3. Suara Tak Asing

1756 Words
Theo mengernyitkan dahi, "Maaf, apa aku mengatakan sesuatu yang salah?" tanyanya yang sungguh tak mengerti akan sikap Veronica yang mendadak berubah galak macam singa betina. "Ibuku adalah Paulina Johnson. Lima tahun yang lalu, keluargamu terus menekannya, mencoba membuatnya menjual perusahaannya saat dia sedang sekarat karena kanker." Theo masih menatapnya dengan kebingungan dan sedikit panik melihat gadis yang selama ini dia cari itu tiba-tiba memakinya. "Okay, tunggu sebentar. Apa ... apa yang kau bicarakan sebenarnya? Aku sungguh tidak mengerti." "Perusahaan ibuku adalah pekerjaan hidupnya, dan keluargamu mencoba mencurinya darinya, dan itu membunuhnya!" tegas Veronica dan berlalu pergi meninggalkan Theo yang masih belum begitu paham akan maksud semua perkataan Veronica. Theo segera mengejar gadis itu di koridor dengan masih mengenakan bathrobe-nya. "Veronica, tunggu!" Wanita itu berbalik dengan tatapan tajamnya, "Apa lagi? Jangan katakan kau menyesal. Karena itu tidak akan membuat ibuku kembali!" "A-aku bukan Theo Schwarz! Aku Theo ... aku Theo Scott," jawabnya yang terpaksa berbohong. "Apa maksudmu kau bukan Theo Schwarz? Jelas-jelas tadi kau sendiri yang mengatakan bahwa kau Theo Schwarz." Veronica menatapnya penuh curiga. "Theo Schwarz adalah teman kuliahku. Karena nama depan kami yang sama, kami pernah dijuluki Theo bersaudara. Dan, itu membuatku terkadang salah menyebut nama belakangku." Veronica berpikir sejenak dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Bagaimana bisa aku lupa? Dia kan hanya pria pendamping. Tidak mungkin dia Theo Schwarz yang itu," batinnya. "Benar sekali. Maaf, nama itu sangat memacu emosiku. Selain itu, ini adalah hotel milik Schwarz Group. Jika kau Theo Schwarz, seseorang pasti akan mengenalimu," katanya pada Theo. Seorang petugas kebersihan tiba-tiba melewati mereka, "Selamat pagi, Tuan," ucap petugas tersebut. Membuat Veronica kembali mengernyitkan dahinya. "Ba-bagaimana dia terlihat mengenalmu? Siapa kau sebenarnya? " tanya Veronica bingung. "Aku selalu bekerja di hotel ini. Cukup sering. Maksudku, aku bekerja di beberapa hotel. Tapi hanya hotel ini yang paling sering aku pakai," jelas Theo yang tentunya masih berbohong. "Tentu saja. Karena profesimu. Aku yakin kau cukup sering melakukan ini. Anyway, tentang hal itu, apakah Elle sudah membayarmu?" tanya Veronica dengan gugup. "Huh? A-apa maksudmu?" Theo balik bertanya dengan penuh keheranan, karena belum menyadari jika gadis itu mengira dirinya adalah pria pendamping. Veronica merogoh dompet dari dalam tas tangannya, "Ya Tuhan. Aku minta maaf. Dua ribu Euro seharusnya cukup, bukan?" Dia memberikan uang itu pada Theo. "Dan, ambil saja kembaliannya," ucapnya tersenyum menunggu Theo mengambil uang itu. Theo yang merasa kebingungan pun termenung menatap uang-uang itu. Membuat Veronica meraih tangan Theo dan menaruh beberapa lembar uang itu di telapak tangannya. "Aku tahu itu terlalu banyak. Tapi, itu adalah bayaran yang sangat pantas untuk service mu tadi malam. Selamat tinggal." Veronica beranjak pergi meninggalkan Theo yang masih terpaku menatap beberapa lembar uang di tangannya. "Tunggu sebentar. Apa dia pikir aku pria pendamping?" batinnya seraya menatap sosok Veronica yang semakin menjauh dan menghilang dari balik pintu lift yang sudah tertutup rapat. Dia bergegas kembali ke kamarnya dan berpakaian rapi. Mengenakan pakaian yang cukup formal, namun masih terlihat santai. Karena dia sengaja tidak memakai dasinya. Dia berniat untuk menyusul Veronica. Wanita itu sedang berjalan menuju mobil sport berwarna putih miliknya yang sudah terparkir di depan pintu lobi hotel. "Selamat beristirahat!" ucap Theo ketika Veronica baru saja menerima kunci remote mobilnya dari petugas dan hendak masuk ke dalam mobilnya. Veronica tersenyum dan mengangguk kecil, "Oh ... apa kau ingin aku pesankan taksi atau ...." "Tidak! Tidak apa-apa ... aku akan naik kereta bawah tanah," tukas Theo dengan sikapnya yang jauh lebih ramah. Bahkan Veronica mendengar bisikan beberapa karyawan hotel yang mengatakan jika Theo jauh lebih tampan saat tersenyum. Petugas yang tadi memarkirkan mobil Veronica menatap heran dan menggerutu dalam batinnya. "Kereta bawah tanah? Bukankah dia pemilik hotel ini?" "Oh ... sekali lagi, Terima kasih untuk malam yang hebat," ucap Veronica. "Terima kasih kembali," jawab Theo yang terlihat sangat ramah dengan senyuman yang membuatnya jauh lebih tampak menawan. "Selamat tinggal!" Veronica memakai kacamata hitamnya dan masuk ke dalam mobil. "Selamat tinggal!" balas Theo masih mengulas senyum sambil menatap gadis itu dengan penuh kekaguman. Setelah mobil Veronica melaju, mobil Theo yang dikendarai oleh asisten pribadinya pun datang menghampiri dan berhenti tepat di depannya. "Selamat pagi, Tuan!" ucap Mario. Asisten pribadi sekaligus sekretaris Theo. Theo hanya mengangkat alisnya sebagai jawaban. "Ada berita untukmu, Tuan. Konstruksi mall waralaba ditunda lagi," ujar Mario sebelum melajukan mobilnya. "Permasalahannya masih sama?" "Wanita pemilik salah satu kedai menolak untuk pindah. Kita harus menyingkirkannya secara paksa jika kita ingin melanjutkan konstruksi." Theo menghela napas sebelum mengambil keputusan. "Baiklah, ayo antar aku untuk menemuinya." Mario pun mengangguk dan segera melajukan mobilnya menuju lokasi kedai tersebut. Setelah tiga puluh menit menempuh perjalanan, akhirnya mereka tiba di kedai tersebut. "Hei, maaf, Nyonya. Truk ini harus segera dipindahkan," ucap Theo to the point pada wanita paruh baya berambut keriting yang ada di hadapannya. "Dengarkan aku, kau b*jingan! Aku tidak akan ke mana-mana, okay? Aku sudah berada di sini selama lebih dari sepuluh tahun. Dan jika kau menginginkan aku untuk pindah, langkahi dulu mayatku!" sungut wanita paruh baya itu. Theo tersenyum miring mendengarnya, "Berapa banyak uang yang dibutuhkan untuk membeli seluruh bisnismu ini?" "Apa?!" "Maksudku, semua ada harganya, 'kan?" tawar Theo. "Dasar b*rengsek! Kau pikir semua bisa dibeli dengan uang? Kau i***t! Pergilah dari sini!" maki wanita itu dengan penuh emosional mengusir Theo. Kemudian berbalik, mencoba mengabaikan keberadaan Theo. *** Veronica memasuki rumah keluarganya dengan perasaan campur aduk. Langkahnya tegas menuju ruang keluarga, di mana dia mendengar suara Sophie yang sedang mengadu kepada Sebastian, ayah Veronica. "Daddy, kau tahu apa yang dia lakukan semalam? Vero tidur dengan pria panggilan di hotel! Aku sungguh tidak tahu bagaimana dia bisa melakukan hal memalukan seperti itu! Bahkan dia memutuskan pertunangannya dengan John saat John memergokinya tidur dengan pria panggilan itu." Sophie berbicara dengan suara penuh kepalsuan. Veronica mendekati ruang keluarga tempat di mana ketiga orang itu berkumpul, lalu bertepuk tangan sambil tersenyum sinis, "Bagus, Sophie. Kau selalu punya bakat untuk bermain peran. Apa kau lupa bagian penting dari ceritanya?" Sophie terdiam sejenak, namun segera menunjukkan ekspresi terkejut yang jelas-jelas palsu. "Vero, kau ... apa maksudmu?" Charlotte, ibu kandung Sophie yang tidak lain adalah ibu tiri dari Veronica, bangkit dari tempat duduknya dan menatapnya dengan tajam, "Vero, kau telah mencoreng nama baik keluarga kita! Bagaimana bisa kau tidur dengan pria panggilan di sebuah hotel? Apa kau tidak memikirkan dampaknya terhadap keluarga kita? Kau hanya membuat malu keluarga kita di depan keluarga Cooper." Charlotte hendak menampar Veronica, tetapi Veronica dengan cepat menangkap tangannya dan mencengkeramnya erat. "Jangan berani-beraninya kau bicara soal keluarga. Johnson adalah keluargaku, bukan milikmu. Kau hanyalah perusak rumah tangga yang tinggal di rumah yang dibelikan dengan uang hasil kerja keras ibuku. Jadi, kusarankan tutup mulutmu, atau aku bersumpah aku akan menutupnya untukmu." Veronica melepaskan tangan Charlotte dengan kasar. Charlotte berpura-pura menjadi orang yang paling tersakiti, memasang wajah sedih kepada Sebastian. "Sebastian, lihatlah putrimu. Dia tidak pernah menghargai aku. Aku hanya mencoba untuk menjaga nama baik keluarga ini. Tapi, kau lihat sendiri apa yang dia katakan." Sebastian, dengan wajah marah, menatap tajam Veronica. "Beraninya kau bicara seperti itu, Vero! Kau lah yang seenaknya memungut pria di jalanan untuk tidur denganmu! Kembalilah pada John, minta maaf, dan mohon pengampunannya. Kalian harus tetap melanjutkan rencana pernikahan kalian." Veronica tertawa sumbang sambil menyilangkan tangannya di d**a, "Ya, aku akan melakukannya, Dad. Ketika babi bisa terbang." Sebastian semakin marah, wajahnya memerah. "Kau sudah gila, Veronica! Apa kau sudah tidak berniat lagi untuk mengambil alih perusahaan ibumu? Kau tidak bisa mengambil alih perusahaan jika kau belum menikah di hari ulang tahunmu tanggal empat belas nanti. Bagaimana caramu bisa menemukan suami dalam beberapa hari ke depan?" Veronica menatap ayahnya dengan tegas, "Oh, kau tidak perlu khawatir, Dad. Aku akan menemukanya," kata Veronica sambil menyalakan layar ponselnya dan berkata, "hanya saja, itu bukan pria yang telah berselingkuh dariku ... dengan adikku sendiri," imbuhnya menunjukkan layar ponsel pada ayahnya yang terpampang jelas foto Sophie dan John yang tengah berciuman di atas ranjang. "Apa?" gumam Sebastian saat melihatnya dengan penuh keterkejutan, lalu menoleh pada Sophie. Membuat Sophie gugup seketika. "Kau adalah perusak rumah tangga, sama seperti ibumu. Like Mother, like daughter, huh!" kata Veronica dengan senyum meremehkan. "Dasar j*lang licik! Aku hanya menemani John. Kau lah yang pergi dengan pria panggilan sepanjang malam," balas Sophie. Veronica mengulas senyum manisnya, "Setidaknya dia baik dan jujur. Kalian? Kalian hanyalah sekelompok burung pemakan bangkai yang haus uang. Berpesta dengan apa yang ditinggalkan Ibuku." Dia berbalik, melenggang pergi meninggalkan rumah mewah peninggalan ibunya itu. Veronica sungguh merasa muak berada di rumah itu selagi ketiga orang itu masih tinggal di dalamnya. Veronica tahu bahwa pertarungan ini baru saja dimulai, dan dia harus menemukan cara untuk mendapatkan kembali kendali atas hidupnya dan perusahaan ibunya. Dia bersumpah akan mengusir ketiga orang itu setelah dia berhasil mendapatkan kuasa penuh atas perusahaan milik ibunya. "Lihatlah kelakuan putrimu!" cibir Charlotte pada Sebastian. "Seharusnya Daddy mengurungnya di dalam kamar!" timpal Sophie. "Ya, kalian berdua benar. Aku tidak habis pikir dengan sikapnya yang semakin liar," balas Sebastian. Sementara itu, Veronica yang sudah keluar dan berada di halaman rumahnya. Menggerutu kesal sambil mengepal kuat kedua tangannya, lalu menghela napas kasar. "Aku tidak akan membiarkan mereka mengambil perusahaanmu, Mom. Aku berjanji!" Wanita pemilik tubuh ramping dengan kakinya yang jenjang itu kembali menghela napasnya dan memakai kacamata hitamnya, hendak kembali ke mobilnya. Namun, suara dering ponsel miliknya menghentikan langkahnya. Melihat nama sahabatnya, dia segera menjawabnya. "Kau ada di mana, Vero?" tanya Elle di seberang. "Ada apa, Elle? Jika kau ingin membahas kejadian tadi malam, aku tidak ada waktu sekarang," jawab Veronica. "Oh kita akan membicarakan tentang hal itu nanti, Vero. Tapi, aku menghubungimu sekarang sebagai asistenmu, Vero. Kau harus bertemu dengan kepala perancang konstruksi di mall Vallery di lokasi kontruksi sekarang," kata Elle dengan suara khasnya yang sedikit serak. "Astaga! Aku benar-benar lupa. Baiklah, aku dalam perjalanan," balasnya sebelum mengakhiri panggilannya dan berlari kecil menuju mobilnya, lalu bergegas melajukan mobilnya menuju lokasi konstruksi. Di tempat konstruksi itu, ada Theo yang memberikan selembar cek kepada wanita paruh baya pemilik kedai truk yang bersikeras tak ingin pindah. Theo memberikan lima ratus ribu dollar kepada wanita itu. Wanita itu pun menerima cek itu dan mengatakan jika truk itu berserta isinya sudah menjadi milik Theo. Wanita paruh baya itu pun pergi meninggalkan Theo yang masih berdiri di dekat truk tersebut. "Hei, bisakah kau memindahkan ...." Kalimatnya terhenti saat mendapati wanita paruh baya itu sudah berlari menjauh darinya, membuat Theo berdecak kesal. Merasa tenggorokannya kering karena sinar matahari yang begitu terik, Theo mendekat ke lemari pendingin kecil yang ada di dalam food truck itu. "Haus sekali. Aku ingin minum," gumamnya. "Hei, apakah kau menjual air minum?" tanya seorang wanita yang suaranya terdengar tak asing bagi Theo.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD