03
Laksmi mengerutkan dahi ketika pagi itu dia melihat Zayan keluar dari kamar Ivana dengan wajah semringah. Pria bercambang itu mengedip-ngedipkan sebelah mata pada sang ibu yang menanggapi dengan gelengan pelan.
Zayan meneruskan langkah memasuki kamarnya di bagian depan rumah dan keluar beberapa menit kemudian dengan pakaian yang lebih rapi. Pria tersebut mendekati meja makan tempat sang ibu tengah mempersiapkan aneka hidangan untuk menu sarapan mereka.
Tanpa canggung Zayan langsung melingkarkan tangan di pinggang Laksmi kemudian mendaratkan kecupan di pipi kanan perempuan yang telah melahirkannya itu dengan penuh rasa sayang.
"Kayaknya lagi happy, Mas," ucap Laksmi sembari mengaduk kopi buat suaminya.
"Iya, Bu. Doain, ya, setelah ini Ivana benar-benar mau melanjutkan pernikahan kami," sahut Zayan dengan suara pelan.
Zayan menarik kursi dan mendudukkan dirinya, memandangi Laksmi dengan mata berbinar-binar yang membuat perempuan tua itu tak urung ikut tersenyum.
"Tadi malam, kami tidur bertiga, Bu. Awalnya dia menolak, tapi akhirnya mengizinkan mas buat tetap di sana," jelas Zayan.
"Curiga habis sayang-sayangan," timpal Laksmi.
"Nggak, Bu. Mas nggak berani maksa Ivana. Bisa tidur sama-sama aja udah senang." Zayan mengulaskan senyuman. "Biar aja tetap begini dulu. Pelan-pelan pendekatan. Semoga nantinya dia benar-benar luluh," sambungnya.
"Aamiin. Ibu ikut senang bila kalian bisa akur lagi. Karena itu akan bagus buat tumbuh kembang Kaivan."
Zayan mengangguk mengiakan ucapan sang ibu. Pembicaraan mereka terhenti kala Firman Hatim ke luar dari ruang kerja dan melangkah mendekat. Tak berselang lama Ivana pun ke luar dari kamarnya sambil menggendong Kaivan.
Bi Sarni segera mengambil alih bayi montok yang tengah memainkan rambut bundanya sembari mengeluarkan suara-suara lucu. Ivana menarik kursi di sebelah kanan Zayan dan duduk dengan santai. Meraih cangkir berisi teh yang diulurkan Laksmi dan tak lupa untuk mengucapkan terima kasih, sebelum menyesap minumannya.
"Hari ini kalian ada jadwal buat keluar?" tanya Laksmi. Perempuan itu memberikan piring berisi mie goreng pada suaminya.
"Nggak, Bu. Kami mau nunggu seseorang datang," jawab Zayan. "Ibu pasti senang kalau ketemu," sambungnya.
"Emang siapa yang mau datang?" Laksmi tampak penasaran.
"Dahayu," tukas Zayan. "Kemungkinan bakal datang sama ... ehm, temannya." Pria itu tidak jadi menyebutkan nama Elang. Biarlah nanti orang tuanya akan melihat sendiri siapa pendamping mantan istrinya tersebut.
"Wah, kalau gitu ibu mau nyiapin makanan kesukaan Dahayu," imbuh Laksmi. Dia tidak bisa menutupi rasa sayang dan rindunya pada mantan menantu. Lupa bila saat ini Ivana tengah berada di hadapan dan hanya mampu tersenyum getir.
Ivana menunduk dan pura-pura sibuk menghabiskan makanannya. Sedapat mungkin dia menutupi rasa tidak nyaman karena merasa posisinya di tempat itu jadi canggung. Ivana paham, sampai kapan pun dia tidak bisa menggantikan posisi Dahayu di hati Laksmi. Bahkan, secercah rasa bersalah selalu membuatnya membatin.
Kehadirannya di keluarga Hatim jadi awal kehancuran rumah tangga Zayan dan Dahayu. Meskipun selalu ada alasan pembenaran baginya, tetapi tetap saja Ivana merasa sebagai sosok perempuan perebut suami orang, hal yang sama sekali tidak pernah dipikirkannya sebelum menjadi istri Zayan.
Alasan itulah yang membuat Ivana merasa enggan untuk kembali bersama Zayan seperti dulu. Ivana kembali menguatkan hati, setelah ini dia ingin melanjutkan rencana berpisah dari Zayan.
Suara celotehan Kaivan yang tengah diasuh Bi Sarni di teras menyadarkan Ivana dari lamunan. Dia merasa yakin bahwa keputusannya sudah benar dan Kaivan akan mengerti saat besar nanti.
Ivana tidak ingin bersikap egois. Dia hanya ingin tenang dan bahagia dengan jalannya sendiri. Meskipun Kaivan nantinya harus hidup terpisah dari sang papa, tetapi Ivana yakin bila putranya itu tidak akan menyalahkannya mengambil sikap tegas seperti itu saat ini.
***
Elang memarkirkan kendaraan di pekarangan kediaman Hatim, setelah pintu pagar dibuka oleh petugas keamanan di pos depan. Meskipun sudah tahu bahwa ayahnya Zayan itu konglomerat, tetapi tetap saja Elang terkagum-kagum dengan luas dan mewahnya tempat itu.
Sementara di sebelahnya, Dahayu berulang kali menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Memasuki tempat itu kembali memunculkan kenangan lama. Terutama, masa-masa awal pernikahannya dengan Zayan, dulu.
Saat itu, Dahayu sering datang berkunjung demi berguru berbagai resep masakan kesukaan Zayan, pada Laksmi dan Layla, neneknya Zayan yang saat ini tengah tinggal di kediaman Fatmala, adiknya Firman Hatim yang tinggal di Bogor.
Suara panggilan Elang menyadarkan Dahayu dari kelebatan kenangan. Perempuan berjilbab biru itu mengulaskan senyuman tipis untuk menutupi kegugupannya.
"Sudah siap?" tanya Elang.
"I-iya, Mas," jawab Dahayu dengan terbata.
"Kalau kamu nggak yakin, kita batalkan saja berkunjungnya."
"Nggak apa-apa, Mas. InsyaAllah, aku yakin. Pengen ketemu sama Kaivan."
Elang manggut-manggut. Pria berambut tebal itu mengulurkan tangan kiri dan mengusap kepala Dahayu. Bibirnya melengkung ke atas membingkai sebuah senyuman, hal yang selalu sukses membuat Dahayu lebih tenang.
Beberapa menit kemudian mereka sudah berdiri di depan pintu besar ber-cat cokelat. Dahayu menunduk dan berdoa dalam hati agar pertemuan ini bisa berjalan lancar. Kala pintu terbuka, Dahayu spontan menyunggingkan senyuman yang dibalas dengan pelukan hangat dari Ivana.
"Mari, masuk, Mbak, Mas. Ayah udah nunggu di teras," ucap Ivana sembari mengurai pelukan dan menggandeng tangan Dahayu, mengajaknya jalan memasuki ruangan dalam.
Firman Hatim yang tengah berdiri memandangi taman, langsung beranjak mendekat dan merangkul pundak Dahayu sambil mengecup puncak kepala mantan menantunya itu dengan rasa sayang yang masih tersisa.
"Apa kabar, Yah?" tanya Dahayu sambil merunduk dan menyalami Firman dengan takzim.
"Alhamdulillah, ayah baik. Kamu sendiri gimana, Yu?" Firman balas bertanya sambil memandangi wajah perempuan yang usianya lebih muda itu dengan lekat.
"Sangat baik, Yah. Oh iya, perkenalkan ini, Mas Elang. Teman saya." Dahayu bergeser sedikit dan membiarkan Elang bersalaman dengan Firman.
"Kayak familiar, ya." Firman mengerutkan dahi, mencoba mengingat-ingat di mana dia pernah bertemu sebelumnya dengan Elang.
"Saya tetangga seberang rumah orang tuanya Ferdi," ungkap Elang. "Sekaligus partner kerjanya di perusahaan kontraktor yang kami jalankan sekarang," sambungnya.
"Ah, iya. Berarti kita pernah ketemu waktu rapat beberapa bulan lalu?"
"Tepat sekali, Pak."
Firman Hatim manggut-manggut. Dia mengajak Elang dan Dahayu untuk duduk di kursi panjang. Sementara dirinya duduk di kursi goyang di sebelah kanan teras. Ivana yang tadi tengah ke dapur, kini telah kembali sambil menggendong Kaivan, bersama dengan seorang perempuan muda yang membawa nampan berisi suguhan untuk kedua tamu.
Obrolan ringan terjalin. Firman dan Elang membahas bisnis. Sementara Dahayu dan Ivana mengobrol sambil bermain dengan Kaivan yang menatap Dahayu nyaris tak berkedip.
Zayan dan Laksmi yang baru tiba setelah berbelanja, langsung bergabung di teras. Laksmi memeluk Dahayu dengan erat.. Setitik bulir bening luruh dari sudut matanya yang mulai berkeriput. Perempuan tua itu masih merasa menyesal telah menyakiti hati Dahayu, meskipun dia tidak sadar telah melakukan hal itu.
"Senang lihat kamu makin berisi, Yu," ungkap Laksmi sembari mengurai pelukan dan menyusut sudut mata.
"Iya, Bu. Di Malang udaranya dingin, Ayu jadi ngemil mulu," sahut Dahayu. Tak bisa dipungkiri bahwa dirinya juga merindukan sosok perempuan tua tersebut. Terlepas dari segala masalah, Dahayu masih menghormati kedua orang tua Zayan sama seperti dulu, saat dirinya masih menjadi bagian dari keluarga Hatim.
"Dan sepertinya bukan Ibu aja yang senang, Kaivan juga terpesona dengan kecantikan mamanya," timpal Ivana yang membuat Dahayu terkesiap. "Mbak tetap mamanya Kaivan, seperti janji kita dulu," sambung Ivana yang dibalas anggukan oleh Dahayu.
Tiba-tiba Kaivan terkekeh. Sepertinya dia juga merasa senang melihat keakraban antara bundanya dengan Dahayu. Bayi itu kembali terkekeh ketika Dahayu menciumi pipinya dengan gemas.
-
Hadrian melangkah dengan semangat menuju ruang kerjanya. Pria bertubuh tinggi itu membalas sapaan para karyawan dengan seulas senyuman manis. Tidak menyadari bila tindakannya itu membuat banyak karyawan perempuan terpesona.
Bukan jadi rahasia lagi, ketampanan Hadrian ditunjang dengan statusnya yang masih sendiri, membuatnya jadi bahan omongan orang-orang di sekitar, terutama yang berjenis perempuan. Mereka berlomba-lomba untuk merebut perhatian Hadrian, tetapi sampai saat ini pria itu masih betah untuk menjadi bujangan.
"Pagi, Pak," sapa Indy, sekretaris baru yang menggantikan posisi Novi, yang kini telah menjadi direktur di anak perusahaan milik keluarga Hatim.
"Pagi, Nin. Bu Ivana sudah datang?" tanya Hadrian. Pria itu tidak bisa menutupi rasa bahagianya karena akan bertemu kembali dengan Ivana.
"Sudah, Pak. Sekarang beliau ada di ruangannya."
"Oke, saya ke sana. Tolong ingatkan saya kalau rapat mau dimulai." Hadrian segera melangkah menjauh dan memasuki ruangan yang tadi disebutkan oleh Indy.
Seraut wajah cantik menyambutnya dengan senyuman mengembang. Hadrian menutup pintu dan mendekati Ivana. Tanpa sanggup menahan dia langsung menarik Ivana dan mendekapnya dengan erat.
"Aku kangen," bisik Hadrian.
"Aku juga," balas Ivana sembari berusaha melepaskan diri, tetapi Hadrian malah semakin mengeratkan pelukan.
"Diam dulu, Na. Biar aku muasin diri dulu. Jarang-jarang bisa meluk kamu," pinta Hadrian.
Ivana akhirnya berhenti bergerak dan membiarkan Hadrian mengusap rambutnya dengan pelan. Ivana tidak tahu bila saat itu Hadrian menghidu aroma tubuhnya dalam-dalam dan menyimpannya di rongga da-da. Berharap setelah ini dirinya bisa lebih sering bertemu dan memeluk Ivana. Tentu saja setelah semua urusan Ivana dengan Zayan usai.
Kala Hadrian mengurai pelukan, Ivana menunduk dan tidak berani balas menatap pria tersebut. Ivana takut bila dia akan kembali menemukan binar-binar cinta di mata Hadrian. Sebab saat ini Ivana masih terikat dengan Zayan, dan tidak mau bila Hadrian terlalu dalam mencintainya.
"Na."
"Ehm?"
"Kenapa nunduk terus."
"Nggak kenapa-kenapa."
"Kalau gitu, tatap aku."
Ivana menggeleng.
"Kenapa?"
"Takut."
"Aku nggak gigit kok. Udah suntik rabies juga," seloroh Hadrian yang tak urung membuat Ivana tersenyum.
"Kamunya mandangin mulu. Aku jadi malu."
"Oke deh, ini aku udah mendongak supaya nggak mandangin kamu."
Ivana menengadah.
"Tapi bo'ong." Hadrian menyunggingkan senyuman manis yang langsung berubah menjadi meringis, karena Ivana mencubiti lengannya dengan sadis.