Alasan Sebenarnya

1153 Words
“Makin besar perut kamu.” Gina tersenyum mendengarnya, belaian di perut membuatnya tenang dan memejamkan matanya menikmati sentuhan yang diberikan ibu mertuanya. “Semoga lancar nanti melahirkan, bayi dan kamu selamat.” “Amiin, bu.” Gina mengaminkan doa yang diberikan ibu mertuanya “Winda akhirnya hamil setelah beberapa tahun nggak hamil, tadi pagi hubungi ibu.” “Oh ya? Alhamdulillah, ikut senang dengarnya. Mas Fierly belum tahu?” “Belum, masih ibu sama bapak aja yang tahu. Pamali katanya kalau belum tiga bulan, tapi Winda kasih tahu kami. Rencananya mau tidur disini, ibu malah senang akan ada dua ibu hamil disini.” Gina hanya diam mendengar perkataan mertuanya, suami Winda memberikan ijin tidur dirumah orang tuanya berbeda dengannya. Fierly tidak memberikan ijin tidur disana, datang kerumah orang tuanya tidak dilakukan sejak tinggal disini. Fierly akan menyibukkan diri di hari kerja, sedangkan weekend akan selalu ada acara di rumahnya ini. “Kamu mau pengajian disini, kan?” “Pengajian apa, bu?” Gina mengerutkan keningnya “Tujuh bulanan? Memang harus?” “Jelas, masa nggak sih. Kita adakan disini nanti undang orang tuamu kesini.” “Aku bicarakan dulu sama Mas Fierly, bu.” “Fierly bilang terserah ibu, makanya sebelum diadakan ibu memastikan dulu sama kamu kalau pengajian disini bukan rumah orang tuamu.” “Dimana saja nggak masalah, bu.” Gina memang tidak memiliki jawaban apapun, mengadakan acara di rumah orang tuanya jelas tidak mungkin. Fierly akan memilih untuk mengadakan di rumah orang tuanya, mereka juga harus berhemat untuk biaya melahirkan. “Pengajiannya nanti pengajian atau pakai acara?” Gina menatap ibu mertuanya yang tampak antusias “Aku terserah Mas Fierly baiknya gimana, bu.” Gina tidak mau membebani Fierly dengan acara tubuh bulanan, saat ini baginya adalah keselamatan saat melahirkan dan anak mereka sehat. Gina tidak membayangkan yang lainnya, makanya tidak membahas acara tujuh bulanan tersebut pada Fierly. “Jenis kelamin sudah tahu?” “Kemarin sih katanya sudah terlihat, Mas Fierly minta nggak usah kasih tahu.” “Sayang banget, kapan kalian kontrol lagi?” “InsyaAllah minggu depan, bu.” “Bagus, kalau begitu tanya jenis kelaminnya. Ibu nanti yang bilang sama Fierly, biar enak waktu doa nantinya.” Gina memilih menganggukkan kepalanya. Fierly akan melakukan apa yang dikatakan ibunya, berbeda jika dirinya yang memintanya. Fierly akan langsung menolak, perbedaan yang sudah mulai dirasakan semenjak masuk kedalam rumah ini dan itu artinya sudah berjalan beberapa bulan. Selama beberapa bulan atau hampir empat bulan, Gina hanya pulang ke rumah orang tuanya bisa dihitung jari, sekitar sepuluh atau bahkan kurang. Alasan selalu ada setiap kali mengajak pulang ke rumah orang tuanya, Gina sudah malas meminta pada Fierly untuk pulang ke rumah orang tuanya. Membiarkan sadar sendiri, paling kalau terlalu lama maka ibunya yang menyuruh untuk ke rumah orang tuanya, mereka hanya datang beberapa jam dan setelah itu pulang. “Kamu mau makan?” Gina menatap sumber suara yang sedang menyiapkan makanan “Ibu tadi masak pesanan Fierly.” “Nanti sama Mas Fielry, bu. Gina ke kamar dulu.” Meninggalkan ibu mertuanya menuju kamar, mereka masih menempati kamar Fierly yang ada dilantai atas. Beberapa kali diminta pindah kamar tidak dilakukan, Fierly merasa nyaman di kamarnya dan Gina hanya bisa mengikutinya. Setidaknya berada di lantai atas tidak perlu basa-basi terlalu lama dengan ibu mertuanya, perasaan tidak nyaman masih dirasakan meskipun sudah lama tinggal. Aura dalam rumah ini sangat berbeda dengan rumah orang tuanya, awal berpikir proses adaptasi tapi mendengar pembicaraan Fierly bersama ibunya sempat membuat Gina berpikir negatif dan seketika menghilang begitu saja dengan banyaknya kejadian. “Mas, sudah pulang? Jam berapa ini? Lembur? Udah makan?” Gina menatap jam yang ada di dinding. “Sudah, tadi bahas masalah toko sama Fajar.” “Mas ketemu Mas Fajar? Indira juga?” Gina menatap penuh harap. “Fajar aja, Indira di rumah.” Fierly berkata dengan nada datarnya, Gina mengernyitkan keningnya mendengar nada suara Fierly. “Mas, aku buat salah?” Fierly mengernyitkan keningnya mendengar pertanyaan Gina “Memang kenapa?” “Nada suara mas beda.” Gina menundukkan kepalanya. “Aku pusing mikirin masalah toko, kamu harus melahirkan. Uang kita juga terbatas, masa aku minta sama orang tua? Mau taruh mana muka?” Fielry mengusap wajahnya kasar “Kamu tahu kenapa dibawa kesini? Aku malu sama orang tuamu yang masih bergantung sama mereka, padahal seharusnya aku sudah bisa bertanggung jawab sama kamu.” “Mas?” Gina menatap tidak percaya saat mengetahui alasan sebenarnya “Kenapa mas nggak bilang sebenarnya? Aku nggak akan nuntut apa-apa kalau tahu.” Fierly tidak mendengarkan kata-kata Gina, masuk kedalam kamar mandi dengan tatapan Gina yang tidak lepas darinya. Penyesalan seketika hadir, tidak hanya itu rasa bersalah juga dan jauh lebih besar dibandingkan penyesalan. “Mas, sebenarnya abi sama umi nggak akan masalah sama itu. Mas kalau memang kesulitan uang bisa bicara sama abi.” Fierly menghentikan langkahnya menatap dalam Gina “Kamu nggak kasihan sama abi? Mau sampai kapan menjadi beban abi?” Gina menundukkan kepalanya “Ibu tadi bilang mau adakan pengajian, menurut kamu?” “Aku bilang sama ibu kalau ikut kata mas,” jawab Gina menatap dalam Fierly. “Aku setuju.” Gina menatap tidak percaya “Mas ada uang darimana?” “Bapak yang bayarin.” “Apa patungan sama abi?” usul Gina yang dijawab Fierly gelengan kepala “Apa abi yang bantuin biaya melahirkan?” Fierly memberikan tatapan tajam “Kamu sudah tanggung jawab aku, masa harus minta sama abi. Malu aku sama abi, saudaramu dan Darwin. Harga diri aku sebagai pria taruhannya, kamu nggak usah mikir itu, aku yang akan mikir.” Melihat Fierly keluar dari kamar yang langsung diikuti Gina, turun dengan pelan di belakang Fierly yang berjalan ke ruang makan. Kedua orang tuanya sudah berada disana, melihat itu Gina tahu jika akan pembicaraan serius. Melayani Fierly dengan mengambilkan makanan, bergabung makan bersama tapi belum ada yang memulai pembicaraan. “Fierly setuju buat pengajian, kalian jangan lupa waktu kontrol minta dikasih lihat jenis kelaminnya.” “Sebenarnya pengen kejutan aja, bu.” Fierly memilih menjawab “Memang harus tahu?” “Nggak sih, biar enak kalau doainnya.” “Nanti kita tanyakan,” jawab Fierly lagi. “Apa yang harus disiapkan, bu? Aku nanti bantu apa?” Gina membuka suaranya menatap sang mertua. “Nggak perlu, kamu istirahat aja. Semua sudah pesan dan ada yang bantuin, lebih baik jaga kehamilan kamu. Awal hamil harus bedrest total, kalau kelelahan malah berbahaya. Udah istirahat aja, nanti pas pengajian aja keluarnya.” Gina hanya bisa menganggukkan kepalanya. “Makasih sudah perhatian sama kita, bu.” Fierly menatap tidak enak yang diangguki Gina karena tidak tahu harus berkata apa. “Anak kamu itu cucu pertama disini, wajar kalau kita semangat. Cucu pertama pastinya akan mendapatkan perhatian lebih, kalau di orang tua kamu cucu kedua ya?” Gina menganggukkan kepalanya “Energinya berbeda antara yang belum dan sudah punya cucu.” “Sekarang tahu alasan lain kenapa kita tinggal disini?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD