Cinta Seutuhnya

1520 Words
01 Sesosok pria turun dari mobil hitam mewah dan langsung masuk ke pekarangan rumah keluarga Harimurti. Seulas senyuman tercipta di wajahnya yang tampan ketika mendengar suara perempuan yang dirindukan dari balik pintu. Kala benda berat itu terbuka, senyuman pria tersebut berubah ketika Ivana memberikan sang bayi yang tengah menangis langsung ke gendongannya. "Kenapa, Sayang? Kok ngamuk-ngamuk sampai mukanya merah gini?" tanya Zayan sambil jalan memasuki ruangan dan duduk di ujung kanan sofa. Sementara Ivana duduk di sofa seberang sambil mengusap peluh di dahi. Sepasang mata beriris cokelat itu memperhatikan bagaimana interaksi antara Zayan dan Kaivan, yang perlahan tangisnya mereda. Zayan kembali tersenyum saat menyadari putranya yang sekarang berusia tiga bulan itu akhirnya tertidur dalam dekapan. Dia mengalihkan pandangan pada perempuan di hadapan yang tengah menguap. "Bunda ngantuk? Tidur aja, pangeran biar papa yang jaga," ucapnya sambil terus mengayun sang bayi. "Yakin?" tanya Ivana sembari memicingkan mata. "Hu um, tapi Kai papa bawa ke rumah, boleh?" Ivana tampak berpikir sesaat sebelum akhirnya mengangguk menyetujui permintaan Zayan. Kala pria itu berdiri dan jalan ke luar, Ivana memperhatikan hingga sosok pria tersebut menghilang di balik pintu rumah seberang. Semenjak kelahiran Kaivan, Zayan memutuskan untuk pindah ke Bandung sekaligus memindahkan kantor pusat ke kota kembang tersebut. Hal ini dilakukannya agar bisa ikut merawat sang buah hati setiap hari. Sesuai dengan janjinya dulu. Zayan langsung membeli rumah di seberang kediaman Harimurti ketika pemiliknya menyebutkan akan pindah ke luar kota. Tanpa menawar harga sedikit pun, Zayan langsung menempati rumah tersebut yang sebenarnya tidak terlalu besar. Bi Sarni dan Pak Dirman, serta Eko pun ikut diboyong ke rumah baru. Ivana menutup pintu dan jalan menuju kamarnya. Kelelahan yang mendera membuatnya langsung tertidur pulas, hingga terbangun dua jam kemudian setelah mendengar suara pintu diketuk dari luar ruangan, dan Alisha masuk sambil menggendong Kaivan yang tengah merengek. "Na, teteh boleh tanya sesuatu?" ujar Alisha beberapa saat kemudian. "Boleh, mau nanya apa, Teh?" balas Ivana sambil merapikan rambut anaknya yang tengah mendapatkan haknya. "Kamu dan mas, kenapa nggak rujuk aja?" Ivana menggeleng pelan. Dia sudah hendak menjawab pernyataan Alisha ketika tetehnya itu kembali berujar,"Jangan egois, Na. Pikirkan tentang Kai. Dia sangat butuh kekompakan dan kasih sayang kalian, seutuhnya." Ivana menunduk sambil menggigit bibir bawah. Sebetulnya dia sendiri juga bingung hendak bertindak apa. Di satu sisi dia masih mencintai Zayan. Namun, di sisi lain dia takut pria itu akan menyakiti hatinya lagi seperti dulu. "Teteh tau kalau kalian juga masih saling mencintai. Kamu dan dia sama-sama sering tertangkap basah saling melirik," ungkap Alisha seraya tersenyum lebar. "Bumil ini daya khayalnya tinggi banget," sahut Ivana. "Teteh serius loh, Na. Dan jangan salahkan ke-kepoan bumil ini. Habisnya kalian kayak ABG. Pura-pura nggak butuh padahal masih cinta." Tawa Alisha mengeras hingga sedikit mengagetkan Kaivan. Akan tetapi, bayi yang struktur tulangnya sama dengan sang papa itu akhirnya kembali sibuk menyusu, dan melupakan tawa sang tante yang masih terdengar. "Kayaknya udah kenyang. Bisa tolong dipukpuk dulu, Teh? Aku mau mandi," ujar Ivana beberapa saat kemudian. Alisha mengambil Kaivan dan menggendongnya dengan cekatan. Mengayun sang keponakan sambil melangkah ke luar kamar. Perempuan yang kini tengah hamil dua bulan itu sangat menyayangi keponakannya tersebut dan menganggap Kaivan sebagai pembawa keberuntungan baginya. Tidak seperti Ivana yang dalam hitungan bulan sudah bisa mengandung, Alisha membutuhkan waktu lebih lama untuk merasakan kehamilan. Akan tetapi, hadirnya Kaivan membuat Alisha bisa turut merasakan menjadi seorang ibu dan ternyata saat Kaivan berusia satu bulan Alisha pun hamil. "Loh, bundanya mana?" tanya Bu Haifa ketika Alisha membawa Kaivan ke ruang tengah. "Lagi mandi," jawab Alisha singkat. Dia baru hendak duduk ketika melihat sosok Zayan muncul dari ruang tamu dan kini tampak berdiri dengan canggung di pintu pembatas ruangan. Semenjak ada Kaivan, Zayan bebas keluar masuk rumah tersebut. Akan tetapi, bila bertemu dengan ibu atau ayah mertuanya, Zayan tetap merasa rikuh dan malu. "Mau ngambil Kaivan?" tanya Alisha. "Bukan, mau ... ketemu Ivana. Ada yang perlu diomongin," jawab Zayan. "Masuk aja." Bu Haifa memberi kode dengan dagu agar Zayan bergerak memasuki kamar tidur Ivana. Alisha yang sepertinya tahu tentang siasat ibunya, menggigit bibir bawah untuk menahan tawa. Dia sangat antusias untuk melihat kejadian selanjutnya ketika Zayan melangkah memasuki kamar tersebut dan tidak lupa menutup pintu. "Sebentar lagi bakal ada yang ngejerit," ujar Alisha. "Biarin aja. Dua orang itu geraknya lambat sekali!" sungut Bu Haifa. "Ibu, kenapa sekarang jadi mendukung mas Zayan?" Bu Haifa mengusap rambut lebat sang cucu, kemudian berkata,"Ibu hanya ingin Kaivan merasakan cinta yang utuh dari orang tuanya. Lagipula sepertinya mereka masih saling mencintai. Na juga tidak meneruskan gugatan ke pengadilan. Jadi apa salahnya jika kita mendorong mereka untuk bersama lagi?" Belum sempat Alisha menjawab ucapan sang ibu, suara pekikan Ivana terdengar dari kamar diiringi dengan keluarnya Zayan dengan wajah memerah. Tawa yang sejak tadi ditahan Alisha akhirnya menyembur juga. Demikian pula dengan sang ibu. *** Hari terus berganti. Kaivan kecil semakin membesar dan semakin sering merengek bila Zayan berpamitan untuk pulang ke rumah seberang. Seperti hari ini, laki-laki kecil itu mencengkeram erat lengan kaus papanya kala Zayan mengatakan akan pergi. Mata Kaivan yang serupa dengan sang papa itu tampak sudah siap menumpahkan air mata ketika Zayan berusaha melepaskan diri. Ivana segera mengambil alih anaknya dan membawa masuk Kaivan ke ruang tamu. Suara tangisan Kaivan membuat langkah Zayan terhenti di depan garasi. Pria itu memejamkan mata dan menguatkan diri untuk tidak berbalik dan kembali masuk. Batinnya berkecamuk, benar-benar merasa sedih mendengar tangisan putranya tersebut. Ivana memujuk putranya dengan mengayun pelan. Lambat laun tangisan itu berhenti dan suasana kembali tenang. Ivana mengintip dari balik gorden, dan tertegun kala beradu pandang dengan sepasang mata beriris hitam milik Zayan yang ternyata belum beranjak dari tempatnya. "Pikirkan sekali lagi, Na. Jangan lupa, semakin besar anakmu maka dia akan butuh semakin dekat dengan papanya," ucap Harja Harimurti yang berdiri di sebelah kanan sang putri. "Suamimu sudah mencoba membuktikan diri selama beberapa bulan terakhir, bahwa dia bersungguh-sungguh untuk memperbaiki keadaan. Dia juga tetap berjuang untuk mendapatkan cintamu, bahkan sampai rela pindah ke sini demi tetap bisa bersama kalian." "Ayah memang pernah kecewa padanya, tapi sekarang ayah sadar bahwa itulah kelemahan yang saat ini tengah berusaha diperbaikinya. Bila sudah begitu, ayah rasa dia patut diberi kesempatan sekali lagi, Na." Ivana memandangi wajah sang ayah yang membalasnya dengan senyuman mengembang. Perempuan berambut panjang itu menyadari bahwa semua perkataan ayahnya adalah benar. Namun, sebagai manusia biasa masih ada setitik keraguan dalam hatinya. Terutama karena dia masih belum meyakini akan cinta Zayan. *** Mobil yang dikemudikan oleh Eko melaju dengan kecepatan sedang meninggalkan pekarangan rumah keluarga Harimurti. Zayan yang duduk di sebelah Eko, tampak mengobrol dengan Kaivan dengan bahasa planet yang hanya mereka berdua yang paham artinya. Sementara di kursi belakang, Ivana tengah memejamkan mata sambil menyandarkan kepala ke belakang. Di sebelahnya Bi Sarni tengah khusyuk menonton tayangan sinetron di ponselnya. Perjalanan menuju Jakarta ini adalah kali pertama dilakukan oleh Ivana setelah kepindahannya beberapa bulan silam. Mereka hendak menghadiri acara pernikahan Maya, sekaligus mengunjungi orang tua Zayan. Setibanya di kediaman Hatim, kedua pasangan tua itu menyambut kedatangan anak dan cucu mereka dengan pelukan hangat. Demikian pula dengan Berliana dan Ferdi, tampak sangat antusias untuk mengenalkan Revalina, putri mereka dengan Kaivan. "Ibu sangat senang kalian bisa datang ke sini. Apalagi bila kembali menetap di Jakarta, Na," ucap Laksmi sambil mengusap punggung tangan Ivana. Kedua perempuan beda generasi itu tengah duduk-duduk di kursi teras samping rumah bersama dengan Berliana dan Firman Hatim. Sementara Zayan dan Ferdi tengah mengobrol di pinggir kolam renang sambil mengasuh anak masing-masing. "Maaf, Bu. Untuk saat ini Na lebih suka tinggal di Bandung. Lagipula ... hubungan kami juga masih menggantung," jawab Ivana dengan suara pelan. "Ayah tahu, putra ayah sudah melukai perasaanmu dulu. Tapi dia sudah berusaha untuk menebusnya, Na," timpal Firman Hatim sembari menatap wajah menantunya itu dengan tatapan sendu. "Ayah sangat berharap agar kalian bisa memikirkan lagi hal ini masak-masak. Terutama karena sekarang sudah ada Kaivan," lanjut pria tua tersebut sembari mengalihkan pandangan ke kolam renang. "Ibu sangat paham dengan kebimbanganmu saat ini, Na. Mungkin usaha mas masih belum cukup untuk bisa meyakinkanmu. Tapi, ibu harap kamu bisa lebih tenang dan melihatnya dari sudut pandang yang berbeda. Contohnya, bagaimana sikapnya pada Kaivan," sela Laksmi. "Kamu adalah seorang ibu sekarang, Na. Pasti tahu mana orang yang beneran sayang dengan anakmu, dan mana yang sayangnya cuma sebatas mulut," lanjutnya seraya tersenyum tipis. Ivana manggut-manggut. Dia paham dengan maksud ucapan kedua mertuanya tersebut. Setiap orang tua pasti menginginkan rumah tangga anaknya akan bertahan hingga akhir hayat. Aman, damai dan sentosa. Satu jam kemudian, Zayan membawa Kaivan yang sudah terlelap memasuki kamar yang ditempati Ivana. Perempuan itu hendak bangkit dan duduk, tetapi Zayan memberi isyarat dengan tangan agar Ivana tetap berbaring. "Bun, tadi ngobrol apa dengan ayah dan ibu? Kayaknya serius banget," tanya Zayan sambil duduk di pinggir tempat tidur dan mengusap punggung putranya dengan pelan. "Nggak ada yang serius," jawab Ivana. "Mereka ... meminta aku buat kembali tinggal di sini, agar bisa lebih sering ketemu Kaivan," sambungnya. "Bunda bersedia?" "Nggak, aku ngerasa lebih nyaman tinggal di Bandung." "Kalau begitu, berarti papa jadi mau renovasi rumah." "Gimana maksudnya? Aku nggak paham." "Karena Bunda ingin tinggal di sana, rumah kita akan papa renovasi agar lebih luas. Persiapan bila nanti kita ... akan tinggal bersama lagi."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD