Menyusun Rencana

1028 Words
Berkas-berkas yang berserakan di atas meja, tidak membuat pria yang kini duduk di sofa marah. Tubuh kekar dengan wajah dinginnya kini menatap semua berkas itu dengan senyum mematikan. Kedua orang yang berada di kanan dan kirinya hanya bisa diam sambil menunggu respon apa yang akan bosnya keluarkan. "Apa ini sudah lengkap?" "Sangat lengkap, Tuan. Foto rumah dan beberapa rekaman yang kita punya, itu semua asli dan saya sudah mengecek kebenarannya." Pria berjas hitam yang berdiri di sebelah kanan pun mengangguk. Dia menyetujui apa yang temannya itu katakan. Selama berminggu-minggu, bahkan bulan mereka bekerja keras memenuhi perintah Tuannya. Kabar yang akan sampai ke telinga Tuannya pun sangat tidak main-main, karena kalau salah sedikit saja, nyawa mereka semua dalam bahaya. Suara ketukan di meja, menjadi pemecah keheningan. Tangan kekar itu terulur, mengambil sebuah foto yang di dalamnya terlihat sangat bahagia. Iya, tidak ada raut kesedihan ataupun kehancuran, yang ada hanya senyum bahagia. Melihat itu, membuat tangannya kembali terkepal. Bagaimana bisa mereka hidup bahagia, sedangkan dirinya harus menahan beban menyakitkan selama bertahu-tahun? 'Akan tetapi, kebahagiaan kalian telah selesai,' batinnya dengan senyum devil yang terpancar. "Tuan Will, tiket untuk besok sudah siap. Kita akan berangkat sore hari sesuai dengan perintah yang Tuan kasih kemarin." "Baik, Zaffan, terima kasih." "Apa ada yang bisa kita bantu lagi?" tanya Andrew. "Tidak ada, siapkan saja semuanya untuk besok. Saya tidak mau semuanya kembali berantakan. Apapun yang terjadi, besok saya harus tiba di Indonesia." Andrew mengangguk patuh. Dia memberi kode kepada Zaffan agar meninggalkan ruangan Tuannya. Zaffan yang mengerti langsung mengangguk, lalu mengikuti langkah Andrew yang kini berjalan di depannya. Ini semua baru di mulai, dendam yang tersimpan sangat butuh pelampiasan. Orang-orang yang sudah membuat hidupnya menderita, harus merasakan hal yang sama. Apapun caranya, akan William lakukan. Dia tidak perduli dengan apapun, bahkan tidak ada lagi ketakutan di dalam dirinya. William mengambil kotak yang berada di dalam laci meja kerjanya, lalu membuka tutup itu dengan perlahan. Hatinya kembali berdesir, hatinya kembali sakit saat dia mengambil bingkai yang berisi foto dirinya tengah berdiri. Tentu saja di tengah-tengah Ayah dan Ibunya. William kecil yang sangat bahagia. "Cukup Ibu yang pergi, tetapi kenapa Ayah juga harus pergi? Ayah pergi demi menyelamatkan perusahaan ini, huh? Semua demiku? Kalau begitu tenanglah, aku telah menguasainya sekarang. Aku berjanji akan membalas semuanya kepada mereka. Ini untukmu, iya, hanya untukmu, Ayah," guman William. 'TOK..TOK..TOK' Ketukan pintu yang terdengar membuat William memasukan kembali foto tersebut. Dia berdeham, untuk mengembalikan dirinya seperti semula. "Silahkan masuk!" 'Ceklek' Ketika pintu ruangannya terbuka, William menatap wanita cantik dengan wajah oval, berambut cokelat, dan senyum yang sangat menawan, yang selalu membuat William damai ketika melihatnya. Langkah kaki wanita itu semakin mendekat, lalu berdiri di samping William yang masih duduk di kursi kerjanya. "Biel? Kau baru sampai? Ada urusan apa ke sini? Kenapa kau tidak meneleponku dulu?" William menatap wajah sang kekasih dengan lekat. "Apa harus aku meneleponmu? Apa salah kalau aku menemui tunangan sendiri?" jawabnya dengan suara pelan. "Bukan seperti itu, maksudku kalau kau mengabari aku bisa menjemput." "Will?" Wanita itu menarik dirinya dari dekapan William, lalu menatapnya dengan penuh selidik. "Iya, ada apa?" "Apa benar kamu akan pergi ke Indonesia?" "Kau tahu dari mana?" Seulas senyum simpul di sudut bibir wanita cantik itu. Dia melangkahkan kakinya ke arah jendela. "Aku, Grabiella Friska Aquella. Apa kamu lupa? Apapun tentangmu, aku dengan mudah mengetahuinya." "Zaffan atau Andrew?" Grabiella tertawa. "Kamu sungguh menyebalkan, Wil! Apa tidak bisa kamu membuat hatiku senang sedikit? Anggap saja aku itu detektif untuk kehidupanmu. Jadi bagaimana? Apa itu benar?" "Itu benar, aku harus pergi besok. Dan kemungkinan akan menetap lama, karena aku mengambil alih perusahaan di sana. Untuk yang menghandle di sini, aku serahkan kepada Oma." Grabiella kembali menatap William. Dia berdecak, kenapa pria di depannya sangat santai? Dia mengatakan akan pergi dengan jangka waktu yang lama, lalu bagaimana dengan dirinya? "Kenapa kamu sangat santai mengatakan itu, Will? Kedengarannya tidak ada rasa bersalah atau apapun. Kamu mau pergi, lalu bagaimana dengan aku?" "Aku pergi untuk membalaskan semuanya. Tidak ada cara lain, hanya itu yang bisa aku lakukan. Biel sayang, apa kau tidak percaya padaku? Setelah semua selesai, aku akan menjemputmu." "Apa aku harus percaya dengan semua ucapanmu?" William bangkit dari duduknya, dia meraih pinggang wanita yang selama ini selalu menemaninya sekalipun di masa-masa terpuruk seperti dahulu. William memang sangat beruntung bisa bertemu dengan Grabiella. "Apa kamu ada niat mempermainkanku?" Suara tawa dari William membuat Grabiella, atau yang biasa dipanggil Biel, mendongakan wajahnya menatap William. "Untuk apa aku cari wanita lain, sedangkan aku sudah mempunyai kau seutuhnya?" ujar William tepat di telinga Biel. Mendengar itu, tentu saja membuat hatinya sedikit lebih tenang. *** Seharusnya pagi ini William sudah berangkat ke Indonesia, namun karena beberapa urusannya belum selesai, dia harua menunda keberangkatannya hingga sore nanti. Biel yang sejak tadi menatap William hanya bisa menghela napasnya. "Are you okay, Wil?" tanya Biel dengan hati-hati. William menoleh, dia menatap Biel dengan senyumannya. "Im okay, hanya ada masalah sedikit." "Hari ini jadi bertemu dengan Oma? Kamu serius Oma belum tahu ini? William terkekeh. "Kau benar, Biel. Oma Soraya belum mengetahui ini dari mulutku, pasti nanti akan ada drama penahanan cucu." "Bukankah itu wajar?" Biel menaikan sebelah alisnya. "Iya kau benar, kau selalu benar dan aku selalu salah." William bangkit dari duduknya, dia berniat untuk segera mandi lalu mengurus semua pekerjaannya. Baru saja William mengambil handuk, ponselnya sudah lebih dahulu berbunyi. Biel diam, dia memperhatikan gerak-gerik sang kekasih yang sedang menerima panggilan entah dari siapa. 'Tuan, kita kembali berhasil menemui anak dari Pak Prawira. Dia bekerja di salah satu tempat hiburan malam, tepatnya di Jakarta Selatan.' "Baik, tetap pantau semuanya." 'Baik, Tuan.' TUT! "Siapa yang meneleponmu? Kekasih gelapmu?" "Apa maksudmu, Biel?" "Andrew, bukankah dia kekasihmu juga? Bahkan dia terlihat lebih penting dariku," cibir Biel. William dan Andrew memang tidak bisa dipisahkan, itu semua karena Andrew kaki tangan yang sangat William percayakan selama beberapa tahun ini. Setelah menerima telepon dari Andrew, William kembali melempar ponselnya kesembarang arah di atas kasur. Sebelah alis William terangkat ketika menatap Biel yang sedang cemberut. "Aku mandi dulu, habis itu kita sarapan bersama ya? Tapi maaf, aku tak bisa temani karena harus bertemu Oma. Terima kasih juga kau sudah mau datang menemuiku sebelum pergi." Biel tersenyum, dia menganggukan kepalanya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD