Pertemuan Pertama

1015 Words
Sudah hampir empat jam William bersama asistennya sampai di Jakarta. Dengan pengawalan yang terbilang ketat, William mendapat pandangan dari semua orang. Walaupun seperti itu, sama sekali tidak mengusik hati dan fikiran William. Sudah bertahun-tahun sejak peristiwa kecelakaan sang Ayah William memilih meninggalkan Indonesia. Tetapi hari ini dia telah kembali. "Tuan, mobil sudah siap," ujar Andrew yang baru saja tiba. William mengangguk, lalu dia mengikuti langkah Andrew untuk menuju ke luar bandara. Di sampingnya berdiri Zaffan, dan di belakang ada empat orang suruhan Andrew. Setelah memasuki mobil, William langsung mengabari Oma dan juga kekasihnya. Sedang asik menatap layar ponsel, William dikagetkan dengan mobil yang berhenti secara mendadak. "Pak! Tolong bawa mobil yang benar!" bentak Zaffan, yang kini duduk di depan. William menoleh sekilas, lalu dia kembali menatap layar ponselnya. "Tuan, kita mau ke apartemen atau lang-" "Ke tempat yang kau bilang. Apa yang sudah kau lakukan untuk di sana?" William mematikan layar ponselnya, lalu menatap Andrew. "Saya sudah menyuruh orang untuk menemui Sella. Dari kabar yang saya dapat, keluarganya sedang butuh banyak uang, maka dari itu dia bekerja di sana." "Butuh uang? Sungguh? Sejatuh itu mereka sekarang?" William tertawa renyah. "Prawira sedang menjalani pengobatan, dia harus rutin cuci darah." "Siapa nama perempuan itu?" "Sella. Sella Anastasya, Tuan." Senyum tipis tampak jelas di sudut bibir William. Prawira, orang yang dulu gencar dengan perusahaannya, kini sudah jatuh. Tiba-tiba saja sebuah ide melintas di dalam otaknya. Kini dia tahu, harus dari mana memulai ini semua. Satu jam lamanya William menempuh perjalanan menuju FourNight. Langkah kaki santai William memasuki area tersebut. Tempat ini sama sekali tidak asing baginya. Dahulu, dia sering ke luar masuk tempat ini. Musik yang terdengar keras tidak membuat William kerkecoh untuk mencari seseorang yang selama ini dia lihat dari foto. "Ini ada apa ya?" "Saya di sini mau bekerja, bukan mau mencari masalah." "Lepas!" Keributan dari arah belakang membuat William menoleh, dia menatap seorang wanita yang sedang ditarik oleh pria berbadan kekar. "Itu yang namanya Sella, Tuan. Pria itu anak buah saya," bisik Andrew tepat di telinga William. Senyum itu kembali muncul, William hanya memperhatikan keributan yang tersaji di depan matanya. Wajah yang ketakutan membuat William menatapnya dengan heran. Walaupun butuh uang, ternyata Sella bukan wanita seperti pada umumnya. Langkah pelan namun pasti, William berjalan mendekati wanita yang masih menangis sambil memohon. Sepertinya, malam ini dia harus bermain drama yang indah agar semuanya berjalan mulus. "Permisi Tuan, Nona, ada masalah?" Sella menoleh, dia menatap wajah pria asing yang kini berjongkok di depannya. Pria bertubuh besar dan kekar, wajah yang terlihat dingin dengan senyum kecil di sudut bibirnya. "Wanita ini sudah saya beri bayaran, saya hanya minta ditemani ngobrol, tetapi lihatlah sekarang dia menolaknya," ujar pria berbaju putih dengan jas berwarna hitam. William menganggukan kepalanya. "Berapa yang sudah anda keluarkan untuk wanita ini? Sebut, akan saya ganti." "Sepuluh juta." "Andrew, urus semuanya. Dan kau Nona, mari ikut saya ke meja belakang." "Baik, Tuan," jawab Andrew. Setelah itu, dia bergegas menarik pria di depannya, lalu membawanya ke luar. Setelah Andrew pergi, William kembali menatap Sella yang masih terdiam. "Mari ikut saya." "A-an-anda siapa? Mau apa?" Gerakan tangan William terhenti, dia menatap wajah Sella dengan rahang yang mengeras. Wanita model apa ini? Sudah dibantu, tetapi tidak tahu terima kasih. "Lepasin tangan saya, saya ga kenal sama anda!" "Tapi saya yang kenal dengan kau, Sella," jawab William dengan suara tenangnya. Sella seketika tertegun. Pria asing yang entah datang dari mana, kenapa bisa mengetahui namanya? "Sella Anastasya," ujar William sambil mengangguk-anggukan kepalanya. "Dari mana anda tau nama saya? Anda siapa?" "Ayolah, apa pantas kita berbicara dengan kondisi seperti ini? Kau tidak melihat mereka sedang bersenang-senang? Mari ikut saya." Tanpa menunggu jawaban Sella, William langsung menarik tangan wanita yang masih terduduk di lantai. Tepisan demi tepisan yang wanita itu lakukan, tidak membuat William gentar. Kekuatan yang jauh tidak seimbang, membuat William dengan mudah menarik Sella sampai ke ruangan VIP yang sudah Zaffan pesan. "Lepasin tangan saya!" "Masuklah," suruh William sambil melepaskan cekalan tangannya. Sella tidak bergeming, dia hanya diam sambil menatap kesekitar. "Mau masuk sendiri atau mau dengan cara paksaan?" bisik William tepat di telinga Sella. Setelah itu, William masuk terlebih dahulu. Dia sama sekali tidak takut kalau Sella kabur. Karena di depan pintu sudah ada Andrew, Zaffan dan beberapa bodyguardnya. Sella yang merasa terjebak tidak tahu harus melakukan apa. Apa iya dia harus masuk bersama pria asing? Walaupun itu hanya sekedar berbicara. "Masuklah, kalau sampai Tuan Will murka, nyawa anda dan keluarga yang menjadi taruhan," bisik Andrew. Mendengar itu membuat Sella bergidik ngeri. Mata Sella menatap William dan beberapa orang yang berdiri di depannya. Dengan langkah ragu, Sella masuk ke dalam. Setelah Sella masuk, dengan cepat Andrew menutup pintu. Sella tersentak, dia langsung berlari ke arah pintu. "Buka pintunya!" "Kenapa harus ditutup?!" "Kalian dengar saya? Buka!" "Nona, bisa kecilkan volume suaramu? Sungguh, saya paling benci mendengar seseorang berteriak dengan lantang. Sekarang duduklah dengan tenang. Jangan takut, saya tidak akan macam-macam." "Anda tuh siapa sih sebenarnya? Mau anda apa? Ada urusan apa dengan saya?" "Sama-sama," jawab William tanpa menatap Sella. Kening Sella mengerut. Kenapa pria di depannya mengucapka kata yang tidak menyambung? Sama-sama? Apa maksudnya? "Saya membantumu dari pria tadi, lalu saya juga mengeluarkan uang sebesar sepuluh juta. Sepuluh juta itu uang, bukan kertas kosong." Sella seketika tertegun, dia baru menyadari apa yang pria itu maksud sejak tadi. Lagipula, uang apa yang dimaksud? Sedangkan sejak tadi dirinya tidak menerima apapun. "Bagus, diam seperti ini jauh lebih baik." Sella masih diam, dia tidak menjawab sama sekali. Kedua matanya sangat awas menatap William yang masih duduk dengan tenang. "Jadi, apa benar namamu Sella Anastasya?" "Apa saya harus jawab pertanyaan anda?" Sella menatap wajah William dengan seksama. William terkekeh. "Tidak perlu. Karna saya sudah tahu semuanya." Sella benar-benar tidak mengerti, sebenarnya ini ada apa? Siapa pria yang ada di depannya? Kenapa bisa dia mengetahui namanya? Apa ini semua ada sangkutannya dengan Ibunya? Sella menunduk, dia sedang berusaha mencerna semuanya. William yang melihat itu sama sekali tidak bereaksi. Apakah dia kasihan? Tentu saja tidak. "Saya punya penawaran untuk kau, Nona. Wanita sepertimu itu tidak cocok bekerja di sini. Apa kau mau bekerja di kantor saya?" ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD