Kekuasaan Cylo

1335 Words
Oh … Theya masih sangat kesal. Kesal pada pria yang sudah kembali fokus mengemudikan mobil, setelah apa yang pria itu lakukan. Dan lebih kesal lagi pada dirinya sendiri yang begitu bodoh membalas kegilaan Cylo, hingga keduanya nyaris kehilangan akal. Wanita itu berulang kali meraup oksigen sebanyak mungkin, lalu menghembuskannya keras. Ia masih belum mau mengalihkan pandangan dari jendela samping. Selain kesal, tentu saja ia juga malu. Apa yang pria itu sekarang pikirkan tentangnya? Cylo pasti akan berpikir bahwa dia perempuan gampangan. Setelah bisa menjaga diri dengan baik selama dua tahun, kini Theya kehilangan kekuatannya menahan diri. Dia begitu mudah terlena. Baru dua hari, dan pria itu sudah berhasil menguasai bibirnya sebanyak dua kali. Arghh … bagaimana Theya tidak kesal pada dirinya sendiri yang menjadi begitu lemah. Theya yang selama ini adalah sosok yang kuat. Ia bisa membatasi kontak fisiknya dengan Cylo. Begitu mobil berhenti di parkiran rumah sakit, Theya cepat-cepat melepas sabuk pengaman, lalu keluar dari mobil. Wanita itu berjalan cepat meninggalkan Cylo yang hanya menggeleng, sembari menatap punggung sang istri yang sudah menjauh. Cylo menahan senyumnya. Tangan kanan pria itu terangkat untuk mengusap bibirnya. Ia masih bisa merasakan ciuman wanita itu. Sebelah sudut bibir pria itu terangkat. Sepertinya hidupnya akan semakin menyenangkan. Cylo menekan remot untuk mengunci keempat pintu mobil, sebelum kemudian berjalan santai masuk ke dalam rumah sakit. Melewati nurse station yang memperlihatkan sang istri, pria itu sengaja menghentikan langkah kakinya. Beberapa teman sejawat Theya menyapa sang direktur yang tentu saja hanya mendapatkan balasan berupa anggukan kepala. “Suster Theya …,” panggil Cylo, yang mau tidak mau membuat Theya menoleh. “Mulai sekarang, kamu bekerja di lantai 3.” Theya menghembus pelan nafasnya. Kepala wanita itu kemudian mengangguk. Memang dia bisa menolak? Kalau sang direktur sudah bersabda? Memang sekuat itu pengaruh seorang direktur. Cylo menganggukkan kepala, lalu memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana, sebelum melenggang meninggalkan nurse station. Dada Theya naik turun begitu kentara, ketika sang pemilik berulang kali mengambil nafas dalam, lalu menghembuskannya dalam satu sentakan halus. Ia sedang kesulitan mengontrol gejolak emosinya. Perlakuan Cylo yang dengan seenak hati memindahkannya—membuat ia kesal setengah mati. Sayangnya, ia tidak punya daya untuk melawan. Wanita itu menoleh, ketika merasakan tepukan pada pundaknya. “Pakdir hanya cemburu. Mukanya udah judes banget dari pertama masuk ruang rawat itu.” Theya hanya menggelengkan kepala. Sofi tidak tahu saja bagaimana cerita mereka yang sebenarnya. Mana ada pria itu cemburu. Yang ada, dia marah karena merasa egonya tersentil. Pria itu menuduhnya tidak menjaga nama baiknya. “Tadi kamu nggak lihat muka pakdir sudah seperti harimau mau menerkam mangsanya?” “Jangan berlebihan,” sahut Theya akhirnya merespon. “Beneran, Mbak. Aku aja kaget waktu dia tiba-tiba muncul, trus bilang mau ikut visit dokter.” “Itu karena kamu yang ngoceh, cerita kalau Theya punya pasien istimewa. Pake cerita lagi nyuapin tuh pasien, lagi.” Ara mencebik ke arah Sofi yang memang hobi ngobrol sana-sini. Theya hanya mengedip, sebelum memilih melipir ke tempat berkas. Mengambil beberapa berkas yang ia butuhkan, kemudian mengambil tasnya. “Aku ke lantai tiga sekarang,” pamit Theya, sebelum melangkah meninggalkan nurse station. Meninggalkan dua teman sejawatnya yang masih berdebat di belakangnya. “Kamu sih Sof, nggak bisa jaga mulut. Sekarang jangan harap deh, pakdir bakalan nongol di mari.” “Yah … gue mana tahu kalo pakdir bakal tiba-tiba nongol. Jangan salahin gue. Gue cuma kasih info ke elo, kalau-kalau dokter Raka nyariin Theya.” *** Theya membawa langkahnya memasuki lift yang akan membawanya ke lantai 3. Sekesal apapun dia pada suaminya, wanita itu hanya bisa menelan kekesalannya bulat-bulat. Bukan karena dia istri yang penurut, tapi karena profesionalitas pekerjaan. Berbeda jika Cylo bertindak seenak jidatnya sendiri untuk urusan pribadi mereka. Theya tidak akan segan-segan menentangnya. Theya menghembuskan nafasnya. Wanita itu menatap pantulan dirinya dari pintu besi di hadapannya. Theya tidak tahu dari mana ia mendapatkan wajah yang membuat dirinya sendiri kagum. Mungkin dari ibunya, atau … ayahnya? Bahkan setelah 26 tahun terlewat, tidak ada seorang pun yang datang ke panti mencari bayi yang pernah mereka tinggalkan di samping tempat sampah di depan panti. Tanpa sadar, Theya tersenyum kecut. Mungkin, kedua orang tuanya tidak pernah menginginkan keberadaannya. Mereka hanya dua orang pengecut yang tidak mau bertanggung jawab pada apa yang sudah mereka perbuat. Hanya menyukai kesenangan sesaat, dan tidak mau menerima hasilnya. Pintu lift terbuka, Theya bergegas melangkah keluar. Wanita itu berjalan menuju nurse station di lantai tiga. Tempat kerja barunya. *** Cylo keluar dari ruang operasi setelah 4 jam berada di dalamnya. Pria itu melepas atribut yang membungkus tubuhnya, lalu memasukkan ke dalam tempat sampah khusus yang tersedia tepat di luar ruang operasi. Merasakan lehernya pegal setelah terlalu lama menunduk ketika melakukan pembedahan, sebelah tangan pria itu terangkat. Memijit bagian belakang pangkal leher, sembari menggerakkan kepala ke kanan kiri. Berharap setelah melakukannya, rasa pegal itu akan berkurang. Cylo menyeret langkah kembali ke ruang kerjanya. Hari ini dia benar-benar lelah. Operasi yang dilakukannya kali ini tergolong sulit, hingga ia membutuhkan waktu sampai 4 jam. Pria itu bersyukur karena bisa melakukan operasi dengan baik. Meski keadaan pasien masih harus dipantau, namun ia yakin—pasien itu akan selamat. Tiba di kantornya, Cylo menghempas tubuh ke atas sofa. Pria itu meluruskan punggungnya, lalu menutup mata dengan satu lengan. Dia tidak mengantuk. Dia hanya kelelahan. Sebenarnya, dewan direksi rumah sakit sudah memintanya untuk fokus pada rumah sakit. Menjalankan jabatannya sebagai direktur dan memikirkan perkembangan perusahaan. Menjabat sebagai direktur dan juga kepala bedah tentu saja tidak mudah untuk dijalankan. Cylo menghembuskan nafasnya. Ia menyukai pekerjaannya sebagai dokter bedah. Terlalu berat untuk melepas pekerjaan yang sudah seperti nafas baginya. Akan tetapi, dia juga tidak ingin kehilangan posisi sebagai direktur yang baru ia dapat setengah tahun lalu. Hanya dengan berada di posisi itu, ia bisa memastikan tidak akan kehilangan rumah sakit yang sudah dibesarkan oleh ibunya. Pria itu menggeser posisi rebahannya menjadi miring. Dewan direksi memberinya waktu satu bulan untuk melepas jabatan kepala bedah. Ia mendengkus. Apa sekarang dia harus benar-benar kehilangan salah satu posisi tersebut? Apa tidak bisa ia tetap menjalaninya bersamaan, seperti yang sudah dilakukannya selama setengah tahun terakhir? Dia tidak masalah sekalipun harus menghabiskan lebih banyak waktu di rumah sakit. Dan terbukti, dia masih bisa menjalani dua posisi tersebut dengan baik. Operasinya tidak ada yang gagal selama kurun waktu enam bulan terakhir. Dan perkembangan rumah sakit juga masih baik. Tidak ada keluhan yang masuk ke PR rumah sakit, selama ia menjabat sebagai direktur. Kalau ia pikir-pikir, apa sebenarnya yang para dewan direksi itu khawatirkan? Bukankah seharusnya mereka tetap tenang karena semua berjalan masih sesuai track nya? ‘Apa mungkin karena Leon akan kembali ke rumah sakit?’ gumam Cylo bertanya pada dirinya sendiri. Leon jelas sudah kembali. Meski dia sendiri belum tahu apa rencana Leon setelah kembali, namun pemikiran itu muncul dengan sendirinya. Ada kemungkinan Leon akan kembali untuk balas dendam padanya. *** Theya mulai mempelajari file beberapa pasien yang ada di lantai tiga. Suster kepala sudah mengenalkannya pada beberapa suster yang sudah terlebih dahulu bertugas di lantai 3. Tentu saja perkenalan itu hanya formalitas, lantaran sebagai sesama suster, mereka sudah saling mengenal. “Theya ….” Menoleh, Theya menatap bertanya suster Arin yang baru saja memanggilnya. “Pasien yang ini agak rewel. Dikit-dikit minta kita datang. Darah keluar dari jarum infus dikiiiit aja … sudah paniknya kayak lihat malaikat maut di depannya.” Suster Arin memperlihatkan data pasien yang ia maksud. “Hushh,” peringat Theya, ketika mendengar kalimat terakhir suster Arin. Suster Arin tertawa. “Beneran. Nanti kamu juga pasti akan tahu. Kalau nggak percaya, tanya saja sama suster Dina.” Arin menoleh ke arah seorang wanita dengan seragam sama seperti mereka. Wanita itu terlihat sedang mengisi buku laporan. “Iya sih … emang benar yang suster Arin bilang,” jawab suter Dina, tanpa menoleh. Bahkan tanpa menghentikan gerakan tangannya di atas buku. “Selamat sore.” Tiga orang berseragam yang berada di balik meja perawat tersebut, refleks menoleh ke arah datangnya suara. Theya, tanpa sadar meremas file di tangannya--ketika melihat siapa yang sudah berdiri di depan meja, dengan senyum mengembang ala seorang don juan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD