Pertemuan Setelah Dua Tahun
Apa maksud ini?" Leon melempar undangan berwarna merah ke hadapan Atheya. Tidak dia hiraukan tatapan terkejut dua orang wanita yang duduk bersama Theya di balik meja perawat. Kemarahan pria itu sudah menggunung. Tanpa ada gelagat aneh selama persiapan pernikahan, tiba-tiba saja Theya menjatuhkan bom hanya beberapa hari sebelum pesta itu digelar.
"Katakan, Theya. Apa maksud semua ini?" Sepasang mata Leon memerah karena amarah.
Dengan nafas memburu, Leon menatap tajam wanita cantik yang seharusnya akan menjadi pengantinnya minggu depan.
Theya yang sedang menulis laporan perkembangan pasien, menghentikan gerakan tangannya. Sepasang netra wanita itu bergulir ke arah kartu undangan yang tertulis namanya sebagai calon pengantin wanita.
Atheya mengangkat kepala. "Aku akan menikah dengan Cylo, bukan kamu."
***
Dua tahun setelah pernikahan Atheya,
Atheya dengan berani menatap balik semua pasang mata yang menatap menelisik ke arahnya. Wanita itu berjalan dengan langkah penuh percaya diri, di samping pria dengan tubuh tinggi tegap yang sudah selama dua tahun menjadi suaminya.
Sudah dua tahun terlewat, dan orang-orang itu masih menatapnya dengan tatapan mencemooh. Theya mengeratkan rengkuhan tangannya di lengan kanan sang suami, sementara dagu wanita itu masih terangkat. Dia bukan wanita lemah, dan dia tidak melakukan kesalahan seperti apa yang mereka tuduhkan melalu tatapan mata mereka. Mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
“Kita akan menyapa mereka. Tersenyumlah,” perintah Cylo sembari menurunkan kepalanya agar bisa berbisik di telinga sang istri.
Tanpa menoleh, Theya mulai memasang senyum palsunya. Sebenarnya, dia muak berhadapan dengan orang-orang dalam pesta perayaan ulang tahun pernikahan mertuanya. Orang-orang kaya itu selalu saja menatapnya rendah. Ah … mungkin memang di mata mereka ia hanya manusia rendahan tanpa asal asul yang jelas.
Theya mendengkus dalam hati. Memangnya siapa yang ingin berakhir di panti asuhan tanpa mengetahui siapa dua orang yang sudah membuatnya ada di muka bumi ini? Theya tentu akan menolaknya, jika ia diberikan pilihan. Sayangnya, ia tidak mendapatkan pilihan tersebut. Saat mulai mengenal dunia, dia sudah berada di tempat yang berisi anak-anak yang senasib dengannya. Dibuang oleh orang tuanya sendiri.
“Oh … ini dia pengantin baru kita.”
Theya ingin sekali memutar bola matanya, ketika salah satu adik ibu mertuanya menyapa mereka. Oh … tentu saja bukan sapaan yang sebenarnya. Yang terjadi sebenarnya adalah sindiran yang dibalut dengan kalimat sapaan. Memangnya siapa yang masih menganggap dua tahun pernikahan sebagai pengantin baru.
“Apa masih belum ada tanda-tanda?” tanya seorang wanita dengan tubuh tambun, yang rambut pendeknya di sasak hingga terlihat mengembang. Sebelah tangan gempal wanita itu memegang gelas berkaki dengan cairan oranye di dalamnya, sementara sepasang matanya menyapu tubuh Atheya di bagian perut.
“Seperti yang Tante Mara katakan, kami masih menikmati pernikahan kami sebagai pengantin baru.” Bukan Atheya, melainkan Cylo yang menjawabnya. Pria itu menebar senyum lebar, yang hanya Theya lirik. Tentu saja Theya tahu jika senyum itu juga hanya senyum palsu.
Sang tante yang disebut namanya--tertawa renyah, sembari mengangukkan kepala hingga rambut yang sengaja dibuat keriting itu bergerak-gerak.
“Mungkin mereka ingin menunggu Leon menikah dulu, lalu memiliki anak bersamaan.”
Theya tertawa sumbang mendengar ucapan sang tante yang ia anggap sebagai sindiran. Leon … hah! Atheya bahkan berharap tidak akan pernah bertemu lagi dengan pria itu. Karena dia lah, semua orang menatapnya seperti hewan pemburu yang ingin segera menerkam mangsanya.
Ya … Leon lah yang menjadi penyebab semua orang yang mengenalnya—membencinya. Bahkan mertuanya sendiri, masih belum mau menganggapnya sebagai menantu.
“Tidak ada hubungannya dengan Leon. Kami sudah bahagia masing-masing.” Masih Cylo yang menjawab, sementara Atheya hanya menggelengkan kepalanya.
“Iya dong, jeng. Lagi pula, harus berapa lama lagi kalau mereka harus menunggu Leon menikah? Sepertinya, dia juga masih belum bisa move on.” Teman tante Mara berbicara, sembari melirik ke arah Atheya.
Tante Mara mengibas sebelah tangannya. “Tidak lama lagi kok, jeng.” Wanita itu kembali tertawa. “Sepertinya kalian belum ada yang tahu, ya.” Lalu, wanita itu mengedarkan matanya.
“Nah … itu dia orangnya muncul. Panjang umur dia,” Tante Mara menunjuk dengan jari yang berhias kutek warna merah darah—ke arah pintu masuk. ketiga orang yang berdiri bersamanya, sontak menoleh.
Cylo melirik wanita yang tampil anggun dengan dress panjang putih tanpa lengan. Rambut wanita itu tergulung ke atas, sementara poni yang terbelah dua dibiarkan jatuh bebas, bersama dengan beberapa helai rambut bagian samping yang sengaja dibiarkan terlepas oleh pemiliknya. Leher Atheya berhias kalung mutiara hitam. Kakinya yang cukup jenjang, terbalut heels 7 centi. Istrinya benar-benar tampil mempesona.
Tidak ada perubahan raut wajah Atheya, ketika wanita itu melihat siapa yang sedang menjadi pusat perhatian nyaris seluruh undangan yang memenuhi ballroom hotel bintang lima tersebut.
Tanpa Theya sadari, Cylo menyeringai. Sebelah tangannya yang bebas—terangkat, lalu menggenggam tangan Theya yang merengkuh lengannya.
Theya menoleh, hanya untuk mendapati sang suami yang sedang menatap ke depan dengan senyum mengembang.
***
Leon melangkah memasuki ballroom hotel tempat kedua orang tuanya merayakan pernikahan mereka yang ke 30 tahun. Pria itu berjalan tidak sendirian. Tangannya menggandeng telapak tangan seorang wanita cantik dengan rambut ikal panjang tergerai. Lekuk tubuhnya terlihat jelas dengan dress ketat warna merah, sepanjang di atas lutut.
Leon menebar senyum, yang pasti akan sanggup membuat hati wanita yang menatapnya melumer seketika. Pria itu sungguh tampan. Tinggi tegap dengan kulit putih bersih. Sepasang alis yang tebal tersisir rata. Matanya sedikit lebih kecil di banding orang indonesia pada umumnya. Hidungnya tinggi, dan bibirnya sexy. Leon adalah jelmaan oppa-oppa dari negeri ginseng.
“Dia masih tetap tampan.”
Leon bisa mendengarnya. Pujian itu terlontar dari entah siapa. Leon tidak peduli. Sepasang mata pria itu masih menyisir kerumunan tamu yang menghadiri acara orang tuanya. Ia yakin … wanita itu ada di tempat ini. Wanita yang sudah menghancurkan hatinya. Wanita yang menghianati cintanya.
Sepasang rahang Leon mengeras, begitu netranya menemukan sosok yang ia cari dari saat pertama kali kakinya terhela memasuki ballroom hotel. Wanita itu ada di sana. Berdiri dengan wajah angkuh di samping suaminya yang berwajah keras.
“Apa itu dia??”
Leon melarikan bola matanya ke samping. Hanya sepersekian detik, sebelum kembali meluruskan tatapannya.
Atheya membalas tatapan mata Leon yang jelas tertuju ke arahnya. Tatapan membunuh yang sudah selama dua tahun tidak lagi dilihatnya. Tidak ada gentar dalam mata Atheya sekalipun ia tahu sebenci apa Leon padanya.
“Dasar perempuan tidak tahu diri. Murahan,” gumam Leon yang membuat senyum wanita yang berjalan bersama pria itu—mengembang lebar.
Ternyata tebakannya tidak meleset. Wanita yang mengenakan gaun panjang warna putih itu lah sosok yang membuat Leon akhirnya bisa dia miliki. Menggeser bola matanya ke samping seorang wanita yang harus ia akui terlihat anggun, cantik, namun juga misterius—Kalea mengerjap. Senyum lebar yang tersungging—perlahan memudar. Sosok di sebelah wanita itu … membuat bulu kudunya seketika merinding.
Leon menoleh, ketika merasakan genggaman tangan wanita yang berjalan bersamanya—mengendor. Dahinya mengernyit, saat melihat kepala Lea tertunduk. Dia tidak suka jika harus kembali kalah. Dia datang bukan untuk menerima kekalahan untuk yang kedua kali.
“Angkat kepalamu,” geram Leon, sembari meremas telapak tangan Lea.
Dengan gerak kaku, Lea kembali mengangkat kepalanya. Namun, wanita itu meliarkan tatapan matanya. Kemana saja, asalkan tidak ke arah dua sosok yang bisa ia rasakan sedang menghunus tatapan ke arahnya.
Lea mencoba mengembangkan senyum yang terasa begitu sulit. Kakinya bahkan nyaris goyah, jika bukan karena Leon yang menggenggam tangannya erat. Seharusnya, ia sudah memperkirakan ini akan terjadi. Waktu ini akan tiba, karena ia memutuskan untuk tetap memeluk Leon dan tidak melepaskannya.
Leon menyapa beberapa orang yang masih ia kenal dengan baik. Ya … waktu dua tahun tidak membuat orang-orang itu berubah banyak, hingga ia tidak kesulitan mengenali mereka.
Leon membawa Kalea menemui kedua orang tuanya terlebih dulu. Sang mama terlihat begitu gembira mendapati putra kesayangannya datang. Begitupun dengan pria yang tak lain adalah papanya. Pria itu memeluk putra bungsunya. Sebelah tangannya menepuk punggung tegap sang putra beberapa kali. Akhirnya, putranya kembali.
“Jangan pergi lagi. Sudah saatnya kamu ikut mengurus perusahaan Papa.” Pria tua itu melepas pelukannya, kemudian menepuk bahu sang putra.
“Iya … jangan biarkan kakakmu menguasai semuanya.” Wanita yang masih terlihat cantik dengan kulit putih mulus itu langsung membuang muka, ketika sang suami menegur lewat tatapan matanya.
Leon terkekeh, kemudian menganggukkan kepala. “Leon sudah tidak akan pergi lagi, Pa. Leon akan membantu Papa.”
Sang papa langsung menganggukkan kepala, dengan senyum lebar. Tangan pria itu kembali menepuk bangga lengan sang putra.
“Oh iya … ini Lea. Kalea, Pa … Ma.” Leon memperkenalkan seorang wanita yang datang bersamanya. Kedua orang tuanya langsung mengalihkan tatapan ke arah seorang wanita dengan make up yang cukup tebal. Bibirnya tersapu lipstik semerah dress yang dikenakannya.
Mama Leon mengedip beberapa kali. Tanpa sadar, wanita itu memperhatikan penampilan Lea, lalu membandingkannya dengan penampilan wanita yang sudah menjadi menantu di rumahnya. Wanita muda yang dulu sangat ia sayangi, namun kini ia benci setengah mati.