Dibatasi

1140 Words
“Aku benar nggak boleh kerumah abi?” “Kamu harus istirahat, nanti kalau sudah baikan baru kesana.” Satu bulan sudah sejak kepulangan dari rumah sakit, komunikasi dengan orang tua dan sahabatnya sangat dibatasi. Kegiatan Gina setiap harinya adalah menemani ibu mertuanya berkebun, duduk manis dan tidak boleh melakukan apa-apa. Tugasnya hanya memastikan tidak ada masalah dalam kehamilan, anak yang ada dalam rahimnya merupakan anak yang ditunggu mungkin karena cucu pertama pasalnya kedua kakaknya belum ada yang hamil. “Aku bosan dirumah.” Gina mengeluarkan jurus jitunya. “Nanti keluar sama ibu bapak, gimana?” Fierly memberikan usul. Gina memilih memejamkan matanya mendengar usulan Fierly, setiap kali mengatakan bosan yang terjadi adalah keluar dengan kedua orang tuanya. Keinginannya adalah jalan-jalan bertemu dengan teman-teman atau menghabiskan waktu dengan umi juga saudaranya yang lain. “Aku main ke rumah Mbak Erlin gimana?” tanya Gina penuh harap. Fierly menggelengkan kepalanya “Erlin pasti report urus anaknya, kamu yang ada ganggu bukan bantuin.” “Aku bisa belajar merawat bayi sama Mbak Erlin,” ucap Gina memberikan ide. “Ibu nanti yang ajarin kamu.” Gina membuka mulutnya tidak percaya mendengar jawaban yang keluar dari bibir Fierly, semua seakan dipercayakan pada ibunya dan dirinya tidak memiliki hak untuk mengeluarkan pendapat sama sekali. Tampaknya harus bersabar menghadapi sesuatu yang baru dalam diri Fierly, adaptasi hal baru dirumah sang mertua. “Aku yakin kamu akan jadi ibu yang luar biasa, sama kaya ibu.” Fierly mengatakan dengan nada bangganya. Gina memilih diam, tidak menanggapi kata-kata Fierly. Lebih tepatnya kata-kata yang tidak diperlukan reaksi apapun, jawaban apapun itu. “Kamu mau ngapain? Nggak istirahat?” “Aku mau baca-baca tentang kehamilan, mas. Mau lihat di mbah, masa mau tanya ke ibu terus. Anak ini anak aku, aku nggak mau ada campur tangan orang lain, walaupun orang tua kita sendiri.” “Kamu meragukan ibu dalam membenarkan dan mendidik anak? Kamu lihat aku dan kakak-kakakku bisa sukses seperti sekarang, apa bukan karena didikan ibu dan bapak.” Fierly menatap tidak suka dengan kata-kata Gina. “Jaman sudah berjalan dan berkembang, mas. Pola pendidikan orang tua kita dan kita pribadi pastinya berbeda.” Gina menolak pendapat Fierly “Kita harus mencari pola asuh yang cocok, setiap anak itu pasti berbeda.” “Kamu ribet, mending kamu istirahat.” Fierly mengambil ponsel Gina dengan meletakkan di nakas “Kamu daripada tanya ke internet mending tanya sama ibu.” “Kalau tanya ibu lebih bagus juga umi dilibatkan.” Gina memberikan pendapatnya “Aku rasa kedua wanita itu sama-sama hebat, ibu dan umi yang berhasil mendidik anak-anaknya sampai besar ini.” Fierly menggelengkan kepalanya “Kita nggak bisa kesana, aku sudah kasih tahu beberapa kali. Kamu kenapa nggak nurut aja sih?” “Aku nggak bisa nalar sama alasan mas yang bilang nggak bisa kerumah orang tuaku, memang kenapa? Mereka masih orang tuaku loh, mas.” “Kamu sudah jadi tanggung jawabku, Gin. Setelah kata sah semua artinya aku mengambil tanggung jawab abi, dan kamu tahu apa artinya? Surga kamu pindah ke aku yang tidak lain sebagai suami kamu, Gin.” Gina menggelengkan kepalanya tidak percaya dengan kata-kata yang keluar dari bibir Fierly, jika tahu sifatnya seperti ini tidak akan mau menerima lamarannya. “Sayang, tolong nurut sama aku sebagai suami kamu.” Fierly menggenggam tangan Gina. “Aku harus nurut gimana? Mas tahu kalau ibu hamil nggak boleh stress? Sekarang yang mas lakukan malah membuat aku stress.” “Aku nggak ngapa-ngapain gimana kamu bisa stress? Sayang, kamu tahu kan kalau pria itu sampai kapanpun surganya ada di ibu. Kamu nggak lupa kalau sekarang aku sangat butuh doa dan dukungan dari ibu, kita tinggal di rumah abi buat aku nggak bisa minta doa sama ibu...” “Mas bisa pakai ponsel buat hubungi umi, sedangkan aku? Aku hubungi umi saja dibatasi.” Gina memotong kalimat Fierly dengan mengerucutkan bibirnya. “Kamu nggak tahu waktu hubungi umi, siapa tahu waktu kamu hubungi umi lagi istirahat atau apa. Kamu mikir sampai kesana nggak?” Gina terdiam membenarkan kali ini kata-kata Fierly “Kamu sabar aja, nanti kalau ada waktu kita ke tempat umi.” “Memang kapan?” Gina sedikit menantang Fierly gemas. “Belum tahu.” “Kenapa mas batasi semua komunikasi aku? Mas kaya takut aku ngapa-ngapain.” Gina memberikan tatapan menyelidik. “Aku nggak batasin, perasaanmu aja kali. Ibu tadi bilang sama mas mau ajak kamu ke pengajian masjid depan besok, bajunya sudah disiapin sama ibu jadi kamu tinggal pakai saja.” Gina menghembuskan napas panjangnya, bukan tidak suka mengikuti pengajian atau kajian. Cara mereka yang bagi dirinya memaksa, ditambah pakaian yang sudah dipilih dan disiapkan seakan dirinya tidak memiliki selera bagus dalam berpakaian. Gina tidak masalah dengan pakaian yang disiapkan, tapi itu bukan dirinya dan itu otomatis mau tidak mau harus dilakukan. Pembahasan tentang orang tuanya akan terhenti ketika Fierly memberitahukan tentang ajakan sang ibu ke acara yang akan melibatkan dirinya. “Kamu tahu kalau cantiknya istri hanya boleh dilihat oleh suaminya? Perlahan kamu harus menutupi diri dengan pakaian yang sesuai ajaran agama.” Fierly mencium kening Gina sebelum beranjak meninggalkannya. “Mas, aku kan ngikuti acaramu. Setelah pengajian aku kerumah umi, boleh? Bentar aja.” Gina menatap penuh harap. “Nanti kalau weekend.” Fierly keluar dari kamar sebelum Gina membuka suaranya kembali, melihat semua dan itu artinya pembicaraan terhenti dan tidak akan terbuka lagi membahas tentang keinginannya pulang ke rumah orang tuanya. Waktu berjalan cepat, ketika makan malam mereka makan bersama dan suasana di meja makan sama seperti biasanya. Tidak ada yang membuka suara kecuali sang pemilik rumah yang memulai, tampaknya tidak ada yang ingin berbicara selama makan. Gina memilih diam dan mengikuti aturan mereka, bahkan sampai selesai makan tetap tidak ada yang membuka pembicaraan. “Gina, besok sama ibu ikut pengajian. Bajunya lagi disiapkan sama mbak, jadi kamu tinggal pakai.” Gina menganggukkan kepalanya “Kamu kenapa?” “Kangen umi dan abi, bu. Mas Fierly belum kasih ijin buat kerumah abi dan umi.” Gina mencoba mengadu pada kedua orang tua Fierly. “Kamu harus nurut sama suami, jangan bantah.” Gina memilih menganggukkan kepalanya “Kalau kamu kesana takutnya sakit lagi, banyak yang bingung. Kamu mau merepotkan banyak orang?” Gina menggelengkan kepalanya “Disini saja, buktinya disini kamu sehat.” “Ya, bu.” “Fierly pasti tahu mana yang terbaik buat kamu, ini semua bukan untuk hal negatif tapi kebaikan kamu.” Gina terdiam, tidak mengeluarkan suaranya bahkan sampai mertuanya meninggalkan meja makan. Fierly masih disamping Gina tanpa melakukan apa-apa, hembusan napas panjang dikeluarkannya berjalan menuju kamar tanpa peduli keberadaan Fierly yang masih disana. “Apa sulit kamu ngikutin keinginanku?” tanya Fierly tepat dengan pintu tertutup. “Aku merasa kamu membatasi gerakan aku, bahkan bertemu dengan orang tua juga orang terdekatku.” Gina menatap kesal pada Fierly. “Batasan aku ambil demi kebaikan kita berdua, terutama kamu.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD