Leon menghabiskan cairan merah dalam gelas berkaki—hanya dengan sekali tenggak. Pria itu kemudian menyambar satu gelas lagi yang berisi cairan yang sama.
Kalea menahan tangan Leon yang sudah akan mengangkat gelas ketiganya. “Hentikan, Leon. Banyak mata yang sedang menatapmu,” bisik wanita itu.
Bukan seperti ini rencana mereka menghadiri acara ulang tahun pernikahan kedua orang tua Leon. Seharusnya, bukan Leon yang seperti cacing kepanasan setelah bertemu dengan dua musuhnya. Seharusnya, mereka lah yang kalah.
“Mereka akan tertawa kalau melihatmu seperti ini,” peringat Kalea, yang hanya mendapatkan lirikan tajam dari pria tampan dengan kulit putih bersih tersebut. Leon tetap saja mengenggak gelas ketiganya.
“Gue nggak akan mabuk hanya karena minum tiga gelas.”
Kalea memutar kedua bola matanya. Jelas saja tidak akan mabuk. Sampai sepuluh gelas pun, ia yakin Leon tidak akan mabuk. Yang ada, pria itu akan kembung, dan juga beser. Ah … sudahlah. Orang kalau sedang marah memang suka kehilangan akal. Sirup pun dia anggap seperti wine.
Karena kesal peringatannya tidak Leon gubris, Kalea berakhir dengan mengikuti Leon. Mengambil gelas berisi tersebut, lalu meneguknya besar-besar.
“Mau coba yang warna hijau?” tanya Kalea dengan nada kesal. Yang lagi-lagi hanya mendapatkan lirikan tajam pria yang dia tanya. Kalea berdecak kesal, lalu melanjutkan minumnya.
***
Cylo menahan bahu Theya yang sudah akan memutar tubuh.
“Aku ingin ke toilet.” Theya berkata dengan menatap sepasang mata sang suami.
Beberapa detik yang Cylo lakukan hanyalah menatap ke dalam sepasang bola mata dengan manik sepekat malam tanpa bintang dan bulan di hadapannya, sebelum kemudian mengangguk kecil. Memberikan izin pada sang istri, yang kemudian benar-benar memutar tubuh, lalu melangkah dengan anggun meninggalkannya.
Cylo menghembuskan nafasnya pelan. Pria dengan rambut sedikit panjang bergelombang, juga bulu-bulu yang sengaja ia biarkan tumbuh di sekitar rahangnya itu, tersenyum miring sembari memperhatikan punggung sang istri menjauh. Sebelah tangan pria itu terangkat—mengusap bibirnya. Untuk kedua kalinya ia mencium wanita yang tak lain adalah istri sahnya sendiri.
Senyum Cylo lenyap seketika, saat sepasang netranya menangkap dua orang pria beda generasi yang terlihat sedang bicara serius. Meski ia tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan, namun sedikit banyak ia bisa menebaknya.
Cylo membawa kedua tangannya masuk ke dalam saku celana kainnya—hanya untuk mengepal di dalam sana.
Dua tahun. Apakah setelah dua tahun, semua akhirnya akan berakhir? Posisinya di perusahaan dan rumah sakit milik orang tuanya.
Rumah sakit yang didalamnya juga ada keringat wanita yang melahirkannya. Rumah sakit yang tidak ingin ia lepas, sesulit apapun jalannya. Bahkan sekalipun harus mengorbankan seseorang hanya agar ia bisa tetap memegang kekuasaan di Rumah sakit tersebut. Dan ia sudah berhasil bertahan selama dua tahun. Jika semua harus berakhir sekarang—sungguh ia tidak rela.
Dengan sepasang rahang yang terkatup kuat, pria dengan tatapan tajam itu menghela langkah panjang. Pria itu tidak mengalihkan tatapan matanya dari obyek yang membuatnya merasa terganggu. Membuat beberapa orang yang mengenalnya, menatap dengan kening berkerut.
***
Theya berjengkit. Wanita itu terkejut, saat nyaris bertabrakan dengan seseorang yang tergesa masuk ke dalam toilet. Theya mengusap dadanya. Wanita itu menoleh, hanya untuk dibuat semakin terkejut saat melihat siapa yang nyaris menabraknya.
Tidak hanya Theya yang terkejut. Begitupun dengan Kalea yang tidak menyangka akan bertemu dengan Theya di dalam toilet.
“Kamu ….”
Theya membalas tatapan Keala. “Ada apa?” tanya Theya dengan alis berkerut.
“Ah … sudahlah. Aku sedang terburu-buru.” Kalea mengibas sebelah tangannya, lalu tampak terburu-buru melewati Theya, sebelum akhirnya masuk ke dalam salah satu bilik.
Theya menggelengkan kepala, sebelum melanjutkan hela langkah keluar.
Sementara itu, Kalea mengumpati Leon yang membuatnya meneguk beberapa gelas minuman, dan sekarang efeknya ia jadi beser. Oh … padahal dia tadi sedang mengobrol bersama calon ibu mertuanya.
Theya mengedarkan matanya begitu kembali memasuki tempat acara. Wanita itu tidak mendapati sang suami terlihat di tempat terakhir ia meninggalkannya. Apa mungkin pria itu sudah pergi meninggalkannya?
Theya menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Suaminya itu memang sering kali tidak tertebak. Dua tahun ia menikah dengan Cylo. Hidup di bawah atap yang sama. Bahkan tidur di dalam kamar yang sama, namun ia tetap saja masih belum bisa mengenal seperti apa sang suami yang sebenarnya.
Pria yang menikahinya dua tahun lalu itu selalu pergi ke kantor pagi-pagi sekali, dan pulang larut malam. Sampai di rumah pun, Cylo sering berdiam di dalam ruang kerjanya. Theya tidak tahu apa yang pria itu lakukan. Dia pun tidak pernah bertanya, karena itu memang bukan urusannya. Yang Theya tahu hanyalah Cylo tidak akan pernah suka jika ia mencampuri urusan pria itu.
Theya mendesah, ketika masih belum menemukan keberadaan sang suami. Kemana sebenarnya Cylo pergi? keluh Theya dalam hati. Cylo bertubuh tinggi, tapi kenapa ia tidak bisa melihatnya. Theya melanjutkan langkah kakinya, sembari tetap mengedarkan mata
“Kamu tidak sedang mencari kekasihku, bukan?’
Theya mendengkus, saat mendengar suara yang beberapa saat lalu baru ia dengar. Wanita dengan gaun putih panjang itu melirik seorang wanita dengan dress merah, yang sudah menyamai langkah kakinya. Theya tidak menjawab pertanyaan Kalea. Wanita itu hanya terus melanjutkan hela kakinya, hingga membuat Kalea menjadi kesal.
Lea meraih sebelah lengan Theya hingga membuat wanita yang sedang mencari keberadaan suaminya itu menoleh, dan refleks hela kakinya pun terhenti. Theya menurunkan pandangan ke arah tangan Kalea yang sedang memegang lengannya.
Kalea berdecak, melihat respon Theya. Wanita bergaun merah itu kemudian melepas tangannya, sembari berucap, “Jangan lagi mengganggu Leon.”
Theya mengangkat pandangan matanya. Menatap wanita yang baru saja memberinya peringatan yang Theya anggap aneh—dengan alis yang sudah berkerut.
Kalea memutar sepasang bola matanya. Semakin kesal, karena wanita di sampingnya ini seperti patung yang tidak bisa bersuara. Hanya memberi respon dengan tatapan mata yang membuatnya jengah, sekaligus kesal luar biasa.
“Dasar manusia patung,” kesal Kalea yang masih belum mendapatkan respon berupa satu kata pun--keluar dari mulut Theya. “Heran … bagaimana bisa dulu Leon jatuh cinta pada perempuan kaku, dan biasa seperti kamu!”
“Untung saja dia tidak jadi menikah dengan perempuan seperti kamu.” Kalea berdecak, sembari memperhatikan Theya dari ujung kepala, sampai ujung kaki. “Kamu memang cocoknya sama Cylo. Sama-sama tidak tahu bagaimana menyenangkan pasangan.” Lalu Kalea terkekeh sendiri.
“Ah … aku tidak bisa membayangkan urusan kalian di ranjang.” Kalea menggelengkan kepalanya. “Aku tidak akan percaya, sekalipun kalian memperlihatkan keharmonisan di depan orang lain.”
“Sudah selesai bicara?” tanya Theya, yang membuat Kalea mengerjap. Meski begitu, dua detik berikutnya Kalea menggeram kesal, ketika Theya justru pergi meninggalkannya begitu saja.
Wanita dengan dress merah itu menghentak kakinya. Heran pada Theya yang entah tertutup apa hatinya hingga bisa sedingin itu. Theya bahkan tidak memberikan tanggapan apapun dari semua yang ia katakan. Soal pernikahannya dengan Leon yang kandas, dan berakhir dengan Cylo.
Theya juga tidak mengubrisnya--yang sengaja membicarakan urusan ranjang mereka. Theya tidak menyangkal, pun membenarkan tebakannya. Kalea membuka mulut, dengan sepasang mata melebar. Apa jangan-jangan tebakannya benar? Ah … dia ingin tertawa keras. Sayangnya, otaknya masih sadar dan mengingatkan tentang keberadaannya saat ini.
Kalea tersenyum lebar, ketika memikirkan tebakannya yang sepertinya benar. Mereka tidak seromantis kelihatannya. Ah … sepertinya, kali ini ia akan memberi tahu Leon supaya mood pria itu membaik. Mereka tidak kalah. Cylo dan Theya hanya berpura-pura bahagia di depan orang lain. Ya … Kalea mengangguk yakin. Tebakannya pasti benar. Kalau seperti itu, bukankah dia dan Leon yang menang?
Dengan penuh semangat, Kalea kembali menghela langkah. Wanita itu melongok mencari keberadaan Leon yang masih tidak terlihat. Kemana lagi pria itu pergi.
Kalea kemudian tersenyum, saat melihat calon ibu mertuanya sedang berbincang dengan dua wanita sosialita lainnya. Wanita itu melangkah semakin cepat untuk menghampiri calon ibu mertuanya. Lebih baik ia ikut berbincang dengan calon mertuanya, dari pada bingung mencari keberadaan Leon. Biarkan pria itu nanti yang menemukannya.
***
“Jadi … katakan apa yang sedang kalian berdua rencanakan.” Cylo berucap dingin. Sepasang mata tajam pria itu menatap dua orang beda usia yang dipergokinya sedang berbicara serius, seakan sedang merencanakan sesuatu di belakannya.
Ayah dan dua orang anak tersebut duduk melingkari meja bundar di pojok terjauh dari keriuan pesta. Sang papa menggiring kedua anaknya, saat mendapati si sulung menghampirinya yang sedang berbincang dengan putra bungsunya. Pria itu tidak ingin membuat keributan di pestanya sendiri.
“Kami tidak sedang merencanakan apa-apa,” jawab pria dengan rambut yang sebagian sudah memutih.
Sementara di bungsu duduk menyender santai dengan kedua tangan terlipat di depan d**a. Terlihat tidak peduli dengan kemarahan yang tergambar di wajah pria yang ia benci, yang sayangnya memiliki darah yang sama dengannya.
Cylo menelengkan kepalanya. Menatap sang adik yang melarikan bola mata darinya. “Untuk apa kamu kembali lagi? Sudah puas bermain-main di luar sana?”
“Cylo!” sang papa memperingatkan. Kedua anaknya ini pasti akan bertengkar, jika ia membiarkan mereka lebih lama lagi--tanpa menginterupsi.
“Bukankah yang aku katakan benar?” Cylo yang tidak terima, menoleh ke arah sang papa.
“Kamu yang membuatnya pergi dua tahun lalu.”
Sepertinya, jawaban pria dengan dua anak laki-laki itu--salah besar, lantaran Cylo sudah tidak menahan suara tawanya lagi.
Leon menegakkan punggungnya. Pria itu akhirnya menatap sang kakak dengan sorot mata marah. Kalimat yang baru saja keluar dari mulut papanya, mengingatkannya pada kejadian dua tahun lalu. Saat Cylo, dan Atheya menghancurkannya.
“Bukan aku. Bukan aku yang membuat putra mahkota Papa pergi.” Cylo kembali tertawa, sembari menggelengkan kepala. “Papa lah yang membuat dia akhirnya pergi.”
“b******k!!” Leon sudah mulai terbakar emosi melihat sikap Cylo. Apalagi ketika Cylo justru menyalahkan sang papa sebagai penyebab kepergiannya. Padahal sudah jelas, Cylo dan Atheya lah penjahatnya di sini.
“Lo dan wanita ibl*s itu benar-benar sama. Kalian berdua tidak pantas ada di dunia ini.”