Step One

1051 Words
Sella menatap pria di depannya dengan sangat awas. Apa dia bilang? Penawaran? Tidak pantas? Memang dia siapa sampai berani berkata seperti itu? Sella menepis tangan William yang ingin menarik pergelangan tangannya. "Jangan pernah sentuh saya!" William mengangguk-anggukan kepalanya sambil terus menatap Sella. Melihat wajah Sella membuat ingatan William kembali hadir. Kesakitan, trauma, membuat tangan William terkepal tanpa sadar. Selama bertahun-tahun wanita di depannya hidup bahagia berlimpah harta, tetapi jauh di belakang, dirinya sedang berjuang menjalankan kehidupan. Emosi yang memuncak, membuat William berusaha keras untuk meredam. Bisa saja dia menghabiskan semuanya malam ini, bisa saja dia membawa Sella pergi agar Wira tidak bisa menemui lagi. Akan tetapi semua itu William tahan, dia tidak mau gegabah dalam bertindak, dia juga tidak mau kali ini targetnya lolos. Keadaan kembali hening, bahkan William membiarkan Sella berjalan ke arah pintu untuk ke luar. Sengaja William diam, karena Andrew sudah menjalankan semuanya dengan sangat baik. Umpatan kecil Sella terdengar, membuat William tertawa renyah di belakang. "Saya mau ke luar, bisa buka pintunya? Saya tidak kenal anda siapa, anda cuma orang asing yang bahkan saya tidak harapkan." "Boleh saja pergi, tapi ada satu syarat, saat pintu terbuka, uang sepuluh juta saya kembali. Tidak ada jangka waktu, tapi detik ini juga. Bagaimana?" William menegakan tubuhnya kembali. Syarat yang William lontarkan membuat bahu Sella merosot sampai ujung kaki. Sepuluh juta? Detik ini? Hujan uang di mana sampai dia bisa mendapatkannya? Susah payah Sella menelan salivanya tanpa menoleh ke arah William. "Sepuluh juta, kembalikan uang saya, dan kau boleh pergi. Kalau tidak mampu, silahkan duduk." Sella menggelengkan kepalanya. Alih-alih menurut, Sella semakin merapatkan dirinya ke pintu. Puluhan kali dia mencoba untuk buka, hasilnya tetap saja nihil. Sella benar-benar mengutuk kehidupan yang membuat dirinya jatuh seperti ini. Andai saja Ayahnya masih sehat, andai saja perusahaan Ayahnya tidak jatuh, mungkin Sella tidak akan ada di sini. "Saya mau ke luar, saya mau pergi," ujar Sella dengan suara bergetar. Demi apapun, Sella benar-benar takut berada di dekat William. Ruangan ini tertutup, kedap suara, belum lagi tatapan William yang terus tertuju padanya. Rahang William mengeras, rasanya dia sangat muak melihat tingakah laku Sella yang lugu. Tunggu dulu, lugu? Lugu atau sedang berpura-pura lugu? William berdecih, dia bangkit dari duduknya lalu menghampiri Sella. "Kau itu wanita model apa sih? Kalau memang wanita lugu, buat apa bekerja di sini? Jangan bersikap lugu kalau bekerja di sini, jangan munafik kalau memang butuh uang. Tenang saja, saya tidak napsu dengan tubuhmu itu." William menatap Sella dari ujung kepala sampai kaki. Apa yang William katakan memang sesuai pandangan matanya. Walaupun terlihat manis, tetap saja dia tidak berminat dengan tubuh Sella. Sella tersentak mendengar jawaban William yang sangat ketus bahkan menohok hatinya. Ingin sekali Sella berteriak, ingin rasanya dia menjelaskan kalau dia menjalankan ini karena terpaksa, karena himpitan ekonomi. Kalau saja dia anak kurang ajar, mungkin Sella lebih memilih pergi tanpa memperdulikan kedua orang tuanya. "Jangan menangis di depan saya. Saya tidak pernah kasihan sama orang hanya karena air mata. Jadi, simpan saja. Silahkan pergi untuk malam ini, tapi satu hal yang harus kau ingat, kau masih punya hutang dengan saya. Saya tidak butuh nomer telepon, karna dalam hitungan detik saya bisa menemukan keberadaan kau, Sella." Tanpa menunggu jawaban wanita di depannya, William kembali duduk sambil menelepon seseorang. Hanya pembicaraan singkat, namun tiba-tiba pintu langsung terbuka lebar. Tanpa fikir panjang Sella berlari ke luar, setidaknya dia memcari tempat aman sejenak untuk saat ini. Mengenai perkataan William, biarlah menjadi urusannya nanti. *** Walaupun baru sampai ke Indonesia, hal itu tidak membuat William bermalas-malasan di rumah. Sudah satu jam lebih dia berkutik menatap laptop serta berkas yang berserakan di atas meja. Kali ini William harus mengurus anak perusahaannya di Jakarta. "Semuanya bagus, bahkan beberapa investor sudah ada di tangan kita, Tuan." Tidak ada jawaban apapun dari William, dia hanya diam sambil terus membaca rincian di tangannya. "Ada lagi yang bisa saya bantu, Tuan?" "Selama saya atau Oma tidak menghandle, siapa yang berperan penting di sini?" "Pak Edward, Tuan. Pak Edward sangat sering membantu, beliau juga sempat menawarkan investor baru untuk perusahaan kita." Edward? William mengetuk-ngetuk jari telunjuknya di atas meja. Nama itu tidak asing, tentu saja William sangat kenal. Iya, itu adalah Pamannya. Paman yang Soraya percayakan untuk menghandle perusahaan di sini setelah Ayahnya meninggal. "Silahkan kamu ke luar." Pria di depan mengangguk patuh. Setelah memastikan asistennya itu pergi, William langsung menelepon seseorang untuk masuk menemuinya. Sambil menunggu, William kembali menyandarkan punggungnya ke sanggahan kursi. Kejadian semalam benar-benar cepat, bahkan dia belum sempat mengulik apapun dari Sella. Sampai detik ini William masih memutar otak bagaimana caranya meraih Sella. Suara ketukan pintu membuat lamunan William buyar. Dia mempersilahkan orang di luar sana untuk masuk ke dalam ruangannya. "Selamat pagi, Tuan, ada yang bisa saya bantu?" "Utus beberapa orang untuk memantau Prawira. Satu lagi, terserah mau kamu atau Zaffan, tolong pantau Sella di tempat kerjaannya. Pastikan dia tidak betah bekerja di sana." Andrew mengangguk patuh. "Ada lagi, Tuan?" "Untuk saat ini sudah cukup, selesaikan dulu yang saya perintahkan." William memberi kode agar Andrew segera pergi dari hadapannya. William bangkit dari duduknya, dia berjalan ke arah jendela. Di luar ramai, tapi tidak dengan hatinya. Sebetulnya dia datang ke Jakarta harus menyiapkan mental besar, itu semua karena hatinya belum bisa menerima atas kepergian orang tuanya. Akan tetapi, hari ini William sudah berhasil. Dia sudah bisa menginjakan kakinya di sini. Semua akan mendapat keadilan, tetapi semuanya harua bertahap. Berbeda dengan William, sedangkan Sella tengah menghadapi ocehan sang Ibu dengan segala kata-kata kasarnya. Sebetulnya sudah biasa sih, saking biasanya Sella sampai merasa tuli. Tubuhnya sudah lelah, belum lagi otaknya. Perkataan William semalam benar-benar mengusik hati Sella. Sella benar-benar pusing kalau memang William meminta uang sepuluh jutanya. "Sella!" Sella menerjapkan matanya menatap Daniar. Rasanya tiada hari tanpa melihat Ibunya marah-marah. Rasa lelah itu ada, bahkan rasa bosan. Ingin Sella pergi menjauh, tetapi dia masih memikirkan Ayahnya. "Apa sih, Bu? Aku belum gajian, mungkin lusa aku baru bisa kasih." Daniar menatap sang anak dari ujung kepala hingga kaki. Anaknya lumayan cantik, tinggal menambah polesan sedikit akan menambah kesempurnaan. Daniar menarik tubuh Sella untuk memutar. Kini senyum puas terpancar di sudut bibir Daniar. Brak! Suara benda jatuh membuat Daniar dan juga Sella saling pandang. Tanpa berkata apa-apa lagi, keduanya berjalan ke arah luar rumah. Di depan sepi, akan tetapi Sella melihat ada seorang pria yang berlari menjauh dari rumahnya. Siapa dia? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD