Konfrontasi yang Terputus

1903 Words
Kunyahan Thela memelan, seiring dengan kepala wanita itu bergerak ke atas. Ia bisa melihat satu sosok berdiri dengan jubah dokternya—menatap tajam ke arahnya. Susah payah Theya mendorong kunyahannya yang belum halus—masuk ke dalam tenggorokannya. Tangannya bergerak menutup tepak, sementara sepasang netranya masih membalas tatap pria yang kini terlihat menyeringai. Theya menahan dadanya yang terasa sesak. Kunyahan rotinya serasa menyumbat di dalam sana. “Maaf.” Theya mengucapkannya. Dia tahu sudah membuat kesalahan. Melanggar peraturan rumah sakit. Meskipun begitu, wajah datar Theya membuat Leon berdecih kesal. “Mulutmu mengucap maaf, tapi wajahmu menyirat kesombongan.” Theya tidak merubah ekspresi wajahnya. Dia bukan lagi Theya dua tahun lalu, yang akan memperlihatkan wajah menyesal ketika melakukan kesalahan—di depan pria ini. Theya yang pernah bersama dengan Leon sudah mati, seiring dengan hatinya yang hancur kala itu. Bahkan, saat ini, saat Theya harus melihat wajah yang dulu ia kagumi—Theya merasa muak. Sangat muak. Inginnya bisa mencabik-cabik wajah di hadapannya ini. Theya membenci Leon. Sangat. Bibir Leon bergerak mencebik. “Kamu yang membuat kesalahan, tapi wajah kamu itu memperlihatkan kebencian yang harusnya ada pada diriku.” Sepasang bola mata Theya bergerak meliar. Mengamati sekitar. Dia tidak ingin ada telinga yang bisa mendengar apa yang Leon katakan. Mendesah lega dalam hati, Theya kembali mengarahkan tatapannya ke depan. Dia bisa melihat kemarahan di mata itu. “Kamu tahu bagaimana aku menginginkan pernikahan itu.” Leon mengucapkannya dengan penuh tekanan, sekalipun ia tidak meninggikan nadanya. Tubuh bagian atas pria itu terdorong ke depan, hingga melewati meja perawat. Kedua mata yang sudah memerah lantaran sang pemilik berusaha menahan gelombang amarah yang menyerangnya—menatap tajam penuh kebencian. “Sejak kapan kalian merencanakannya? Sejak kapan kamu mengkhianatiku?” Ini adalah kedua kalinya Leon mengkonfrontir Theya. Dua tahun lalu, ia yang sangat marah—sempat mempertanyakan, namun dia tidak mendapatkan jawaban. Theya tidak menjawabnya, hingga membuatnya menggila. Dan kini, Leon menggeram saat masih tidak mendapatkan tanggapan dari wanita yang menjadi lawan bicaranya. Theya hanya menatap datar ke arahnya, sementara mulutnya terkunci rapat. Leon benci melihat Atheya yang seperti ini. Wanita ini seperti bukan Atheya yang pernah dikenalnya dulu. Mereka seperti dua orang yang berbeda. Ingin sekali Leon membuka kepala Theya untuk mendapat jawab atas pertanyaannya. Dia sungguh ingin tahu … bagaimana bisa wanita ini mengkhianatinya. Hanya satu minggu sebelum pesta pernikahan mereka—Theya berubah. Theya menghancurkan semua mimpinya. Leon sangat mencintai Atheya—dulu. Dia sudah merencanakan kehidupan berumah tangga dengan Theya. Dia bahkan sudah menyiapkan rumah yang akan mereka tempati setelah mereka mengucap janji suci di hadapan Tuhan. Leon memiliki mimpi indah bersama wanita di hadapannya ini. Ia sudah merangkai mimpi memiliki anak-anak yang akan menyempurnakan kehidupan berumah tangganya dengan Atheya. Lalu, tiba-tiba saja Theya menghancurkan semua mimpi indahnya itu. Dan yang lebih menyakitkan dari semuanya, adalah Theya mengkhianatinya dengan seseorang yang sebelumnya selalu ia lihat dengan bangga. Kakaknya sendiri. Bagaimana bisa Leon tidak merasa sakit hati, ketika dua orang terkasihnya—menusuknya dari belakang. Sepasang rahang yang terkatup itu menekan semakin kuat, hingga terlihat kedutan pada kedua rahang, dan pelipisnya. Sama seperti Leon yang sedang menahan amarah yang menggunung, begitupun dengan Theya yang membalas tatap tajam Leon tak kalah menusuk. “Memang paling mudah menyalahkan orang lain.” Theya mengatakan dengan nada rendah penuh tekanan. Wanita itu masih tidak mengalihkan tatapan matanya. Meskipun rasa muak itu semakin menggunung, hingga membuatnya bahkan merasa mual dan ingin muntah—namun ia berusaha keras menahannya. Manusia memang seringkali lupa melihat kesalahan dirinya sendiri, dan begitu mudah menunjukkan kesalahan orang lain, bahkan kadang tanpa mencari tahu kebenarannya terlebih dulu. Sama seperti Leon yang seolah merasa tidak melakukan kesalahan apapun, dan melimpahkan semua kesalahan pada Theya. Theya sungguh muak menghadapi pria bermuka dua di hadapannya ini. Seharusnya, Leon bisa introspeksi dirinya sendiri, mengapa hubungan mereka kacau. Tapi sepertinya … tidak! Leon sepertinya tidak ingin mengakui kesalahannya. Apa perlu Theya yang menunjukkan di depan muka pria itu apa kesalahannya? Hingga akhirnya membuat Theya merasakan sakit luar biasa? Leon berdecih. “Kamu menyalahkanku?” Pria itu menggelengkan kepala. Sudah jelas Theya yang mengkhianati dirinya. Bahkan dengan kakaknya sendiri. “Berkacalah Leon, sebelum yang kamu lakukan hanya menyalahkan orang lain.” Kali ini wajah Theya sudah mulai memerah. Ia sudah berusaha keras menahan amarahnya, namun pria di hadapannya ini begitu lihai mengangkat emosi yang sudah ia tekan sedalam mungkin. Cara pria itu menatapnya … membuat emosinya seakan ingin meledak. Theya meraup udara sebanyak mungkin. Dia tidak boleh terbawa emosi. Jangan sampai ia terjebak dengan permainan Leon yang memang sengaja ingin memancing amarahnya. Entah apa yang sedang direncanakan oleh isi kepala pria tersebut. Theya menolak kalah! “Eh … Dokter Leon sudah di sini. Maaf, saya baru saja kembali dari ruang pasien.” Seorang wanita dengan seragam sama seperti yang Theya kenakan—setengah berlari menghampiri. Wanita itu segera meletakkan alat pengukur tensi ke atas meja, lalu dengan nafas sedikit terengah—tersenyum pada sang dokter. Dengan gerakan sedikit kaku, Leon memutar tubuh. Pria itu melembutkan ekspresi wajah yang sebelumnya terlihat keras penuh kebencian. “Apa … sudah mau jalan sekarang, Dok?” tanya wanita dengan name tag ‘Niken’ tersebut. Mengangkat sedikit lengan kirinya sembari menunduk, Niken membatin, ‘Masih ada lima menit lagi.’ Leon melirik Theya yang sudah menunduk. Tepak makan wanita itu sudah tidak lagi terlihat, dan tangan kanannya sedang bergerak di atas kertas. “Ayo,” ajak Leon, yang langsung mendapat anggukan kepala dari Niken. Wanita itu kemudian menghela langkah ke balik meja perawat untuk mengambil data pasien yang sudah ia siapkan sebelumnya. “Aku tinggal lagi.” Niken menepuk pelan bahu Theya, sebelum keluar dari balik meja perawat. Theya menghembuskan nafasnya, begitu Leon melangkah menjauhi meja perawat bersama salah satu teman sejawatnya. Gerakan tangan wanita itu terhenti. Kepalanya terangkat. Sekali lagi Theya menarik nafas dalam, kemudian menghembuskannya. Nyaris saja … nyaris saja ia tidak bisa menahan amarahnya. Amarah yang sudah dua tahun terakhir ia tekan dalam-dalam. Kedua tangan wanita itu teremas kuat. Theya masih menyimpannya. Menyimpan bukti perselingkuhan Leon yang ia dapatkan dari Cylo. Jika saja pria itu tidak mendatanginya, lalu memperlihatkan bukti perselingkuhan yang Leon lakukan—ia tidak akan pernah bisa mempercayai kenyataan bahwa orang yang paling ia cintai setelah sang bunda, dengan begitu tega mengkhianatinya. Leon tidak tahu bagaimana caranya Theya menahan diri untuk tidak menangis ketika kembali ke panti, dan bertemu dengan bundanya. Leon tidak tahu seberapa ingin ia mengadukan kebusukan pria itu pada sang bunda untuk bisa sedikit saja mengurai sesak yang ada di dadanya—namun tetap harus ia tahan. Leon tidak pernah tahu apa yang ia upayakan untuk menjaga nama pria itu di depan sang bunda. Leon—pria itu tidak tahu sebanyak apa ia berkorban. Dia tidak tahu apa yang Theya rasakan saat itu. Ia seperti melangkah di atas bara api dengan kaki telanjang. Sangat tersiksa, namun ia harus tetap melanjutkan langkah. Dan tawaran Cylo menjadi satu-satunya jalan keluar untuk permasalahannya ketika itu. Paling tidak, dengan menerima tawaran pernikahan dari Cylo—dia bisa melihat kemarahan di mata Leon saat itu. Paling tidak, ia bisa sedikit menikmati balas dendamnya. Hanya sedikit, karena apa yang Leon rasakan tidak seberapa dibanding apa yang ia rasakan. Sesakit apa dirinya, sehancur apa dirinya karena Leon. Theya tersentak dari lamunannya, lalu dengan cepat meraih gagang telepon dengan tangan kanannya. “Nurse station ….” “Ke ruanganku sekarang.” Cylo tidak perlu mempertanyakan siapa yang mengangkat panggilannya, ketika ia menghubungi nurse station di lantai 3. Suara wanita itu sudah menjadi suara yang setiap hari ia dengar selama dua tahun terakhir. Ia sudah benar-benar hafal. “Maaf, Pak. Saya sedang berjaga sendirian. Yang lain belum kembali. Mereka sedang menemani dokter visit.” Dan Theya juga tidak perlu bertanya ruangan mana yang harus ia tuju, jika mengikuti perintah pria yang menghubungi meja perawatnya. Theya bisa mendengar desah nafas pria yang sedang menghubunginya. “Apa kamu sudah bertemu dengannya?” “Sudah.” Theya menjawab. Ia tahu siapa yang dimaksud oleh suaminya tersebut. Sudah pasti … Leon. “Apa kamu … baik-baik saja?” Kening Theya berkerut ketika mendengar pertanyaan Cylo yang terdengar berlebihan baginya. Sejak kapan Cylo memperhatikan perasaannya? Oh … sepertinya pria itu sedang kerasukan malaikat baik hati, hingga terpikir tentang perasaannya yang harus berhadapan dengan pria masa lalunya. “Aku tidak bisa melarangnya,” lanjut Cylo. Di tempatnya, pria itu mengetuk-ketuk pelan jemari tangan kirinya, sementara tangan kanannya masih menempelkan gagang telepon di telinga. Theya menarik nafas. “Aku mengerti.” Theya tahu bagaimana posisi Cylo. Leon adalah adiknya, dan pria itu juga memiliki saham di rumah sakit tempat mereka bekerja. Meskipun jabatan Cylo adalah direktur rumah sakit, tentu saja dia juga tidak bisa mengabaikan posisi Leon sebagai salah satu pemegang saham. Theya tidak tahu atau tidak ingin tahu tentang berapa besar saham kedua kakak beradik itu. Dia tidak pernah ikut campur. Itu adalah urusan pribadi Cylo yang tidak boleh ia terabas batasannya. Begitulah kesepakatan yang sudah mereka buat, sebelum pernikahan itu berlangsung. Hening. Baik Theya, maupun Cylo masih sama-sama diam hingga berpuluh detik terlewat. “Tidak perlu khawa—” “Bagaimana bisa aku tidak khawatir? Dia langsung datang ke rumah sakit dan mengatakan akan bekerja di lantai 3. Itu bukan dia.” Cylo memotong kalimat Theya. Tidak paham bagaimana Theya masih bisa terdengar tenang. Dia mengenal Leon. Adiknya paling tidak suka bekerja. Dia lebih senang menghabiskan waktu di depan kanvas. Bagi Leon … bekerja itu sebuah keterpaksaan. “Kamu harusnya juga paham seperti apa Leon.” Theya tidak suka mendengar kalimat yang Cylo ucapkan. “Aku tidak pernah benar-benar mengenalnya. Kamu tahu itu,” sanggah Theya. Cylo mendesah. “Dia jelas sedang merencanakan sesuatu, Theya. Kamu mengenalnya.” “Aku tidak perlu memikirkan apa rencananya. Itu urusannya, bukan urusanku.” “Ayolah, Theya … kamu pasti tahu apa yang ada di dalam otaknya yang sempit itu. Dia pasti ingin membalas kita.” “Biarkan saja. Memangnya apa salah kita?” tanya Theya yang tidak mengerti mengapa Cylo harus begitu cemas. Jika memang Leon ingin membalas dendam … itu urusan Leon sendiri. Theya tidak merasa melakukan kesalahan, hingga pantas mendapat balasan dari pria itu. Theya akan melempar bukti perselingkuhan pria itu ke depan matanya—jika Leon berani mengusik hidupnya. Dia sudah bersabar selama dua tahun terakhir—menutupi sebusuk apa wajah asli di balik wajah tampan penuh senyum pria itu. Theya tidak akan lagi menahan diri untuk mengungkapkan ke dunia sekalipun. “Kita tidak melakukan kesalahan, Cylo. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan.” Cylo menekan keras sepasang rahangnya. Cengkeraman tangannya pada gagang telepon—menguat. Tentu saja Theya tidak tahu. Wanita itu tidak tahu apa yang membuatnya cemas, dan Cylo tidak berharap Theya mengetahuinya. Satu sisi hatinya tidak rela. Nafas pria itu terhela cepat. "Aku akan mengembalikanmu ke tempat sebelumnya." Kembali sepasang rahang pria itu mengeras, setelah selesai mengatakannya. Sepertinya, hanya itu cara agar ia bisa menjaga Theya jauh dari Leon. Cylo akan menekan egonya., sekalipun dia tahu Leon pasti akan menertawakan kekalahannya. Tapi, membiarkan Theya berada dekat dengan Leon--membuatnya merasa tidak tenang. Ternyata perkiraannya salah, dan dia harus menjilat ludahnya sendiri. Ternyata, dia tidak rela membiarkan Theya dan Leon bekerja di lantai yang sama. Baru membayangkannya saja, sudah membuatnya darahnya naik ke kepala dengan cepat. “Tidak perlu. Aku akan membongkarnya, jika dia berani macam-macam denganku.” "Tapi, Theya ... aku--" "Tidak Cylo! Aku tidak ingin dia berpikir aku kalah. Dia akan merasa senang, jika aku menghindarinya." "Bagaimana ... jika hatimu yang goyah?" Cylo menarik dalam nafasnya. "Aku ... tidak rela."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD