“Kenapa bawa aku kesini?”
“Kalau disana nggak ada yang jagain.”
“Bibi masih ada, aku nyaman kalau minta apa-apa sama bibi. Disini aku nggak enak minta tolong, aku kaya orang pesakitan.”
“Kamu itu nggak boleh banyak gerak, harus istirahat total. Disana masa kamu tega sama bibi yang sudah tua kamu suruh-suruh, disini ada ibu yang mastiin kebutuhan kamu dengan mengawasi mbak.”
Gina menatap malas pada Fierly, keputusannya benar-benar mengejutkan. Gina tidak tahu semua yang ada dalam isi kepala Fierly, dinyatakan boleh pulang setelah infus habis secara tiba-tiba membawa Gina ke rumah orang tuanya. Alat komunikasi yang biasa dipakai langsung diambil, Gina hanya sempat membaca pesan dari Indira setelah mengatakan tidak datang wisuda.
“Ponsel aku mana?” Gina mengulurkan tangannya.
“Aku ganti yang baru.”
Gina menyipitkan matanya “Kenapa ganti yang baru?”
“Biar kembaran, sekalian nomernya juga kembar.”
Gina membuka mulutnya tidak percaya “Memang harus? Disana banyak nomer teman-temanku.”
“Nanti tinggal dipindahkan.” Fierly menjawab santai “Kamu nggak usah mikir aneh-aneh, sekarang yang kamu pikirkan adalah gimana anak kita.”
Gina memilih diam saat merasakan tangan Fierly di perutnya dengan memberikan belaian pelan, mencoba berpikir positif atas perbuatan Fierly ini. Bisa saja menentang tapi setiap kali bibirnya akan mengajukan protes, Fierly bisa membacanya dan selalu mengatakan alasan-alasan yang masuk akal.
“Pakaian aku bagaimana?” tanya Gina menatap Fierly.
“Ibu sudah belikan baju buat kamu, mulai sekarang pakai baju tertutup.”
“Kenapa mendadak begitu? Perjanjiannya bukan begitu.” Gina seketika protes.
“Bagaimana perjanjiannya tetap kamu pakai jilbab, kan? Jadi nggak peduli caranya bagaimana.” Fierly mengatakan dengan santai.
“Selera aku sama ibu nggak sama.” Gina lagi-lagi mengatakan apa yang dipikirkan dengan menolak semua rencana Fierly
“Ibu tahu mana yang terbaik dalam menutup aurat, kamu mau nurut kan? Aku mau kita berjodoh sampai akherat di surga bersama-sama, memang kamu nggak mau? Aku mengajak kebaikan bukan keburukan.” Fierly masih dengan sikap memaksanya.
Gina kembali terdiam mendengar kata-kata Fierly, kalimat yang sama setiap kali menginginkan dirinya untuk menggunakan pakaian tertutup. Mendengar akan dipikirkan pakaian oleh mertuanya, Gina sudah sangat yakin jika tidak akan sesuai dengan style dan seleranya. Gina baru menyadari jika Fierly ini sangat memaksakan kehendaknya, bahkan tidak suka jika tidak menurut atau membantah setiap keinginannya.
“Aku pakai setelah melahirkan bagaimana?” Gina mencoba negosiasi.
“Alasannya?” tanya Fierly dengan tatapan dalam.
“Aku butuh penyesuaian, kamu mendadak tinggal disini dan sekarang langsung menyuruh mengganti cara berpakaian. Aku saja yang memilih pakaiannya, jangan ibu. Aku takut nggak cocok sama selera ibu.” Gina mencoba memberikan alasan yang masuk akal.
“Kamu bisa latihan dengan buka tutup jilbabnya, tapi setelah melahirkan tidak ada lagi toleransi. Masalah pakaian sayangnya ibu sudah membelikan dan ada dalam lemari itu.”
Gina hanya bisa diam mendengar kenyataan tentang pakaian, tidak ada harapan untuk membeli pakaian lagi. Gina sangat tahu bagaimana gaya berpakaian dari keluarga Fierly dan itu tidak sesuai dengan dirinya.
“Kalau nanti kamu sudah sembuh kita foto wisuda di studio.”
Gina menatap punggung Fierly yang berjalan keluar setelah menyampaikan informasi tentang rencananya yang masih ingin ada momen wisuda, walaupun hanya sekedar foto setidaknya bisa mengobati perasaan sedihnya dari tidak mengikuti wisuda. Tidak tahu harus berbuat apa, perlahan beranjak dari berbaringnya dengan melangkah keluar dari kamar, membuka pintunya perlahan dan tidak menemukan Fierly di lantai atas. Melangkah pelan dengan menuruni tangga, berharap melihat Fierly tapi sayangnya tidak ada siapa-siapa.
“Bagus bawa kesini saja, kamu bisa didik dia. Lagian kalau dia disini ibu jadi lebih sehat, kamu disana nggak disini ibu sering lemas.”
“Makanya momennya pas, kalau nggak ada kejadian begini belum tentu bisa kesini. Ibu harus kasih uang banyak ke dia.”
Gina memejamkan matanya berpura-pura tidur saat mendengar percakapan mereka secara tidak sengaja, tampaknya Fierly dan ibunya ada di kamar dan tidak menyadari keberadaan Gina. Suara pintu terbuka membuat Gina memejamkan matanya, mencoba untuk tidur dan tepukan pelan seketika Gina membuka matanya.
“Kenapa disini? Bukannya kamar?” tanya Fierly lembut.
“Capek di kamar, tapi begitu sampai bawah malah capek jalannya makanya langsung mejemin mata buat atur napas.” Gina memberikan alasan yang masuk akal.
Gina akan melakukan sandiwara tidak mengetahui apapun pembicaraan mereka, sebenarnya sedikit menebak tapi takut harus melakukan apa. Kehamilannya seketika membuat Gina berpikir ulang tentang apa yang harus dilakukan, langkahnya sangat berpengaruh bukan hanya masa depannya tapi juga sang anak, cukup sudah membuat kesalahan di masa lalu dan sekarang tidak akan melakukannya lagi.
“Mau makan?” Gina menggelengkan kepalanya mendengar tawaran dari sang ibu mertua.
“Kamu belum makan loh, sayang. Bukannya kamu harus kemasukan makanan? Kalau kamu nggak mau makan nanti yang ada balik lagi ke rumah sakit, memang kamu nggak kasihan sama anak kita? Pikirkan dia, sayang.”
Fierly lagi-lagi benar, dirinya tidak boleh egois. Anak mereka membutuhkan banyak perhatian, gizi dan banyak lagi. Pembicaraan mereka tidak penting, meyakinkan itu beberapa kali dengan harapan tidak berpikir yang aneh-aneh.
“Mas yang suapin, boleh?” Gina memberikan tatapan penuh harap yang diangguki Fierly.
“Ibu ambilkan.”
Gina menatap punggung ibu mertuanya, melihat sikap dan mendengar pembicaraan dengan Fierly masih sulit dipercaya. Semua tidak sama seperti yang terlihat, tidak tahu mana yang benar dari semuanya, pembicaraan atau sikap mereka sama-sama membuat pusing. Waspada, satu kata yang tepat until dirinya saat ini atau mungkin menjalani semuanya sampai dirinya melahirkan. Sabar, itu yang akan dilakukannya selama masa kehamilan dengan mengikuti permainan mereka terutama Fierly, suaminya.
“Makan dulu, sayang.” Fierly mengarahkan sendok ke mulut Gina yang langsung membuka mulutnya.
“Makan yang banyak, biar hamilnya kuat sampai melahirkan ditambah air susunya lancar. Nanti menyusui sampai dua tahun, ya?” Gina memilih menganggukkan kepalanya sambil mengunyah makanan.
“Makan kamu banyak, udah bisa makan ya?” Gina menatap tidak percaya piring yang ada ditangan Fierly sudah kosong “Kamu suka masakannya ibu?”
“Mungkin, bisa jadi aku memang lapar. Waktu di rumah sakit aku makannya nggak banyak, efek dari infus mungkin.”
Gina mengingat selama di rumah sakit hanya menghabiskan infus yang isinya adalah makanan dan vitamin, dirinya tahu karena dokter mengatakan pada saat itu. Makanan yang disupain Fierly habis bisa jadi efek dari itu semua, tidak ada asupan makanan dan hanya infus membuat Gina lapar.
“Ibu senang makan kamu banyak, bagaimanapun semua demi anak kalian. Nggak usah dibuat masalah, terpenting setelah ini baik-baik saja dan nggak masuk rumah sakit lagi. Sekarang lebih baik istirahat, kamu bawa ke kamar biar bisa istirahat.”
Gina menatap punggung ibu mertuanya yang membalikkan piring dan gelas tempatnya makan tadi, Fierly mengulurkan tangan membawa dirinya kembali kedalam kamar.
“Apa aku nggak bisa disini? Aku bosan didalam kamar.” Gina menatap penuh harap.
“Nggak sekarang, kamu harus istirahat terlebih dahulu apalagi baru pulang dari rumah sakit.”