Pertemuan dengan Seseorang dari Masa Lalu

1429 Words
Cylo tertawa melihat kemarahan sang adik. Pria dengan rambut lumayan gondrong itu menggelengkan kepala. “Sepertinya papa belum menceritakannya padamu.” Leon yang sudah berdiri, menoleh ke arah sang papa. Sementara sang papa menatap putra sulungnya. “Apa maksudnya, Pa?” tanya Leon dengan tatapan lekat yang akhirnya membuat sang papa menggeser bola matanya. Leon tidak ingin kecewa. Ia tidak ingin mendengar sesuatu yang membuatnya kehilangan kepercayaan pada sang papa. Selama ini, Leon sangat menghormati dan mempercayai papanya. Apa yang tidak ia ketahui, yang justru diketahui oleh Cylo? “Tidak ada.” Jawaban sang papa tidak membuat Leon merasa puas. Karena pria itu kembali mengalihkan tatapan mata darinya. Sang papa tidak membalas tatapan matanya, ketika menjawab pertanyaannya. “Wah … sepertinya memang Papa tidak ingin putra mahkotanya tahu.” “Diam Cylo!” sahut sang papa dengan tekanan. “Pulanglah, dan kita akan bicara di rumah. Tidak di sini.” Banyak kolega yang menghadiri acara ulang tahun pernikahannya dengan sang istri. Pria itu tidak ingin semua orang mendengar perdebatan mereka. Dia tahu, sang bungsu pasti akan marah besar setelah tahu perjanjian apa yang sudah ia buat bersama sang sulung, hingga rencana pernikahan anak bungsunya—gagal. Lebih dari itu. Leon juga harus kehilangan wanita yang selama bertahun-tahun menjadi kekasihnya. Semua karena perjanjian yang tidak ia sangka—justru berakhir menyakiti Leon. *** “Halo Theya ….” Theya menghentikan langkah. Mengangkat wajahnya, wanita itu secara refleks menghela dua langkah ke belakang. “Bagaimana rasanya berada di antara suami, dan … mantan calon suami?” Theya tidak menyukai pria yang tiba-tiba menghadang jalannya. Apalagi ketika meliaht Roy tersenyum miring ke arahnya. “Bukan urusanmu, Roy. Minggir!” usir Theya yang tidak ingin punya urusan apapun dengan pria di hadapannya. Roy memasukkan kedua tangan ke kantong celananya. Pria itu terkekeh ringan, sembari mengamati wanita di hadapannya. “Kamu pasti menikmati berada di antara dua bersaudara itu. Bangga karena menjadi rebutan anak-anak konglomerat.” “Shut up!” Theya menekan kata-katanya. Menatap dingin seseorang yang dulu pernah begitu dekat dengannya. Yang hanya karena tidak mendapatkan balasan akan perasaannya—berbalik membencinya. Roy mengangguk-anggukkan kepalanya. Pria itu endengkus sembari menatap Theya yang membalas tatap matanya dengan berani. “Seharusnya, dulu aku mendengar apa yang teman-teman katakan. Jika perempuan seperti kamu, tidak akan pernah memilih pria miskin.” Roy kembali mendengkus. “Karena perempuan seperti kamu, pasti tidak ingin hidup menderita lagi.” “Kamu tidak tahu apa-apa, Roy. Hentikan omong kosongmu, dan pergi dari hadapanku.” Theya menatap tajam mantan sahabatnya selama sekolah. “Hey … lihat. Sekarang aku bukan lagi gembel yang harus bekerja pontang panting untuk bisa membayar sekolah.” Roy mengangkat kedua bahunya—bangga. Meminta Theya untuk memperhatikan penampilannya, yang tidak jauh berbeda dari para executive muda lainnya. “Jadi, apa sekarang kamu akan merubah keputusanmu? Aku juga bisa memberikan apa yang suamimu berikan.” Theya menghembuskan pelan nafasnya. Kepalanya sudah pening, dan ia merasa lebih baik pulang. Entah mengapa, dari sekian banyak orang yang ada di ruangan tersebut—ia justru harus bertemu dengan pria ini. Pria yang menatapnya rendah. “Bagaimana?” Roy menaikkan sebelah alisnya. “Aku tidak keberatan meskipun—” Roy mengamati penampilan Theya dari ujung rambut, hingga kaki. “Mendapatkan … bekas,” tambah pria itu. Kedua tangan Theya terkepal erat. Roy tidak tahu. Mereka semua … orang-orang itu tidak tahu tentang dirinya, dan apa yang sebenarnya sudah ia lalui. Senua orang menatapnya rendah, hanya karena spekulasi bodoh mereka. Sepasang bibir itu terbuka. “Tidak … akan! Sekalipun kamu menjadi orang terkaya sedunia … keputusanku tidak akan berubah. Karena hatimu busuk. Pikiranmu picik.” Theya tidak menaikkan nada bicaranya. Wanita itu mengatakannya dengan wajah datar, dan tekanan kuat pada setiap katanya. “Kamu!!” Roy menggeram. Pria itu menatap marah wanita yang baru saja menghinanya. Kaki Roy terhela ke depan. “Semua orang sedang melihat kita.” Roy menghentikan hela kakinya. Pria itu melarikan bola mata ke samping kanan dan kiri, hanya untuk mendengkus kemudian--saat menyadari Theya sudah berjalan melaluinya. Memutar tubuh, pria itu terkekeh mengamati punggung perempuan yang pernah membuat harga dirinya terkoyak—karena menolaknya. Theya menatap lurus ke depan, sementara kakinya terhela cepat. Ia sudah tidak sanggup berada di tempat ini. Cylo memutar tubuh, ketika melihat keberadaan sang istri. Tanpa kata, pria itu meninggalkan dua orang yang masih berdebat. Clylo mengernyit. Hela kaki pria itu semakin cepat, ketika melihat wajah tegang sang istri. “Ada apa?” Clylo segera meraih lengan istrinya. “Ayo kita pulang,” sahut Theya, tanpa ingin menjelaskan alasannya. Mengangguk paham, Cylo menghela sang istri melewati orang-orang yang sedang menikmati pesta. Theya masih tidak mengatakan apapun, tapi, dari gerak tubuh Theya yang tidak nyaman—Clylo tahu, istrinya sudah tidak ingin berada di tempat ini lebih lama lagi. Pria itu kemudian menghela sang istri meninggalkan hingar bingar pesta. “Apa yang terjadi?” tanya Cylo, setelah keduanya masuk ke dalam mobil. Cylo menoleh ke samping. Memperhatikan sang istri yang sedang menghela nafas panjang. “Bukan karena Leon dan wanita itu, kan?” tebaknya. Theya menggelengkan kepala. Tentu saja bukan. Meski sakit hati itu masih ada, tapi Theya masih bisa menekannya. “Bukan. Bukan karena mereka.” “Lalu?” Kening Cylo berkerut dalam. “Aku bertemu dengan Roy,” jujur Theya. Wanita itu perlahan memutar kepala ke samping, hingga bertemu tatap dengan sepasang mata tajam sang suami. “Roy??” Cylo menggumam. Kerut di dahi pria itu bertambah banyak. “Iya … Roy. Rolando.” Sepasang mata Cylo mengedip. Oh … dia mengingatnya. Untuk apa pria itu muncul di pesta papanya? Cylo menatap bertanya ke arah sang istri yang menjawab dengan gelengan kepala. “Aku juga tidak tahu.” Theya sendiri sempat terkejut mendapati pria itu ada di sana. Melihat dari penampilan Roy, jelas sekali pria itu sudah bukan pria dengan ekonomi menengah ke bawah. Meski hanya sekilas, ia bisa melihat semahal apa stelan jas yang pria itu kenakan. “b******k. Aku akan mencari tahu nanti,” ujar Cylo, sebelum pria itu melajukan mobil, keluar dari basement hotel. Theya berulang kali menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Kejadian bertahun-tahun lalu masih tersimpan dengan baik di dalam kotak memorinya. Kejadian ketika Roy berusaha memperkosa dirinya. Theya meremas jalinan jemarinya. Sekarang, dia baru merasakan tangannya bergetar. Theya bersyukur, dia tidak menunjukkan kelemahannya di depan Roy. Cylo melirik sang istri. Pria itu menekan sepasang rahangnya kuat-kuat. Dia bisa melihat kegelisahan, dan ketakutan wanita yang duduk di sampingnya. Ah … seharusnya tadi dia menunggu Theya yang berpamitan ke toilet, hingga wanita itu tidak perlu menghadapi pria b******k itu sendirian. Apa mungkin … Roy mengancam Theya? Pikiran itu tiba-tiba saja muncul. “Theya,” panggil Cylo, sembari melirik sepersekian detik ke arah sang istri. “Ya ….” Theya menoleh. Sepasang mata wanita itu mengerjap pelan. “Apa dia … mengancammu?” tanya Cylo dengan pandangan mata lurus ke depan. Wajah pria itu terlihat keras. Theya menelan ludahnya. “Ti-tidak.” Cylo kembali melirik sang istri yang sudah mengalihkan pandangan darinya. Mengamati wajah istrinya dari samping untuk beberapa saat, sebelum mengembalikan fokusnya ke depan. Theya jelas tidak sedang baik-baik saja. Theya yang lebih memilih mengamati jalanan dari kaca samping mobil—memutar kepala. Menatap penuh tanya sang suami yang masih melajukan mobilnya dengan pandangan lurus ke depan. Dari samping, sang suami terlihat tampan dengan rahang tegasnya. Mengedip, Theya membuang jauh-jauh pikirannya. Bukan itu yang tadi ingin ia ketahui. “Kita … mau ke mana?” tanya Theya setelah bisa mengembalikan pikirannya. “Makan. Aku lapar. Kamu pasti juga lapar.” Theya menghembuskan nafas pelan. Oh … benar. Mereka berdua belum sempat menikmati hidangan ala hotel tadi. “Kamu mau makan apa?” tanya Cylo tanpa memutar kepala. Jari telunjuk pria itu mengetuk-ketuk pelan kemudi mobil. Theya membersihkan tenggorokannya. Cylo bukanlah sosok pria yang manis selama ini. Mereka jarang sekali makan berdua di luar rumah. Ah … mungkin 2 atau 3 kali selama dua tahun pernikahannya. Dan Cylo bukanlah sosok pria romantis yang akan menanyakan keinginan sang istri, lalu mewujudkannya. Cylo jauh dari pribadi seperti itu. Dia sangat berbeda dengan Leon. Sifat mereka bertentangan. Theya kembali menghembuskan nafasnya—frustasi, saat lagi dan lagi pikirannya melanglang buana. Tidak seharusnya juga dia membandingan Leon, dan Cylo. Mereka jelas dua orang yang berbeda karakter. “Kamu suka makan penyetan, kan?” Theya mengedip. Cylo sudah memutar kemudi ke arah tenda kuning di tepi jalan. Tempat orang berjualan penyetan. Mulut wanita itu menganga, lalu menoleh ke samping kanan. Menatap tidak percaya sang suami yang meskipun membuat keputusan sendiri saat ia belum menjawab tanyanya—namun, kali ini keputusan suaminya--benar. “Ayo turun. Kita makan.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD