8. Muak

1116 Words
Menggunakan tenaga yang masih tersisa. Karena apa yang Leon lakukan kepadanya dan itu memperlakukannya layaknya p e l a c u r telanjur membuatnya kehabisan tenaga. Dini beranjak dari tempat tidur. Tubuhnya gemetaran dan terasa panas layaknya ia tengah demam. Lingerie warna hitam miliknya yang terserak di lantai sebelahnya sempat tiduran, ia pungut. Ia melakukannya tanpa sedikit pun melirik Leon yang masih berdiri tak jauh darinya. Selain tampak sangat marah, Leon juga terlihat sangat kecewa kepadanya. Langkah yang Dini hasilkan berupa langkah yang amat sangat sempoyongan. Dini layaknya orang yang tengah m a b u k parah. Sampai di dalam kamar mandi yang masih ada di dalam kamarnya, yang langsung Dini lakukan ialah membuang pakaian sangat seksi berwarna hitam di tangan kanannya. Tong s a m p a h yang ada di bawah wastafel, menjadi penampung pakaian seksi tersebut. Sampai detik ini, air mata Dini belum kering. Bahkan walau Dini sudah membasuh wajahnya beberapa kali. Termasuk juga meski Dini sudah membersihkan tubuhnya, kemudian memakai piyama lengan panjang yang sempat Leon tolak hingga Dini jadi ganti memakai lingerie. Dini pikir, semuanya sudah berakhir. Ia cukup langsung angkat kaki karena Leon sudah menjatuhkan talak kepadanya. Andai masih ada yang diurus, paling Dini yang harus mengembalikan semua seserahan maupun semua yang diterimanya dari Leon sekeluarga. Akan tetapi, ternyata tidak segampang itu. Karena baru juga keluar dari kamar mandi, Dini yang belum sempat memakai hijab atau setidaknya penutup kepala, langsung Leon seret keluar dari kamar. “S—sakit, Leon! Sakit banget! Tanpa kamu seret pun, tanpa harus membuat kamu kembali men g o t o r i tanganmu, aku sudah akan langsung pergi dari sini bahkan kehidupanmu!” “Jelaskan semuanya di depan orang tuaku. Pastikan, kamu tidak memutar balikkan fakta. Kembalikan juga semua yang sudah kamu terima dariku maupun keluargaku!” “Iya, pasti! Aku pasti akan melakukannya bahkan walau kamu tidak meminta apalagi memaksaku untuk melakukannya, Leon! Tolong lepas. Sakit!” “Ini juga yang membuatku mendadak memutuskan untuk tidak melanjutkan rencana pernikahan kita. Karena saat itu, aku menjadi korban pe me r k o s a an! Namun kamu terus memaksaku. Kamu mengancam akan b u nu h diri! Aku serba salah!” “Tolong lepas. Di depan ada anak tangga. Jangan sampai kita kenapa-kenapa. Karena andai aku sampai sekarat bahkan mati, belum tentu kamu puas. Selain itu, kamu juga bisa berurusan dengan polisi!" “Tolong kendalikan emosi kamu, Ion! Yang rugi tetap kamu!” “Kita bisa selesaikan semuanya dengan baik-baik. Andai kamu mau menuntut aku dan membawa ini ke pengadilan, aku siap!” Dini terus berusaha menjelaskan dengan suara lirih. Ia berusaha mencoba meredam amarah Leon yang sudah membuatnya ketakutan. Masalahnya, yang tersisa dari seorang Leon kepadanya bukan hanya benci dan kekecewaan. Melainkan dendam. Jantung Dini seolah lepas ketika Leon melemparnya ke depan anak tangga. Ditambah lagi, dari lantai bawah ternyata ada orang tua Leon. Keduanya kompak histeris mengecam ulah Leon. “Ya ampun ... ya Allah ... sehina ini kah aku, padahal aku k o r b an!” batin Dini. Setelah tubuhnya menghantam terali tangga yang terbuat dari besi tua hingga ia nyaris sekarat saking sakitnya, ia juga tetap harus berpegangan pada terali agar tubuhnya tak menggelinding. Selanjutnya, keributan sungguh terjadi. Orang tua Leon berbondong-bondong lari naik melewati anak tangga. Keduanya kompak memarahi Leon. “Dia menipuku, Ma, Pa! Ternyata selama ini dia hanya membohongiku! Dia sudah terbiasa tidur dengan laki-laki. Hijab dan agama yang dia pamerkan hanya dia jadikan sebagai tameng!” tegas Leon. Cara Leon yang sama sekali tidak memberinya toleransi, membuat Dini sadar, bagaimanapun caranya dalam membuat pemuda itu mengerti, hasilnya tetap gagal. Apa yang Leon tegaskan barusan sudah langsung mengejutkan kedua orang tuanya. Dekapan hangat dari ibu Siska selaku mama Leon, usai seketika. Dini yang masih diam meringkuk di anak tangga pertama yakin, mantan mama mertuanya itu langsung menelan mentah-mentah cerita anak kesayangannya. “Saya k o r b an, Om ... Tanten. Lima hari lalu saya diper k o s a. Itu kenapa saya sudah sempat mantap mundur tak mau melanjutkan rencana pernikahan—” Dini yang berbicara saja kesulitan sebenarnya belum selesai berbicara, tapi Leon sudah memotongnya. “Kamu pikir penjelasan kamu itu akan membuatmu menjadi lebih baik di mata orang-orang?” lantang Leon. “Turunkan suaramu!” teriak suara Levian jauh lebih lantang dari lantai bawah sana. Di tengah suasana yang masih cenderung gelap karena di rumah megah itu, hanya beberapa lampu kecil yang dinyalakan. Menjadi terdengar suara langkah cepat terdengar buru-buru dan semuanya yakini merupakan Levian. “Aku tidak perlu menjelaskan apa pun kepada orang yang membenciku karena hasilnya pasti percuma,” pikir Dini yang kemudian berkata, “Jika memang kalian tidak terima dan tetap menganggap aku menipu kalian. Bawa saja semuanya ke polisi. Saya siap. Apalagi saya yakin, tidak ada wanita yang mau mengalami apa yang saya alami!” Levian yang masih mengemban Anna di d**a sebelah kanan, dengan segera menahan tangan kanan Dini. Lagi-lagi Levian tak mau melepaskan Dini. “Mulai detik ini juga, lupakan Dini karena aku akan menikahinya!” tegas Levian yang menatap marah Leon. “Dan mulai detik ini juga, cepat angkat kaki dari sini!” “Levian ...,” tegur ibu Siska. “Pergi dari siniiiiiii!” tegas Levian tetap mengusir sang adik. Ia makin menatap tajam kedua mata Leon. “Tinggalkan semua fasilitas dari mobil, ATM, dan semuanya karena semua itu milikku. Aku yang menjadi pundi-pundi di keluarga ini. Namun kamu telah membuat wanitaku babak belur begini!” tegas Levian yang memang sukses membuat Leon bungkam. Bukan hanya perkara Levian yang malah akan menikahi Dini. Melainkan karena Levian juga menarik fasilitas yang selama ini Leon nikmati. Leon tidak bisa jika harus hidup tanpa fasilitas dari kakaknya. Terlepas dari perdebatan keluarga di sana yang tentu saja dimenangkan Levian. Dini tetap pergi. Dini tak mau berurusan dengan orang-orang di sana dan telanjur membuatnya trauma. “Lepaskan aku! Biarkan aku pergi! Aku tak segan b u n u h diri jika kamu terus memaksaku menjadi bagianmu! Pergiiii!” tegas Dini terus menolak Levian dan itu di hadapan keluarga Levian termasuk Leon. Dini merasa sangat muak dengan Leon maupun Levin sekeluarga. Ia memutuskan pulang walau harus penuh perjuangan dan berulang kali jatuh bangun. Leon tak bisa berkata-kata, tapi otaknya tak sampai curiga bahwa pria yang sudah membuat Dini tak p e r a w a n justru Levian. Namun berbeda dengan Leon, Levian tetap mengawal Dini. Bahkan walau Dini yang babak belur tak lebih dulu menutup kepalanya dengan hijab, pulang ke rumah orang tuanya menggunakan taksi. Levian yang masih mengikut sertakan sang putri, mengikuti menggunakan mobilnya yang pria itu setir sendiri. Dini sampai rumah, dan Levian segera mengawal. Sesibuk apa pun Dini mengusir Levian, pria itu tak gentar dan masih berjuang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD