Tidur Bersama

1518 Words
Kaivan 02 Ballroom hotel tempat diselenggarakannya pesta pernikahan Maya dan Dani tampak sangat ramai. Para tamu yang berasal dari berbagai kalangan ikut menikmati suasana pesta yang meriah dan cukup mewah. Demikian pula dengan Dahayu, perempuan bermata bulat itu tampak sibuk hilir mudik menjadi salah satu panitia acara, bersama Westy dan Rini, serta keluarga besar Maya. Seulas senyuman tercipta di wajahnya yang cantik ketika melihat sepasang suami istri tengah berdiri di pintu masuk. Dengan langkah dipercepat Dahayu langsung menghampiri mereka dan menyentuh tangan sang perempuan. "Na," panggilnya dengan riang. Ivana menoleh dan seketika langsung merangkul perempuan yang pernah menjadi kakak madunya itu dengan erat. "Hai, Mbak. Apa kabar?" tanyanya sambil mengurai pelukan. "Kabar baik. Kalian, gimana?" Dahayu balas bertanya sambil mengangguk kecil pada Zayan yang memandanginya seraya menyunggingkan senyuman. "Baik juga. Mbak tampak manglingi." Ivana mengusap lengan Dahayu. "Dengan kata lain lebih berisi." "Hu um, dan lebih cantik." Kedua perempuan itu saling melirik, sejurus kemudian mereka tertawa bersama. Sejenak melupakan sosok pria yang pernah menjadi suami mereka, yang kini mengalihkan perhatian pada sosok Westy yang tengah jalan mendekat. "Halo, Mas Zay dan Ivana. Senang kalian bisa hadir di sini," ucap Westy sembari menyalami pasangan tersebut. "Gayaku udah mirip wedding organizer top nggak?" selorohnya. "Banget, boleh nanti aku pakai jasamu, Wes," sahut Zayan. "Asyik! Buat acara apa, Mas?" "Ulang tahun pernikahan kami." Seketika ketiga perempuan itu mematung. Ivana menunduk dan menutup mata. Dahayu yang merasakan aura ketegangan di sekitar, segera mengusap lengan Ivana dengan pelan. Sementara Westy menghela napas berat dan mengembuskannya perlahan. "Kabari saja aku kalau acaranya jadi, Mas," lirih Westy. "Pasti jadi," jawab Zayan dengan sangat yakin. Tidak peduli Ivana mendelik ke arahnya. Dahayu segera mengajak kedua tamu itu untuk mencicipi aneka hidangan yang disajikan. Kemudian dia berpamitan untuk kembali bertugas dan meninggalkan pasangan tersebut yang masih adu diam. "Apa-apaan sih, Mas. Kok ngomong gitu depan mbak?" omel Ivana. "Kenapa? Dia udah tau kok tentang kita yang nggak jadi pisah," sahut Zayan sembari meneruskan mengunyah. "Hargai perasaannya, Mas. Gimanapun juga dia sempat terluka karena kita." "Bukan karena kita, tapi karena papa yang plin-plan dan tamak. Tapi dengan dia yang tegas untuk pergi, papa jadi sadar kalau cinta kami memang sudah berakhir. Papa ngerasa jauh lebih sakit saat Bunda yang mengajukan cerai." Ivana menggeleng pelan. "Mas nggak cinta sama aku, cuma ngerasa harus bertanggung jawab karena ada Kai." "Jangan ngada-ngada, Bun! Papa yang tahu pasti tentang perasaan papa, bukan Bunda!" desis Zayan. Dia sedikit emosi karena Ivana ternyata meragukan perasaannya. Perdebatan mereka terjeda kala seorang pria jalan mendekat dan disusul oleh Dahayu. Elang mengulurkan tangan dan dijabat Zayan dengan tegas. Sementara Ivana hanya mengangguk sopan pada Elang. "Senang bertemu kembali dengan kalian," ucap Elang. "Sama-sama. Bagaimana proyekmu dan Ferdi, lancar?" Zayan balas bertanya. "Alhamdulillah, cukup lancar. Ehm, anak kalian nggak ikut?" "Nggak, Mas. Dilarang sama ibu buat bawa Kai ke tempat yang ramai," jelas Ivana. "Iya sih. Kalian di Jakarta masih lama kan? Mungkin besok kami bisa berkunjung. Aku belum lihat bayinya." "Di sini sampai batas waktu yang tidak ditentukan," jawab Zayan, tak mengindahkan tatapan tajam Ivana. "Kebetulan aku lagi banyak kerjaan di sini. Sekalian boyong anak biar dekat dengan kedua eyangnya juga," sambungnya. "Ya udah, besok kami ke tempatmu. Iya, kan, Yu?" Elang meminta persetujuan Dahayu yang terpaksa mengangguk menyetujui. Sebetulnya Dahayu belum siap untuk kembali bertemu dengan keluarga besar Hatim. Akan tetapi, dia juga tidak bisa menolak permintaan Elang. Lagipula dia memang ingin bertemu dengan Kaivan, setelah sekian lama hanya memandangi foto dan video bayi itu yang sering menjadi status aplikasi hijau milik sang mantan adik madu. Kedua pasangan itu masih melanjutkan obrolan selama beberapa waktu, sebelum akhirnya Zayan mengajak Ivana untuk menyalami kedua mempelai. Elang melambaikan tangan kala pasangan suami istri itu menjauh. Sementara Dahayu hanya memandangi keduanya tanpa berkata apa pun. "Cemburu?" tanya Elang. "Nggaklah. Udah nggak ada hak untuk cemburu," jawab Dahayu. "Atau mungkin masih marah?" Dahayu menggeleng. "Justru aku merasa lega, Mas. Keputusanku untuk berpisah dengannya adalah hal yang tepat. Mereka saling mencintai. Itu terbaca jelas dari sorot mata keduanya." "Kata Ferdi, Ivana masih belum bersedia untuk kembali melanjutkan hubungan mereka." "Mungkin dia tengah menata hati, Mas. Sulit sekali jika kita berada di posisinya." "Kamu bijaksana sekali, Yu. Dan itu yang membuatku makin jatuh hati." Dahayu menoleh dan memandangi wajah Elang yang tengah mengulaskan senyuman. "Kamu yang membuatku kayak gini, Mas. Terima kasih," ucapnya dengan tulus. *** Malam itu, seusai menidurkan Kaivan, Ivana meminta Bi Sarni untuk menunggui anaknya di kamar, sementara dia beranjak ke luar dan bergabung bersama Firman Hatim dan Laksmi yang tengah menonton televisi. Zayan yang tadinya duduk di kursi teras, akhirnya ikut masuk ke ruang tengah dan duduk di sebelah kanan Ivana. Sesekali tangannya terulur dan mengusap lutut Ivana yang tampak terganggu hingga berulang kali mendelik. Laksmi yang duduk di sebelah kiri Ivana hanya menggeleng pelan melihat tingkah laku putranya. Dalam hati dia sangat berharap kedua orang tersebut bisa kembali akur dan melanjutkan pernikahan mereka hingga maut memisahkan. Malam pun semakin larut. Firman Hatim mengajak istrinya untuk masuk ke kamar. Ivana yang hendak beranjak pun ditahan tangannya oleh Zayan sembari mengingatkan agar Ivana mau duduk kembali. "Apa, Mas? Beneran deh, aku ngantuk," ujar Ivana. "Sebentar, Bun. Kita udah lama nggak berduaan kayak gini," sahut Zayan sembari menggeser tubuhnya mendekat. "Papa kangen," bisiknya tepat di telinga kanan Ivana yang seketika merinding. Zayan melingkarkan tangannya di pinggang Ivana. Kemudian mereka berdiam diri di posisi itu selama beberapa saat. Zayan meraih jemari Ivana di pangkuan dan mengusapnya dengan lembut. "Bun, papa boleh tidur di kamar Bunda? Janji deh nggak ngapa-ngapain. Papa cuma pengen ngerasain tidur bertiga dengan kalian," pinta Zayan sambil memandangi Ivana dengan sorot mata penuh harap. "Ehm." "Tolong, Bun. Dari semenjak Kai lahir, kita belum pernah tidur bertiga kan." Ivana tampak menimbang-nimbang selama beberapa saat, sebelum akhirnya bertanya. "Terus, bibi tidur di mana?" "Bibi pindah ke kamar papa." Zayan mengulaskan senyuman lebar ketika Ivana mengangguk mengiakan permintaannya. Pria itu segera mematikan televisi dan mengajak Ivana memasuki kamar. Setelah Bi Sarni pindah ke kamar Zayan yang berada di bagian depan rumah, pria itu berbaring di tempat tidur sambil tersenyum-senyum. Ivana yang baru selesai membersihkan diri hanya bisa pasrah melihat pria itu tampak sangat bahagia berada di tempat tersebut. "Lampunya nggak dimatiin?" tanya Zayan. "Mas aja yang matiin. Aku udah malas buat berdiri," jawab Ivana sambil menguap. Zayan bangkit dan jalan ke dekat pintu. Menekan sakelar lampu, kemudian menyalakan lampu tidur di meja kecil samping tempat tidur, lalu menaiki kasur dan berbaring miring ke kiri. Menatap wajah sang putra yang sekarang lebih mirip dengannya itu seraya tersenyum lebar. Merasa sangat bahagia bisa tidur bersama, setelah selama ini mereka terpisah. Ivana yang memunggungi Zayan, berusaha menenangkan hati yang sedikit gelisah. Perempuan itu merasa bersalah karena memisahkan putranya dengan sang papa, sehingga akhirnya dia memutuskan untuk menerima permintaan Zayan malam ini. Beberapa saat hening. Ivana tersentak ketika merasakan sentuhan di rambutnya dan seketika menoleh. Tampak Zayan tengah bertumpu pada lengan kiri dan memandanginya dengan lekat. "Makasih, Bun," bisik Zayan yang dibalas anggukan Ivana. Keduanya masih saling beradu pandang selama beberapa saat, kemudian Ivana kembali berbalik dan berusaha untuk tidur. Sementara Zayan masih memandangi punggung perempuan yang masih berstatus sebagai istrinya tersebut dengan penuh kerinduan. Akan tetapi, Zayan tetap berusaha untuk menahan diri dan tidak beranjak ke tempat Ivana. Helaan napas Ivana yang teratur menandakan bahwa perempuan itu sudah tertidur. Zayan perlahan mengangkat tubuh Kaivan dan memindahkannya ke pinggir kanan. Mengatur dua guling sebagai pembatas agar putranya itu tidak menggelinding ke bawah. Zayan beringsut ke belakang Ivana. Merapikan rambut perempuan tersebut yang tergerai di bantal. Perlahan mengusap pundak dan punggung istrinya, kemudian memajukan tubuh dan merapatkan badan mereka. Memeluk Ivana dengan penuh kerinduan, dan berharap perempuannya itu tidak akan mengamuk bila terjaga nanti. Beberapa puluh menit kemudian, Kaivan merengek dan membuat Zayan terbangun. Pria itu menggendong anaknya dan dengan sigap mengecek popok. Setelah yakin anaknya tidak pup, Zayan memberikan Kaivan pada Ivana yang juga sudah terbangun. Pria itu memandangi sosok kedua orang yang dicintainya itu dengan hati yang bahagia. Merasa terharu melihat putranya menyedot hak dengan sedikit rakus dari sang bunda yang tampak terkantuk-kantuk. "Udah beres?" tanya Zayan ketika melihat Ivana menutup resleting depan gaun tidurnya. "Udah," jawab Ivana sambil merapikan pakaian Kaivan. Dia mengerutkan dahi ketika melihat Zayan mengangkat tubuh Kaivan dan memindahkannya ke tempat semula. "Mas, Kai kenapa dipindah?" tanyanya. "Biar papa bisa tidur di tengah, dan meluk Bunda." Ivana menggeleng cepat. "Cuma meluk, Bun. Nggak ngapa-ngapain." Ivana kembali menggeleng. Akan tetapi, dia tidak bisa lagi memprotes ketika Zayan memaksa menarik dan merangkulnya dengan erat. "Please, jangan menolak. Papa beneran kangen," bisik Zayan ketika menyadari bila Ivana hendak memberontak. Perempuan itu akhirnya terdiam dan mengatur napas. Merasa percuma hendak melepaskan diri, karena saat ini pelukan Zayan terasa semakin erat. Pria itu memajukan wajah dan mengecup dahi Ivana. Menggeser bibir hingga menyentuh kedua kelopak mata yang tertutup, turun ke hidung dan kedua pipi. Kecupannya berhenti di sudut bibir Ivana, yang saat itu tengah berdebar hatinya. Perlahan Zayan merunduk dan menyapukan bibir mereka. Mengisap lembut madu sang istri yang awalnya masih mengatup, tetapi perlahan membuka. Mencairkan ketegangan Ivana dengan sentuhan tangan yang lembut di sekujur tubuh. Kemudian menghentikan ciuman sambil berbisik,"I love you so much."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD