4. Resmi Menikah

1607 Words
Theo tersentak ketika mendengar suara Veronica. Dia menoleh, dan melihatnya berdiri di depan food truck dengan senyum tipis di wajahnya. "K-kau?" Kedua mata Theo seketika berbinar melihat sosok wanita yang berhasil mencuri hatinya itu. "Hei, apakah kau menjual air minum?" ulang Veronica mengulas senyum manisnya. Theo yang masih bingung segera merespon, "Oh, tentu saja." Dia membuka lemari pendingin dan mengambil sebotol air mineral, lalu menyerahkannya pada Veronica. Veronica mengambil botol itu. "Terima kasih. Kau sungguh pria pekerja keras, ya? Aku kira kau hanya bekerja di malam hari, ternyata siang hari juga kau menjual sandwich dan minuman." Theo mengerutkan kening, merasa bingung, tetapi dia memutuskan untuk bermain peran, "Ya! Biaya hidup sangat mahal. Jadi, aku harus mencari uang sebanyak mungkin." Veronica tertawa kecil, "Kau tahu, aku kagum pada semangatmu. Tidak banyak orang yang bisa sekeras itu dalam bekerja. Tapi, bukankah berat bekerja dua pekerjaan sekaligus?" Theo tersenyum simpul, "Itu tergantung bagaimana kita menjalaninya. Selama aku bisa menjaga kesehatanku agar tetap bugar dan tetap fokus pada tujuan, aku rasa semuanya baik-baik saja." Veronica mengangguk setuju, "Aku suka sikap positifmu, Theo." "Tapi, alangkah baiknya jika kau berhenti dari pekerjaan malammu," lanjutnya dalam batin. Theo tersenyum malu, merasa tersanjung atas pujian itu. "Terima kasih. Kau sendiri sedang apa di sini, Nona Johnson?" "Hmm ... kau bisa memanggilku Veronica atau Vero ... sebenarnya aku seharusnya menemui seseorang di sini, dan sepertinya aku terlambat. Jadi, kurasa mereka sudah pergi," jelas Veronica. Theo mengangguk dan tersenyum. "Sayang sekali, mereka begitu bodoh ... menurutku kau sangat pantas untuk ditunggu." "Tunggu sebentar! Dia mungkin pria yang cocok," batin Veronica menatap lekat wajah tampan Theo. "Hei, Theo. Sebenarnya, jika kau tidak keberatan, aku ingin tahu lebih banyak tentang dirimu. Kau orang yang cukup menarik," kata Veronica sambil menatap Theo dengan penuh minat. "Apa kau sudah menikah?" Theo menjawabnya dengan cepat sambil menggeleng, "Belum!" "Pacar?" "Tidak ada!" "Bersama dengan wanita yang berbeda-beda?" "Tentu saja tidak!" Theo menghela napas sebelum melanjutkan, "Sejujurnya, baru tadi malam aku melakukan pekerjaan itu, dan kau adalah pelanggan pertamaku." "Okay, perfect! Ayo pergi!" ajak Veronica mengulurkan telapak tangannya. Theo tersenyum dan menyambut jemarinya yang lentik itu dan menggenggamnya lembut. "Ke mana kita akan pergi?" "Balai kota! Kita akan menikah!" jawab Veronica seraya menarik Theo menuju mobilnya yang terparkir cukup jauh dari food truck itu. Theo mengerutkan dahinya, dan detik kemudian dia tersenyum. Raut wajahnya terlihat penuh kemenangan. Veronica melangkah cepat, menarik Theo menuju mobilnya. Theo, yang masih sedikit bingung dengan situasi ini, mengikuti langkahnya dengan hati berdebar. "Kenapa tiba-tiba kau memintaku menikahimu?" tanya Theo dengan raut wajah penuh penasaran. Veronica menoleh sebentar sambil tersenyum, "Aku tahu ini terdengar gila, tapi percayalah, aku butuh bantuanmu. Dan sepertinya, kau adalah pria yang tepat. Kau tenang saja, aku akan memberikan imbalan yang besar padamu. Kau tidak perlu lagi melakukan pekerjaan-pekerjaan itu." Theo tidak bisa menahan senyum kecil yang muncul di wajahnya. "Baiklah, tapi aku harap kau akan memberikan penjelasan lebih lanjut tentang hal ini." Veronica membuka pintu mobilnya dan mengisyaratkan Theo untuk masuk. "Masuklah, aku akan menjelaskannya di perjalanan." Setelah keduanya berada di dalam mobil, Veronica mulai menjelaskan sambil melajukan mobilnya. "Aku harus menikah sebelum ulang tahunku agar bisa mengambil alih perusahaan milik mendiang ibuku. Dan dengan situasi keluargaku sekarang, aku tidak punya banyak pilihan." Theo mendengarkan dengan seksama. "Jadi, kau pikir menikah dengan orang asing sepertiku adalah solusi terbaik?" Veronica mengangguk. "Tenang saja, ini hanya pernikahan kontrak. Aku butuh seseorang yang bisa dipercaya dan kau terlihat seperti orang yang jujur. Lagi pula, ini hanya sementara sampai aku mendapatkan kendali atas perusahaan, setelah itu kita bisa bercerai." Theo terdiam sejenak, merenung. Dia merasa tidak ada salahnya menerima permintaannya. Karena itu akan membuatnya semakin dekat dengan Veronica. Dia bertekad untuk membuat Veronica jatuh cinta padanya. "Baiklah, Vero. Aku akan membantumu. Tapi, aku harap kau tidak menyesal dengan keputusan ini." Veronica tersenyum lega. "Terima kasih, Theo. Aku tahu ini terdengar gila, tapi ini adalah satu-satunya cara. Aku yakin kau adalah pria yang baik, dan aku yakin aku tidak akan pernah menyesalinya." Perjalanan menuju balai kota terasa cepat. Sesampainya di sana, mereka langsung menuju ke bagian pendaftaran pernikahan. Petugas balai kota menatap mereka dengan curiga, tetapi Veronica dan Theo berhasil meyakinkan bahwa mereka serius. "Baiklah, mari kita mulai prosesnya," kata petugas balai kota dengan suara formal. Theo menatap Veronica, yang terlihat lebih tenang sekarang, lalu berbisik, "Kau yakin dengan ini?" Veronica mengangguk mantap dan membalas bisikannya. "Ya, Theo. Terima kasih sudah bersedia membantuku." Prosesi pernikahan berlangsung singkat. Saat mereka saling menandatangani berkas-berkas pernikahan, Theo merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Meskipun pernikahan ini hanya untuk kepentingan bisnis, dia merasa ada ikatan khusus yang terjalin antara dirinya dan Veronica. Setelah selesai, mereka keluar dari balai kota dengan status resmi sebagai suami istri. Veronica menatap selembar akta nikah dengan penuh kemenangan, lalu beralih menatap Theo dengan senyum penuh harapan. "Yes, sudah resmi ... sekarang, kita harus menghadapi keluargaku yang gila dan dunia luar. Bersiaplah, Theo." Theo tersenyum, merasa bahwa ini adalah awal dari petualangan yang tidak terduga. "Aku siap, Istriku. Mari kita hadapi bersama." Mendengar kata 'Istriku' membuat jantung Veronica seketika berdebar. Tanpa disadari, pipinya merona. Namun, dengan cepat dia mengalihkan topik. "Nah, sekarang bagian menikah sudah berakhir. Mari kita bicarakan bisnis." Dia menyerahkan kartu hitam miliknya pada Theo. "Aku akan menyetorkan uang lima puluh ribu Euro pada kartu ini setiap bulan, dan itulah gajimu dalam memainkan peran sebagai suamiku." Theo masih belum menerima kartunya dan tersenyum simpul menatap gadis yang sudah menjadi miliknya itu, meskipun baru berstatus sebagai suami kontrak, tapi dia yakin, kebersamaannya dengan Veronica, bisa membuat gadis itu membalas perasaannya. "Kau tahu, Vero? Meskipun gratis, aku masih akan sangat bahagia sudah menikahi wanita sepertimu." Veronica terus menyodorkan kartu miliknya, "Ayolah, Theo. Kau tidak mengenalku." Theo terus mengulas senyumnya dan mulai mengikis jarak di antara mereka. "Aku mengenalmu cukup baik untuk mengetahui bahwa aku menyukaimu." Cup! Pria itu mengecup pipi Veronica, berhasil membuat jantungnya semakin berdebar hebat. Veronica menarik napasnya dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan, mencoba meredakan rasa gugupnya. "Ambil ini, Theo," katanya kembali menyodorkan kartu itu pada Theo. "Aku tidak ingin lagi melihatmu kerja di hotel. Kau tahu maksudku, 'kan?" Raut wajah Theo mendadak berubah menjadi serius. Bahkan senyumnya pun memudar. "Maksudku, aku ...." Ucapan Theo menggantung. Dia merasa ini bukan waktu yang tepat untuk mengatakan tentang identitas aslinya. Dia harus mencaritahu terlebih dahulu tentang apa yang terjadi lima tahun lalu antara Johnson Construction dan S&W Company. Dia harus membuktikan bahwa keluarga Schwarz tidak terlibat dengan hal ini. "Ah, baiklah ... kau benar. Pria sejati tidak akan berdebat dengan seorang wanita," katanya kembali mengulas senyum dan terpaksa menerima kartu debit yang diberikan Veronica. "Bagus!" kata Veronica setelah Theo menerima kartu itu. Ditatapnya jam yang melingkari pergelangan tangannya. "Oh, aku harus segera pergi, Theo. Tolong masukkan nomor ponselmu." Veronica memberikan ponsel miliknya pada Theo. Pria itu pun dengan senang hati mengetikkan nomor ponselnya di ponsel istri barunya itu, lalu mengembalikan ponsel itu padanya. "Bawalah selalu ponselmu, karena aku akan menghubungimu sesegera mungkin," kata Veronica seraya memasukkan ponselnya ke dalam tas tangannya, dan mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Theo. "Aku menantikan untuk berkerja sama denganmu, Theo Scott." Theo pun menyambutnya dan menggenggam tangan Veronica yang halus dan lembut. "Aku juga, Veronica Johnson." Veronica tersenyum dan melepaskan tangannya dari genggaman Theo yang masih menatap lekat wajahnya, lalu melambaikan tangan, "Sampai jumpa, Theo." Theo membalas senyumnya, "Sampai jumpa, Baby." Veronica tersenyum manis dengan pipinya yang merona, dan masuk ke dalam mobilnya. Setelah Veronica pergi, Theo menghela napas panjang, merasa lega sekaligus bingung dengan situasi yang semakin rumit ini. Dia tahu bahwa suatu saat kebenaran akan terungkap, tetapi untuk sekarang, dia harus fokus mencari kebenaran bahwa keluarganya tidak terlibat dengan apa yang terjadi pada ibu kandung Veronica lima tahun lalu. Di perjalanan pulang, Veronica yang tengah melajukan mobilnya, merasa aneh dengan perasaan yang timbul dalam dirinya. Dia merasa tertarik pada Theo, meskipun dia tahu bahwa dia seharusnya fokus pada masalah keluarganya dan perusahaan ibunya. Namun, ada sesuatu pada Theo yang membuatnya tertarik dan ingin tahu lebih banyak tentangnya. Veronica menghela napas dan memutuskan untuk fokus pada pertemuannya dengan kepala perancang konstruksi. Dia tahu bahwa ada banyak hal yang harus diselesaikan dan dia tidak bisa membiarkan perasaannya mengganggu tujuannya. Pertarungan untuk mempertahankan perusahaan ibunya dan mengusir orang-orang yang mencoba menghancurkan hidupnya baru saja dimulai, dan Veronica bertekad untuk tidak kalah. Namun, di dalam hatinya, dia tahu bahwa perasaan terhadap Theo akan menjadi tantangan tersendiri yang harus dihadapinya. *** "Hai!" ucap Veronica dengan senyum penuh kemenangan ketika baru saja tiba di rumah mewahnya, berjalan menghampiri sang ayah yang sedang makan siang bersama ibu dan adik tirinya. Mereka bertiga menoleh padanya dengan raut wajah kesal, terutama sang ayah yang wajahnya merah padam. "Sedang apa kau di sini, Vero? Kau seharusnya menemui John sekarang di rumahnya. Kau harus meminta maaf, bila perlu, kau berlutut di hadapannya untuk menerimamu kembali," hardik sang ayah. "John mungkin akan menendangnya keluar, itu sebabnya dia kembali merendahkan diri kepada kita," timpal Sophie, membuat Veronica semakin muak pada saudari tirinya itu. "Lucu itu ketika seorang wanita yang merasa paling suci, padahal dia sendiri menggunakan tangan kedua tangannya hanya untuk menurunkan celananya di depan laki-laki," balas Veronica yang berhasil membuat darah Sophie mendidih. Charlotte menggebrak meja makan itu, tak terima pada penghinaan Veronica pada putri kesayangannya. "Beraninya kau menghina putri kesayanganku! Dasar anak malang!" "Aku tidak melakukannya jika putri tersayangmu itu bukan seorang pembohong dan pencuri pria," balas Veronica. Sophie tersenyum miring, "Kau hanya cemburu karena John lebih memilihku dari pada kau! Dan sekarang, tanpa suami, kau takut tentang kehilangan gelar CEO. Bukan begitu, Vero?" Veronica tersenyum bangga, "Kebetulan kau membahasnya. Ada yang harus aku tunjukkan pada kalian!" katanya seraya mengangkat selembar akta pernikahan yang ada di tangannya. Ketiga orang itu pun terbelalak melihatnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD