05
Hadrian menutup sambungan telepon dengan ibunya. Sudut bibirnya terangkat membingkai bulan separuh. Sudah terbayang keseruan yang akan terjadi di hari pernikahan sepupunya, yang akan dilangsungkan akhir pekan nanti.
Pria berkulit kuning langsat itu sudah lama tidak bertemu dengan keluarga besarnya. Bila pulang ke Bandung, dia hanya menghabiskan waktu bersama keluarga atau berkunjung ke rumah orang tua Ivana.
Mengingat sosok perempuan itu membuat Hadrian kembali merindukannya. Padahal mereka baru saja bertemu tadi pagi hingga siang hari. Kemudian Hadrian harus kembali ke kantor dan melanjutkan pekerjaannya.
Setiap saat yang dilewatinya bersama Ivana sangat disyukuri. Meskipun Ivana masih menutupi, tetapi Hadrian yakin bahwa perempuan itu juga menyayanginya. Dia hanya harus bersabar sedikit lebih lama, sampai Ivana benar-benar berpisah dengan Zayan.
Mengingat sosok pria berewokan itu tanpa sadar membuat Hadrian mengeraskan rahang dan mengepalkan tangan. Dia benar-benar menyesal pernah membantu pria itu agar kembali bersatu dengan Ivana. Namun, Zayan kembali berulah dan membuat hati Ivana terluka.
Hadrian bertekad untuk tidak mengalah lagi kali ini. Dia akan berjuang sekuat tenaga untuk mendapatkan cinta Ivana sekaligus menjadi ayah sambung Kaivan, bayi tampan yang telah mencuri sebagian hatinya, bersanding dengan sang bunda.
Denting notifikasi grup khusus dirinya bersama Nia dan Ivana mengalihkan perhatian Hadrian. Dia menegakkan tubuh dan membulatkan mata ketika melihat beberapa foto yang diunggah oleh Nia.
Hadrian : "Kok bisa ketemu dia?"
Nia : "Bisalah, Jakarta kan kecil."
Ivana : "Kamu bakal senang lihat wallpaper hapenya, Ian."
Hadrian : "Kenapa?"
Ivana : "Fotomu." (Emotikon tertawa.)
Nia : "Fans berat euy!" (stiker tertawa lebar)
Hadrian menepuk-nepuk dahi. Merasa gemas karena saat ini kedua perempuan itu pasti tengah mentertawakan dirinya. Hadrian tidak habis pikir, kenapa Diandra masih belum bisa menerima bahwa dia tidak akan bisa mengubah hati untuk mencintainya.
Seperti halnya beberapa orang yang tahu bila dia mencintai Ivana, mereka pun tidak mengerti kenapa Hadrian tidak bisa melupakan cintanya pada perempuan tersebut.
***
Pagi menjelang dengan kehangatan sempurna. Seakan-akan tengah bergembira mengikuti bibir Hadrian yang sedang bersenandung lagu cinta sambil memetik gitar akustik.
Duduk bersandar di sofa dengan kaki kiri ditumpangkan di lutut kanan. Kepala terangguk-angguk mengikuti irama lagu syahdu, penawar bisik rindu pada sang pujaan.
Kala menyadari bila waktu merambat naik, pria beralis tebal itu bergegas meletakkan gitar secara asal, mengambil dasi dari atas meja dan memakainya. Meraih jas yang tadi diletakkan di sandaran sofa. Menyambar tas kerja dari meja pantry. Menarik kunci dari gantungan dan segera membuka pintu.
Langkah Hadrian terhenti ketika melihat sosok yang sangat dihindari selama beberapa bulan ini, ternyata telah berdiri di hadapan dengan senyuman mengembang.
"Pagi, Mas," sapa Diandra dengan suara hangat.
"Pagi. Ada perlu?" tanya Hadrian tanpa basa basi.
"Mau ngajak Mas sarapan bareng." Diandra mengangkat paper bag di tangannya dan kembali mengulaskan senyuman.
"Aku udah sarapan, Di. Kamu habiskan aja sendiri." Hadrian maju satu langkah dan segera menutup serta mengunci pintu kembali. Gerakannya terhambat ketika lengannya dipegangi Diandra yang menatapnya dengan sepasang mata berkaca-kaca.
"Dikit aja, Mas. Ini aku yang masak sendiri," rengek Diandra. "Aku nggak ngasih racun kok, suer." Gadis itu membentuk huruf V dengan jari telunjuk dan jari tengah.
Hadrian mendengkus. Mengecek pergelangan tangan yang dihiasi arloji mewah pemberian Ferdi beberapa bulan silam, memastikan waktu sebelum akhirnya mengangguk mengiakan permintaan Diandra yang seketika melebarkan senyuman dan bertepuk tangan tiga kali.
Hadrian menaikkan alis menyaksikan tingkah gadis itu, kemudian memberikan kode dengan jari telunjuk agar Diandra mengikuti langkahnya memasuki lift. Kala benda besi itu bergerak turun, Diandra memandangi Hadrian dengan tatapan memuja.
"Ayo," ajak Hadrian ketika pintu lift terbuka.
Diandra berusaha menyejajarkan langkah dengan Hadrian, tetapi tetap saja dia tertinggal dan harus berjalan cepat agar bisa bersisian dengan pria tersebut.
Keluar dari pintu lobby, Hadrian berbelok ke kanan dan akhirnya berhenti di taman samping gedung. Menduduki bangku panjang besi yang dicat warna-warni dan meletakkan tas kerja di sampingnya.
"Mana punyamu?" tanya Hadrian saat menyadari bila Diandra hanya mengeluarkan satu tempat makanan dari paper bag.
"Ini buat kita berdua," jawab Diandra malu-malu.
"Yakin mau berbagi makanan denganku dalam satu tempat?"
Diandra mengangguk.
"Kalau aku menderita penyakit menular, nggak takut ketularan?"
Diandra membulatkan mata, kemudian menggeleng cepat ketika menyadari bila dirinya tengah dicandai Hadrian. Namun, ketika melihat pria itu mencicipi makanannya dan mengacungkan jempol sebagai pujian, Diandra tak jadi merajuk, malah terus memerhatikan Hadrian yang melanjutkan mengunyah.
"Kamu mau apa nggak sih?"
"Ehh, iya. Suapin dong." Diandra memberikan sendok miliknya yang dipandangi Hadrian dengan alis menukik. "Hari ini ulang tahunku, Mas. Bahagiain aku sekali-kali, mau kan?" pintanya.
Hadrian akhirnya mengalah. Meletakkan sendoknya dan menyuapi Diandra dengan sendok lain. Pria itu tertegun ketika melihat pipi Diandra bersemu merah muda. Merasa sedikit bersalah karena tidak bisa membalas perasaan gadis itu dengan rasa yang sama.
Sepuluh menit kemudian, Diandra melambaikan tangan mengantar kepergian Hadrian. Setelah mobil milik pria itu menjauh, Diandra segera jalan menuju kendaraannya sendiri yang terparkir di tempat yang tidak terlalu jauh.
Perasaan bahagia yang membuncah terbawa hingga ke tempatnya bekerja. Beberapa karyawan yang tengah memeriksa stok barang, saling beradu pandang ketika Diandra melewati mereka dengan senyuman lebar yang menghiasi wajahnya.
Akan tetapi, senyuman gadis itu memudar kala memasuki ruangan kerjanya di lantai dua rumah toko tersebut. Sesosok pria yang pernah menjadi bagian hidupnya dulu, tengah berdiri di dekat jendela.
"Halo, apa kabar, Di?" tanya pria berparas khas pria keturunan Eropa itu sambil jalan mendekat.
"Baik," jawab Diandra singkat. Perempuan itu enggan untuk meneruskan pembicaraan dan memilih untuk menuju meja kerjanya dan duduk di kursi favorit.
"Happy birthday." Pria itu meletakkan sebuah kotak kecil berbahan beludru merah di atas meja.
"Thank's. Ehm, ini apa, Kak?"
"Speciaal cadeau voor geliefd meisje."
***
Pintu kamar terbuka dan sosok Zayan masuk sambil menggendong Kaivan yang terlelap. Dengan hati-hati dia meletakkan sang putra ke tempat tidur. Duduk di pinggir kanan sambil mengusap rambut Kaivan yang lebat.
Zayan menoleh ke kiri dan tertegun kala melihat penampilan Ivana yang tampak sangat segar dan cantik pagi ini. Mengenakan blus kuning berbahan halus dengan corak bunga-bunga, rok hitam sebatas mata kaki dengan belahan di bagian kanan, rambut dihiasi sirkam di bagian kiri dan wajah dipoles tidak terlalu tebal.
Dalam hati Zayan memuji penampilan istrinya yang masih membuatnya terpesona, sekaligus sudut hati tercubit kala menyadari bahwa hubungan mereka masih jauh dari kata harmonis.
Ivana memang tidak memusuhinya, tetapi kedekatan mereka yang bisa dihitung dengan jari, membuat Zayan tidak terlalu optimis bila rumah tangganya bersama Ivana bisa kembali utuh.
Zayan menghela napas berat tanpa sadar. Benar-benar merindukan bisa memeluk dan mencumbu Ivana. Hal yang tidak pernah lagi bisa dilakukan sejak Ivana memergoki dirinya bersama Dahayu di rumah sakit dulu.
Pria bermata sendu itu menggeleng pelan. Merutuki diri yang begitu gegabah. Terpancing rasa sayang yang dulu dianggapnya sebagai cinta, tetapi akhirnya harus kehilangan cinta yang sesungguhnya.
"Mas." Ivana menggerak-gerakkan tangan di depan Zayan yang seketika terkesiap. Sudut bibir pria itu terangkat membentuk senyuman, merasa malu tertangkap basah sedang melamun.
"Ya, Bun?" tanya Zayan sepersekian detik kemudian.
"Aku nanti siang mau ke butiknya mbak," jawab Ivana sambil duduk di sebelah Zayan dan ikut mengusap paha sang putra.
"Ngapain?"
"Mau nganter Nia, konsultasi dengan mbak Westy."
Zayan mengerutkan alis.
"Bulan depan Nia mau acara lamaran. Ini mau membahas konsep resepsi dulu, karena prepare semuanya harus dari jauh-jauh hari kan," jelas Ivana.
"Oh, gitu. Ehm, nikahnya di hotel kita aja. Nanti minta manajer di sana yang urus."
"Udah kusaranin begitu."
"Bilang aja, khusus buat dia dan Afnan, free charge."
"Beneran?" Ivana membulatkan mata.
Zayan mengangguk sambil mengedipkan mata satu kali. Tiba-tiba Ivana menghambur memeluk sambil mengucapkan terima kasih.
Sesaat waktu seakan-akan berhenti. Ivana yang akhirnya sadar segera mengurai pelukan, tetapi Zayan memegangi pundak sang istri dan menahannya agar tidak menjauh.
Tangan kanan Zayan terulur menyentuh rambut dan turun ke wajah Ivana yang masih terpaku di tempatnya. Kedua pasang mata itu saling beradu pandang. Berjuta rasa dalam hati berebutan keluar agar terbaca oleh pasangan.
"Bun," lirih Zayan.
"Ya," jawab Ivana tak kalah pelannya.
"Kangen."
Zayan memajukan wajah dan menyentuhkan hidung ke pipi kiri Ivana yang seketika menahan napas. Zayan memejamkan mata dan membenamkan wajah ke rambut yang harumnya masih terkenang.
Ivana benar-benar bingung hendak berbuat apa. Di satu sisi dia ingin menjauhkan diri, tetapi di sisi lain dia juga merindukan sentuhan pria yang masih sah sebagai suami.
Pergumulan batin juga dirasakan oleh Zayan. Dia betul-betul tak kuasa untuk merengkuh Ivana lebih erat dan menyesap madunya. Hasrat primitif mulai meningkat. Deru napas makin berat dan tubuh kian merapat.
Kala Zayan menarik kepala Ivana dan sedikit menengadahkan wajahnya, pria itu tersenyum tipis kala bertatapan dengan mata beriris cokelat tersebut yang memandanginya dengan sorot mata sayu.
Dunia seakan-akan berhenti berputar pada porosnya, saat kedua pemilik bibir saling menyentuh dan menyesap. Susah payah Ivana menahan diri, tetapi gumamannya lolos dan membuat Zayan makin berani.
Pria itu melepaskan bibir Ivana kala menyadari bila istrinya kehabisan oksigen. Pipi Ivana yang memerah membuat dirinya makin cantik di mata Zayan, yang tak mampu menahan diri untuk merunduk dan menyapukan bibir di leher jenjang sang istri.
Zayan mengarahkan tangan Ivana hingga memeluk lehernya. Sementara tangannya bergerak sama aktifnya dengan bibir yang kini masih menempel di kulit halus Ivana. Menggeser sedikit demi sedikit hingga kembali ke bibir lembut istrinya. Bertukar saliva dengan hasrat yang makin menggila.