Kekuasaan Leon

1669 Words
Atheya menarik nafas panjang, kemudian membulatkan mulut untuk mengeluarkan karbon dioksida yang sempat tertahan di rongga paru-parunya selama beberapa detik. Sepertinya, neraka dunianya sudah dimulai. Bahkan tanpa memberi waktu padanya untuk bersiap terlebih dahulu. Sekembalinya ke nurse station setelah mengeluarkan semua isi perutnya, Theya sudah langsung mendapat titah untuk mengantarkan data pasien di lantai tiga pada sang dokter baru. Bahkan, dari teman yang berjaga dengannya, Theya tahu jika Leon menegaskan harus ia sendiri yang mengantar data tersebut pada sang dokter. Tidak boleh orang lain. Leon benar-benar menegaskan jika pria itu sudah memulai balas dendamnya. Benar-benar tidak bisa Theya percaya. Pria itu, setelah dua tahun terlewat masih belum sadar jika ia mengetahui tentang perselingkuhannya. Oh … apakah aktingnya mencintai Cylo terlihat begitu nyata—hingga Leon pun tertipu? Ah … bukankah itu lebih baik? Bukankah memang itu yang Theya inginkan? membuat Leon menderita? Ya … pria itu pantas menderita. Tapi sungguh, Theya masih tidak habis pikir, bukahkah seharusnya Leon senang karena akan bisa bersama dengan selingkuhannya itu? Untuk apa dia masih terus merasa menjadi pihak yang terkhianati? Aneh! Sungguh aneh. Kamu bodoh Theya! Bukan karena Leon merasa sakit hati lantaran kamu mengganti namanya dengan nama Cylo. Tentu saja bukan karena itu. Tapi, apa yang kamu lakukan tentu saja menghancurkan harga dirinya. Ya … karena semua orang pasti memandang kasihan pada pria itu. Sebelah sudut bibir wanita itu terangkat. Memang itu yang pantas Leon dapatkan setelah pengkhianatannya. Theya menarik nafas dalam sekali lagi. Ia mendengkus. Pria seperti Leon hanya bisa menggunakan kekuasaannya untuk membuatnya tertekan. Theya mengumpati pria itu dalam hati. Coba kalau Leon bukan anak pemilik rumah sakit, apa yang bisa dia lakukan? Tidak ada. Hah! Theya menyiapkan hatinya, sebelum mengangkat tangan kanan untuk mengetuk pintu di depannya dua kali. Sementara tangan kirinya mendekap tumpukan file. Suara yang baru saja menyerunya untuk masuk, masih begitu familier di telinganya. Bukan perkara mudah untuk menghilangkan sakit hati setelah pengkhinatan Leon padanya. Bahkan hingga saat ini, ia masih menyimpan rasa marah, dan juga benci pada pria itu. Tangan kanan wanita itu memegang handel pintu dengan kuat, sebelum kemudian menekannya. Mendorong pelan, hingga akhirnya satu-satunya benda yang memisahkan posisinya dan posisi Leon di dalam ruangan—terkuak. Dengan kepala yang terangkat, Theya menghela sepasang kaki berbalut flat shoes warna putih menuju satu meja di sudut ruangan. Pria itu duduk bersandar di balik meja. Sepasang mata yang tidak lebar itu menatap tajam ke arah Theya. Theya bisa merasakan tatapan tajam, dan amarah dalam sorot mata pria itu. Amarah yang bagi Theya salah sasaran. Dialah yang seharusnya marah setelah apa yang Leon lakukan. Theya bahkan masih belum sempat meluapkan amarahnya hanya karena tidak ingin membuat bundanya syok—jika wanita itu sampai tahu apa yang sudah dilakukan oleh sosok yang dianggapnya berhati baik. Theya menahan decihannya kala melihat Leon yang masih belum mengalihkan tatapan matanya. Bahkan hingga langkah kakinya terhenti di depan meja kerja pria itu. Theya menurunkan map yang di dekapnya. “Ini data yang Dokter minta.” Wanita itu mendorong tumpukan file mendekat ke tepi lain meja. Sementara Leon justru masih belum berkeinginan untuk mengalihkan tatapan dari wanita yang membuat amarahnya dengan begitu cepat tersulut. Bagaimana bisa Theya tidak memperlihatkan rasa bersalah dan penyesalan sedikit pun—setelah membuatnya menjadi calon pengantin paling menyedihkan di seluruh Indonesia? Tidak hanya sakit hati yang Theya berikan satu minggu sebelum hari yang seharusnya menjadi hari pernikahan mereka, tapi juga rasa malu tak berujung yang akhirnya membuatnya ingin mengubur diri hidup-hidup saat itu. Semua orang tahu jika ia akan menikah dengan Theya waktu itu. Semua persiapan sudah selesai. Baju pengantin, gedung, semuanya sudah siap ketika tiba-tiba ia melihat bukan namanya yang tercetak di dalam undangan pernikahan yang ia pilih bersama Theya. Ya … ia bahkan ikut menentukan pilihan design undangan tersebut. Bagaimana dia tidak marah dan sakit hati saat kemudian justru nama Cylo yang tercetak bersama nama kekasihnya. Sungguh … Leon masih tidak mengerti bagaimana semua itu bisa terjadi. Bagaimana Theya bisa mempermainkannya sedemikian rupa. Sejak kapan Theya dan Cylo merencanakannya? Theya bahkan tahu seperti apa hubungannya dengan Cylo sebelum akhirnya ia berakhir membenci pria itu. Leon mengutuk Cylo seumur hidup, karena pria itu sudah menghancurkan hidupnya. Mengambil wanita yang ia cintai. Tidak mendapati respon dari sang pemilik ruangan, Theya berniat untuk undur diri. Dia tidak tahan terlalu lama ditatap seperti itu. Tatapan mata Leon membuatnya muak. Jangan sampai ia kembali mual. Perutnya sudah kosong. Semua sudah keluar. “Saya … permisi.” Theya langsung memutar tubuh. Kaki wanita itu sudah terhela, saat runggunya mendengar suara dingin sang pemilik ruangan. “Aku belum memintamu pergi.” Menekan kuat-kuat sepasang geraham yang terkatup, Theya kembali memutar tubuh. Dengan wajah datar, Theya kembali mendekat. Berdiri tegak tanpa suara di seberang kursi yang ditempati Leon. Pria yang semua bersandar itu, menegakkan punggungnya. Tangannya meraih tumpukan file mendekat. Bibir Leon berkerut. Dengan gerakan malas, leon membuka file teratas. Nampak tidak berkeinginan untuk membaca apa yang tertulis di dalamnya. “Jelaskan pada saya satu per satu,” perintah Leon yang sempat membuat sepasang bola mata Theya membesar. Sayangnya, Theya hanya bisa menelan rasa kesalnya bulat-bulat. Atasan memang bisa memperlakukan bawahan dengan seenaknya. Hal yang biasa terjadi di mana-mana. Dan Theya harus kembali mengingatkan pada dirinya sendiri, bahwa memang hanya ini yang bisa Leon lakukan untuk menekannya. “Kalau Dokter ingin saya yang menjelaskan, untuk apa repot-repot meminta datanya?” datar ucapan yang kelaur dari mulut wanita di depan Leon. Membuat pria itu menahan rasa kesalnya. Memangnya siapa Theya hingga bisa melawan perintahnya? Suka-suka dia meminta data, lalu meminta wanita itu yang menjelaskan. Dia bosnya di sini, dan Theya harus menurut padanya. Theya melirik dua detik pria yang wajahnya sudah memerah. Berdiri di depan meja, tanpa berniat untuk duduk, Theya segera meraih kembali tumpukan file dari hadapan Leon. Beberapa saat, keduanya terdiam ketika wajah mereka berjarak tak lebih dari dua jengkal. Theya buru-buru menarik kembali tubuhnya, kala otaknya sudah kembali bekerja, dan menyadari apa yang baru saja tubuhnya lakukan. Terpaku. Terpaku ketika indera penciumannya jelas sekali mengenali aroma cytrus yang paling disukai Leon. Mengembalikan fokus, Theya mulai membaca satu per satu data pasien di lantai tiga. Penyakit apa yang diderita, di kamar mana pasien dirawat, lalu bagaimana perkembangan kesehatan tiap pasien. Theya membacanya dengan teliti tanpa meninggalkan satu informasi sekalipun. Dia tidak ingin Leon mencari-cari kesalahannya. Lebih dari 15 menit Theya menjelaskan. Sementara pria yang masih duduk angkuh tanpa mempersilahkan sang tamu untuk sekedar mencicipi rasa kursi di ruangannya—sesekali terlihat menganggukkan kepala. Theya tidak masalah. Berdiri dalam waktu lama bukan sesuatu yang sulit untuk ia lakukan. Wanita itu kemudian menutup file pasien terakhir. Mengangkat kepala, mulut Theya kembali terbuka. “Saya sudah selesai. Bisa saya kembali bekerja?” Leon melirik arloji yang membelit pergelangan tangan kirinya. Bibir pria itu mengerut, lalu detik berikutnya kepala Leon mengangguk. Mencipta desah lega dari wanita yang terlihat sudah tidak sabar untuk segera hengkang dari ruangan tersebut. Menganggukkan kepala, Theya langsung memutar tubuh, dan menghela lebar sepasang kakinya. Dia benar-benar sudah tidak tahan berada di dalam satu ruangan dengan seseorang yang ingin ia kunyah hidup-hidup. Sayang … dia bukan kanibal. Astaga … apa yang ia pikirkan? Theya segera meraih handel pintu, dan menariknya. Hembusan nafas lega tak lagi wanita itu tahan, ketika ia merasakan udara yang berbeda dari luar ruangan Leon. Bernafas dengan udara yang sama dengan pria itu membuatnya muak. “Theya ….” Wanita yang dipanggil, menutup mata. Dalam hati wanita itu merutuk … apa lagi?? Ia baru saja merasa lega saat kakinya akan melewati ambang pintu, sebelum harus kembali memutar kepala. “Satu jam lagi kamu ikut saya visit.” Theya tidak menjawab. Wanita itu segera memutar kepala, lalu keluar dari ruangan yang sudah membuatnya gerah. Gerah karena harus menahan amarah. Bagaimanapun … ia hanya seorang perawat, dan Leon adalah seorang dokter. Sudah hal lazim jika perawat harus lebih menghormati seorang dokter. Berjalan kembali menuju nurse station … dalam hati Theya terus merutuki tingkah Leon. Meski sesekali wanita itu mengulas senyum—membalas senyum teman sejawat yang berpapasan dengannya, namun rutukannya masih tidak berhenti. Sementara itu, di dalam ruangannya—Leon tertawa. “Rasakan penderitaanmu Theya. Kamu sendiri yang membuat hidupmu sulit. Kamu tahu seperti apa aku, dan kamu masih berani mempermainkanku.” Leon mendengkus. Sekalipun Cylo yang notabene suami Theya adalah seorang direktur di rumah sakit itu, namun bukan berarti ia akan takut melancarkan aksi balas dendamnya pada perempuan sialan itu. Dia akan mengurus Cylo nanti. Pria itu juga tidak akan lepas dari balas dendamnya. Keduanya, Theya dan Cylo harus merasakan penderitaan seperti apa yang sudah dua orang itu beri padanya. Leon akan membuat mereka berdua merasakannya berkali lipat lebih menyakitkan. Pria itu meremas kuat pena yang ada di tangannya. Menyalurkan rasa marah yang belum bisa terlampiaskan dengan benar. Baru sedikit dia membuat Theya merasa kesulitan. Ini baru permulaan, dan dia berjanji akan memberikan yang jauh lebih menyakitkan. Yang akan membuat Theya tidak sanggup bertahan, dan memilih pergi menjauh. *** Theya duduk dengan lesu. Kedua teman jaganya sedang berkeliling memeriksa kondisi pasien di lantai tersebut. Perutnya mulai terasa melilit lantaran isinya sudah terkuras habis. Theya menarik nafas panjang. Waktu istirahat masih lama. Mengedarkan matanya, Theya kemudian membungkuk. Membuka laci di bawah meja, lalu menarik keluar tasnya. Tadi pagi, ia sempat membuat sandwich tuna. Rencananya akan ia makan saat istirahat. Namun sepertinya, perutnya sudah berdemo dan meminta untuk segera diisi. Wanita itu kemudian membuka tas, dan menarik satu tepak dari dalam tas. Setelahnya, theya mengembalikan tas ke dalam laci, dan menutupnya. Theya membawa tepak berisi sandwich ke atas meja. Kedua temannya masih belum kembali. Keadaan juga sedang sepi. Theya akhirnya membuka tutup tepak. Dengan menggunakan tissue, wanita itu mengeluarkan sandwich dari dalam tepak, lalu membawanya ke dalam mulut. Menggigit, kemudian mulai mengunyah dan menikmati rasa yang tercampur dari roti, daging tuna, sayuran juga saos. Oh … Theya menyukainya. Dia tidak akan membuang waktu bekerja hanya untuk makan. Dia masih bisa menggigit makanannya, sembari menuliskan data terbaru pasien yang sudah diterimanya. “Jadi, seperti ini cara kerja nyonya direktur? Mentang-mentang suami kamu menjabat sebagai direktur, lalu kamu bisa seenaknya saja makan di jam kerja?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD