Kepergian William

1026 Words
Semalaman suntuk Sella tidak bisa memejamkan matanya. Tubuhnya sangat lelah, tetapi matanya sulit untuk terpejam. Entah apa yang terjadi, rasanya Sella hampir menyerah menjalani kehidupan seperti ini. Bekerja siang dan malam, merelakan semua mimpi dan cita-cita, itu semua Sella lakukan agar Ayahnya mendapat pengobatan rutin. Sudah satu minggu Sella bekerja di tempat hiburan malam. Karena bagi Sella, tidak ada lagi jalan lain selain itu. Karena pagi sampai sore Sella juga bekerja sebagai babysitter dan mengajar private, jadi mau tidak mau untuk malam dia mencari tambahan uang. Walaupun sebagai pelayan, pendapatannya cukup untuk menutup semua kekurangan yang ada. "Kapan semuanya berakhir? Kapan aku bisa hidup kayak dulu?" guman Sella sambil memejamkan kedua matanya. 'TOK..TOK..TOK!' Suara ketukan pintu yang kencang, membuat Sella terlonjak kaget. Sella yang sejak tadi memeluk lututnya, kini menatap ke arah pintu yang terus saja diketuk. Sella tahu, itu adalah Ibunya. Sella menggelengkan kepalanya, dia sangat tidak mau bertemu wanita itu sekarang. Sudah cukup fisik dan hatinya hancur. "Sella buka pintunya!" "Sella!" "Buka atau Ibu akan buka paksa?" Masih dengan tubuh yang bergetar karena lelah, Sella berusaha bangkit dari duduknya. Perlahan dia jalan mendekati pintu kamarnya. 'TOK..TOK..TOK' Ketukan pintu yang kembali terdengar, membuat Sella memejamkan mata. Air mata yang tidak bisa ditahan, terus saja jatuh mengenai pipi mulusnya. Kalau sudah seperti ini, rasanya ingin sekali Sella menyusul sang Bunda yang sudah pergi kepangkuan Tuhan. "Sella!" 'Ceklek' "Telinga kamu bermasalah atau gimana? Bisa ga sehari aja jangan buat saya marah? Ga cukup semalam?" bentak Daniar, tepat di depan wajah Sella. "A-ada apa, Bu?" "Ada apa kamu bilang? Obat Ayah kamu sudah habis, Sella! Seharusnya hari ini kamu dapat uang, kenapa kamu buat ulah sih!" Lagi-lagi masalah itu. Sella menunduk, dia memejamkan matanya saat merasakan dadanya sangat sesak. Kenapa Ibunya sangat kejam? Iya, jadi semalam ada pengunjung yang meminta Sella untuk menemaninya mengobrol. Namun dengan keras Sella menolaknya. "Bu, aku di sana buat kerja yang lurus, aku lebih rela disuruh ini itu daripada harus turutin kemauan yang ga jelas." "Buka mata kamu, Sella! Dia hanya minta kamu temani ngobrol, bukan yang lainnya. Kamu itu aman di sana, jadi jangan khawatir." Sella mendongakan wajahnya, dia menatap wajah Daniar dengan tatapan nanar. Tidak ada sedikitpun raut kasihan atau kasih sayang yang Daniar pancarkan. Kalau terus seperti ini, hidup Sella akan benar-benar hancur. "Ingat, Sella, Ayah kamu butuh obat! Ayah kamu ga bisa telat cuci darah, kamu ga lupa 'kan? Kalau kamu terus-menerus kayak ginu, jangan harap Ayah kamu bisa terus sehat." Setelah mengatakan itu, Daniar berlalu meninggalkan Sella yang masih terdiam. Andai saja Sella egois, sudah pasti dia akan memilih jalan pintas untuk bertemu Bundanya. *** "William tunggu!" Langkah kaki William seketika terhenti. Tubuhnya memutar, dia menatap wanita paruh baya yang sedang berjalan mendekat. Wanita yang selama ini menemani hari-harinya sampai sedewasa ini. Wajah dingin yang selalu William tampilkan seketika sirna. Sudut bibirnya terangkat membentuk lengkungan senyum. "Oma? kapan Oma datang?" "Oma baru saja datang, Will. Apa kamu habis meeting?" "Benar, Oma. Tapi semuanya sudah selesai, kalau begitu Oma ikut Will ke dalam ruangan ya?" ajak William, dia meraih punggung Oma Soraya lalu mengajaknya untuk ke dalam ruangan miliknya. Sesampainya di dalam ruangan, Soraya menarik lengan cucunya yang ingin duduk. "Ada yang mau Oma tanyakan sama kamu, Will." "Oma, tidak baik bicara sambil berdiri, sini duduk," ajak William. Dia sudah tahu apa yang akan menjadi bahasan kali ini. Soraya menurut, dia mengikuti cucunya yang duduk di sofa. Dia menyentuh tangan William dengan lembut. "Katakan sama Oma, kalau rumor kamu mau menetap di Indonesia tidak benar." "Tapi sayangnya itu benar, Oma." "Buat apa? Buat apa kamu ke sana lagi? Kenangan kamu di sana sangat buruk, William. Oma tidak mau kamu kenapa-napa karena ingat masa lalu." William meraih tangan Soraya, dia menggengamnya dengan erat. William tahu, trauma itu bukan hanya milik dirinya. Oma yang selalu terlihat kuat dan tegar, dia pun menyimpan trauma dengan kecelakaan maut yang Ayahnya alami. "Oma takut, Will. Cukup Oma kehilangan Ibu dan Ayah kamu." "Oma, maaf, tapi Will harus tetap pergi. Will tidak akan pernah bisa hidup dengan dendam yang terus muncul tanpa ada pelampiasan." Soraya mengangguk, dia paham. Tetapi tetap saja dia sangat khawatir. "Oma takut kalau dia ak-" "Dia tidak bisa apa-apa lagi, Oma. Dia sudah jatuh bangkrut dan sakit. Bukankah itu kesempatan emas untukku?" William menatap Soraya, yang duduk di sampingnya. "Will, perusahaan ini butuh kamu, cuma kamu yang bisa menjalankan. Sedangkan perusahaan di Indonesia? Di sana sudah ada yang menghandle." "Will percaya sama Oma. Sore ini Will berangkat, Oma jaga diri baik-baik. Semua pekerjaan sudah Will bereskan, Oma jangan khawatir." Soraya tidak menjawab, dia langsung memeluk tubuh cucu kesayangannya itu. Walaupun William sudah memberikan jawaban yang menenangkan, tetap saja hati Soraya tidak tenang. "Ini semua aku lakukan untuk Ayah, Oma. Penjahat seperti dia sangat tidak layak hidup tenang." Suara yang pelan, namun terdengar sangat tajam dan dingin. Soraya paham, ini memang menyakitkan. Soraya ingat, sebelum kecelakaan itu terjadi, anaknya akan mengambil kue ulang tahun untuk William. Tetapi siapa sangka, kue dan orang yang mereka tunggu-tunggu tidak ada satupun yang datang. Kehancuran William benar-benar terjadi di saat hari bahagianya. Maka dari itu, William sangat benci dengan perayaan ulang tahun. "Kalau begitu, kamu harus janji sama Oma. Kamu harus bisa jaga diri, jangan sampai ini merugikan diri kamu, Will." Soraya menggenggam tangan William dengan erat. Dia percayakan semuanya kepada tangan kekar itu. William tersenyum, setidaknya jalannya akan lebih mudah karena sudah mendapatkan izin dari orang terpenting dalam hidupnya. 'TOK..TOK..TOK' "Masuk!" sahut William. Dia menatap pintu ruangannya yang terbuka, lalu melihat kedua orang kepercayaannya yang sudah rapih. "Andrew, Zaffan, saya titip Will ya?" Andrew dan Zaffan menganggukan kepalanya dengan sopan. Mereka berdua memang sudah sangat lama bekerja dengan William, maka dari itu William pun sangat percaya kepada mereka. "Tuan, lima belas menit lagi kita harus berangkat ke bandara," ujar Andrew, yang mendapat anggukan dari William. "Apa semuanya sudah beres?" Zaffan mengangguk. Dia bisa memastikan dan menjamin, keberangkatannya kali ini akan sangat mulus. Begitupun setelah tiba di Indonesia, semua telah tersiap dengan rapih dan tersusun. "Kerja bagus, tunggu saya di bawah." "Baik, Tuan," jawab Andrew dan Zaffan secara kompak. Setelah berpanitan, mereka berdua langsung bergegas pergi menuju parkiran. 'Permainan baru kita mulai, Prawira,' batin William. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD