidak sampai dipasang CCTV. Rumah megah tiga lantai milik orang tua Levian, tidak begitu mementingkan keamanan di dalam rumah. Terlebih Levian sekeluarga sudah sangat percaya kepada pekerja rumah yang juga sudah mereka anggap layaknya keluarga. Terlepas dari semuanya, kamar rahasia di dalam kamar Anna, juga tak diketahui oleh sembarang orang. Hanya Levian dan yang dibawa masuk oleh pria itu saja yang tahu. Namun sekali lagi, Leon sengaja mendatangi kamar Anna. Leon sampai membangunkan Anna kemudian menanyakan keberadaan Dini maupun Levian, kepada Anna. “Papa Anna pulang, enggak? Terus Onty Anna ke mana?” lembut Leon penuh pengertian, tapi yang ditanya justru hanya diam kebingungan. Setelah merenung serius, Anna berangsur menggeleng. Padahal di ingatan Anna, tengah terputar adegan Levian memboyong Dini ke ruang rahasia. “Di sana ada kamal, tapi lewat mana ya, pintuna?” batin Anna memilih kembali tidur meringkuk. Anna berjanji tidak akan menceritakan apa yang ia lihat dan itu kebersamaan sang papa dengan Dini, ketika ia terbangun beberapa saat lalu. Bahkan meski itu kepada Leon, Anna tak akan menceritakannya. Sebab harapan sekaligus cita-cita terbesar Anna kali ini ialah menjadikan Dini sebagai mamanya. Anna merasa sangat bahagia jika sang papa sedang bersama Dini. Terlebih tadi saat ia tak sengaja melihat, sang papa sampai memeluk Dini sangat erat dari belakang. “Sebenarnya mereka ke mana? Kenapa mereka kompak menghilang?” batin Leon yang baru saja keluar dari kamar Anna. Ia menutup pintu kamar Anna dengan sangat hati-hati agar tak menimbulkan suara. Sebab Anna yang sempat ia bangunkan, memilih tidur lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD