04
"Bro."
"Hmm?"
"Masih ingat sama Anggita?"
Hening. Zayan tidak menjawab pertanyaan Malik dan memilih untuk meneruskan pekerjaannya membaca berkas-berkas yang membuat kepala sedikit pusing.
"Pura-pura nggak dengar!" Malik terkekeh.
Zayan mengangkat bahu. Dia enggan untuk membalas ucapan Malik karena tahu pembicaraan ini akan berakhir dengan dirinya yang menjadi objek ledekan pria bertubuh tinggi besar tersebut.
"Zay!"
"Ehm?"
"Dia udah balik dari London, dan sekarang menetap di sini," imbuh Malik yang duduk di sofa hitam panjang.
"Terus?"
"Dia ngajak ketemuan. Geng kita aja."
"Oh."
"Ikut, ya!"
"Males."
"Kenapa?"
"Nggak kenapa-kenapa."
"Takut celebek?"
Sudut bibir Zayan terangkat membentuk sebuah senyuman, tidak menyadari bila hal itu tertangkap sudut mata Malik yang seketika terbahak. Zayan yang semula menahan diri, tak urung akhirnya ikut tertawa.
Ingatan Zayan melayang pada sesosok perempuan bertubuh cukup tinggi, yang pernah menjadi pelabuhan hatinya dulu, di masa-masa mereka masih mengenakan seragam putih abu-abu.
Kala itu, Zayan, Malik, Anggita dan beberapa orang lainnya tergabung dalam suatu kelompok yang merupakan perwakilan dari pihak sekolah, untuk mengikuti pentas seni. Kedekatan mereka selama beberapa bulan menciptakan debar-debar tersendiri di hati Zayan. Gayung bersambut, Anggita pun menerima permintaan Zayan untuk menjadi kekasih.
Kisah kasih mereka berlangsung selama hampir dua tahun. Sebelum akhirnya kandas karena terpisah jarak dan waktu. Anggita memutuskan untuk kuliah di Inggris, sementara Zayan tetap di Indonesia.
Bukannya Zayan tidak mampu untuk melanjutkan kuliah ke luar negeri seperti halnya anak-anak orang berada lainnya. Akan tetapi, almarhum kakeknya Zayan melarang cucu kesayangannya itu hidup jauh di negeri seberang.
Zayan dididik sebagai anak yang penurut. Di mata keluarga, sosok Zayan adalah anak baik-baik. Rahasia terbesar Zayan hanya diketahui oleh Malik. Persahabatan mereka sejak lama membuat keduanya sangat dekat.
Bak pinang dibelah kampak. Meskipun berbeda tampilan, tetapi kelakuan Malik dan Zayan itu hampir sama. Namun, nasib baik berpihak pada Malik. Kisah cintanya berlangsung mulus hingga kini. Sangat berbeda dengan Zayan.
Suara ketukan di pintu yang diiringi dengan munculnya Indah, membuat tawa Zayan dan Malik seketika hilang. Terutama karena melihat setumpuk dokumen yang dibawa Indah, dan diletakkan di atas meja kerja Zayan.
"Kamu mau bikin saya kena serangan jantung, Ndah?" tanya Zayan sembari menatap nanar pada tumpukan tersebut.
"Bapak kan udah lama nggak ngantor di sini. Jadi, semua dokumen ini terbengkalai dan minta segera diselesaikan," jawab Indah seraya mengulaskan senyuman tipis.
"Ini udah mau jam makan siang." Zayan mengetuk-ngetuk arloji mewah yang melingkari tangan kanannya, yang menunjukkan bahwa sebentar lagi pukul 12 akan menjelang.
"Bapak masih bisa ngerjain semua sambil makan."
"Yang bos di sini itu saya atau kamu?'
"Bapak bos-nya."
"Tapi kok galakan kamu?"
Indah mengangkat bahu, kemudian jalan mundur sembari berkata," Jadi sekretaris Bapak itu harus tegas dan cerewet. Kalau terlalu manut, bisa-bisa keinjek." Indah menatap Zayan dengan raut wajah datar. "Saya pesenin makan siang, ya. Bapak mau apa?"
"Yang cepat aja," jawab Zayan sambil memijat pangkal hidung.
"Saya juga, Ndah," timpal Malik.
Indah mengangguk dan segera menutup pintu. Meninggalkan bos-nya yang menelungkup di atas meja, seakan-akan tengah memikul beban dunia di pundak. Sementara Malik terbahak di sofa, merasa senang melihat bos-nya menderita.
***
Ivana bergegas naik ke ruang kerja milik Nia yang berada di lantai dua restoran. Setelah mencuci tangan di wastafel, perempuan berambut panjang itu mengeluarkan perlengkapan untuk membantunya mengeluarkan kesukaan Kaivan. Apalagi kalau bukan ASI.
Ivana mengatur posisi di sofa panjang dan menyalakan alat tersebut. Menutup mata dan menikmati istirahat singkatnya selama beberapa menit ke depan. Ivana sengaja mengabaikan dentingan notifikasi ponsel, karena saat ini dia benar-benar butuh ketenangan.
"Na, udah selesai?" Suara panggilan Nia terdengar dari balik pintu.
"Iya, masuk aja, Nia," jawab Ivana yang tengah merapikan peralatan dan memasukkannya kembali ke tas khusus.
Pintu terbuka dan sosok Nia muncul seraya mengembangkan senyuman. Rambut Nia yang sudah panjang tampak sangat berkilau. Selama beberapa bulan terakhir, Nia yang terpaksa meneruskan posisi Ivana di restoran, semakin rajin untuk memanjakan diri di salon.
Hal ini dilakukannya untuk membunuh waktu. Tidak adanya sosok Ivana, kesibukan Hadrian dan Afnan, sang kekasih yang kini menjadi asisten pribadi Hadrian, membuat Nia sering merasa kesepian.
Kedatangan Ivana saat ini membuat hati Nia sangat bahagia. Ditambah lagi karena nanti sore sepulang kerja, dia akan ikut Ivana dan bertemu dengan Kaivan, keponakan tersayang.
"Ian udah pulang?" tanya Ivana kala Nia sudah duduk di kursi tunggal.
"Udah, kamu naik tadi dia langsung pamit balik ke kantor." Nia mengecek layar laptop yang menampilkan berbagai data keuangan restoran tersebut dan beberapa restoran lain yang menjadi tanggung jawabnya.
"Bentar lagi aku mau minta pak Eko buat jemput ke sini."
"Oke, tapi sebelumnya kamu cek dulu laporan bulan ini."
"Nia, please deh. Bisa nggak kalau sekarang itu jangan ngebahas kerjaan? Kepalaku langsung berdenyut dari tadi melototin layar laptop dan berkas-berkas." Ivana menggeleng pelan. Masih belum bisa menyesuaikan diri dengan ritme kerjanya yang dulu, saat dirinya tengah mengandung Kaivan.
Nia cekikikan sambil manggut-manggut. "Iya deh, Bu bos," selorohnya. Nia memandangi Ivana yang saat ini tengah memandangi jendela yang terbuka. "Kamu lagi mikirin apa?" tanyanya. Benar-benar penasaran.
"Nggak mikir apa-apa," sahut Ivana.
"Bohong. Aku tuh kenal kamu dari kita masih unyu-unyu. Seperti halnya Ian, kita bertiga nggak bisa ngumpetin apa pun." Nia tampak berpikir sesaat, sebelum kembali berucap, "Tapi aku kecolongan, benar-benar nggak ngeh kalau dari dulu Ian jatuh cinta sama kamu. Dia pintar banget nutupinnya."
"Jangankan kamu, aku aja nggak ngeh."
Nia berdiri dan jalan mendekati sahabatnya tersebut. Mengusap punggung tangan Ivana sembari berujar," Dan sampai sekarang cintanya belum luntur."
"Itu yang bikin aku nggak enak hati, terutama kalau dia datang berkunjung ke rumah ayah. Terus sebelum pulang pasti pelotot-pelototan dengan mas Zayan."
Nia terkekeh geli dan tak urung membuat Ivana juga terdorong untuk melakukan hal yang sama.
"Aku pernah beberapa kali lihat gaya pelototan mereka. Sumpah, lucu banget!" Tawa Nia mengencang, sampai-sampai Ivana harus menutupi mulut sahabatnya itu dengan tangan.
"Kamu ketawanya mengerikan," keluh Ivana sambil menarik tangannya menjauh. "Kayak orang kesambet," lanjutnya.
Nia menuntaskan tawa kemudian menatap Ivana dengan lekat. "Kamu cintanya sama siapa, Na? Aku serius loh nanya ini."
Ivana mengangkat bahu. Dia sendiri merasa tidak yakin dengan perasaannya. Kadang hatinya berdebar bila berada di dekat Zayan. Akan tetapi, di sisi lain dia menyukai perhatian Hadrian yang sangat menyentuh dan tampak tulus.
"Pastikan dulu perasaanmu, Na. Habis itu baru ambil tindakan yang menurutmu sangat tepat."
Ivana mengangguk mengiakan.
"Aku akan lebih senang bila melihatmu bahagia, Na. Nggak kayak sekarang. Bibirmu tersenyum, tapi sorot matamu memperlihatkan kesedihan." Nia menepuk-nepuk pundak Ivana sesaat, kemudian berdiri dan kembali ke kursi kebesarannya.
Ivana menyandarkan tubuh ke pinggir sofa. Memikirkan baik-baik ucapan Nia yang memang sangat mengenali dirinya, sejak dulu.
***
Satu jam kemudian, kedua perempuan tersebut sudah berada di dalam mobil yang dikemudikan oleh Eko. Ivana meminta pada pria dewasa itu untuk mengarahkan kendaraan menuju pusat perbelanjaan terdekat.
Setibanya di sana, Ivana dan Nia turun. Jalan sambil bergandengan menuju bagian super market di lantai bawah pusat perbelanjaan tersebut.
Nia mendorong troli dan Ivana memasukkan barang-barang sesuai daftar belanjanya. Mereka menyusuri lorong-lorong sambil sesekali mengobrol. Sama sekali tidak menyadari bila sepasang mata sipit beriris hitam tengah memperhatikan gerak gerik mereka.
"Hai," sapa seseorang dari arah kiri. Ivana dan Nia yang tengah berjongkok sontak menengadah dan sedikit terkejut melihat sosok di hadapan.
"Hai! Apa kabar?" tanya Nia yang langsung beradu pipi dengan perempuan yang mengenakan setelan casual tersebut.
"Baik, Mbak Nia dan Mbak Ivana, gimana kabarnya?" balas perempuan itu seraya menyunggingkan senyuman.
"Baik juga. Lama kita nggak ketemu, ya," timpal Ivana.
"Oh ya, selamat atas kelahiran putranya, Mbak. Maaf, aku belum sempat ngejenguk."
"Nggak apa-apa, Di. Kapan-kapan bisa ketemu dengan Kaivan."
"Namanya Kaivan?"
Ivana mengangguk.
"Artinya apa?"
"Tampan."
"Wow, nama yang bagus. Pasti tampan kayak papanya, ya. Atau kayak omnya?"
"Om? Siapa maksudnya, Di? Adikku, ya?" tanya Ivana dengan bingung.
"Bukan, Mbak. Maksudku ... mas Hadrian." Diandra mengulum senyum, tak mampu menutupi bila pipinya menghangat saat ini.
"Oh, Ian. Nggaklah, Kaivan lebih mirip ke papanya," jelas Ivana. "Bahkan aku curiga nanti gedenya juga bakal berewokan," sambungnya.
Ketiga perempuan itu saling melirik, kemudian mereka tertawa bersamaan dan memancing pandangan keingintahuan pengunjung tempat tersebut.
"Kamu sekarang tinggal di mana, Di?" tanya Nia seusai tertawa.
"Aku kembali ke rumah papa. Capek juga kabur-kaburan mulu. Lagipula sekarang sikap papa udah berubah. Nggak lagi otoriter kayak dulu," ungkap Diandra. "Kapan-kapan main ke tempatku, ya. Kita ngegosip lagi. Bawa Kaivan juga, aku pengen ketemu," sambungnya.
"Tunggu aku kembali berkunjung ke sini, ya," sahut Ivana.
"Berkunjung?" Diandra mengerutkan dahi. "Emangnya Mbak tinggal di mana sekarang?"
"Di Bandung. Ke sini baru beberapa hari. Tapi Jum'at nanti bakal balik lagi ke sana."
"Oh gitu. Minta nomor hapenya dong. Ponselku yang dulu rusak, nomor kalian hilang semua." Diandra mengeluarkan ponsel model terbaru dengan logo apel tergigit sedikit dan memberikannya pada Ivana.
Perempuan yang lebih dewasa itu sempat tertegun sejenak, kala melihat wallpaper ponsel gadis tersebut yang menampilkan foto Hadrian.