3. Perhatian yang sia-sia...

1309 Words
Perjalanan hidup seseorang memang sulit untuk di tebak. Begitu juga kehidupan seorang Arya Wigantara. Selama ini ia sudah menjalani hidup dengan cukup lurus dan benar, menjalankan bisnisnya dengan bersih, menjalin hubungan sehat dengan kekasihnya dan tidak pernah membuat masalah dengan orangtuanya. Sebisa mungkin Arya tidak menimbulkan kekacauan dalam hidup dan keluarganya. Tapi semua itu berubah ketika pada suatu hari ada seorang lelaki yang datang padanya, seseorang yang ia tahu adalah teman dekat Ayahnya. Mengancamnya dengan alasan keluarganya yang sangat angkuh dan sombong karena tak mau membantu melancarkan tujuannya. Arya mengkonfirmasi hal itu pada sang Ayah dan mengatakan jika hal itu benar adanya, karena tak ingin terlibat masalah di masa depan. Beliau tentu melarangnya untuk tidak memperdulikan ancaman-ancaman itu, toh keluarganya mempunyai keamanan yang cukup kuat. Tapi ada satu hal yang membuat Arya tak bisa bersikap tenang dengan ancaman Ayah Dhara, yaitu dia mengancam akan merusak adik perempuannya. Awalnya ia tak begitu percaya jika orang itu bisa benar-benar menyentuh adiknya, tapi setelah tahu siapa sebenarnya laki-laki yang selama ini menjalin kasih dengan adik perempuannya, ia tak bisa tinggal diam. Arya rela membuang harga dirinya demi melindungi nyawa, masa depan sang adik, dan nama baik keluarganya. Menyentuh paksa seorang wanita yang berstatus sebagai isteri dari laki-laki lain adalah sesuatu yang benar-benar melukai harga dirinya. Bahkan seumur hidup Arya yang tidak pernah mengkonsumsi minuman beralkohol terpaksa menenggaknya untuk membuat otaknya sedikit gila ketika menyetubuhi seorang wanita yang ia ketahui bernama Dhara. Pada awalnya tentu saja ia membenci seorang Dhara, karena dia dan Ayahnya, hidup lurus Arya menjadi tidak karuan. Arya sama sekali tidak tertarik pada tubuh nyaris sempurna milik Dhara, tempat ia melepas keperjakaannya. Tapi ada satu hal yang membuatnya merasa iba pada wanita itu, Arya terperangah pada apa yang di ucapkan Ayah Dhara padanya ketika menyampaikan bahwa ia sudah berhasil memisahkan Dhara dari suaminya dan akan segera ia nikahi. "Silahkan nikahi dan bawa Dhara bersamamu. Kamu bebas melakukan apapun padanya, bahkan kalau kau mau menjadikan dia b***k seks-mu juga silahkan. Dia cukup menarik bukan? Bawa dia pergi, saya sudah tidak membutuhkan anak tidak berguna itu. Satu yang harus kamu tahu, Dhara bukanlah puteri kandung saya. Jadi, jangan pernah hubungi saya apapun yang terjadi padanya." Kejam, itu yang ada di pikiran Arya ketika mendengar seorang Ayah berkata seperti itu tentang puterinya. Ia memang tidak tahu seperti apa sebenarnya keadaan keluarga mereka, bagaimana bisa Dhara bukanlah anak kandung dari Ayahnya. Tapi sebagai seorang anak, hati Arya ikut sakit mendengarkan ucapan jahat seorang Ayah terhadap anaknya. Hal itu yang membuat Arya mengikis rasa bencinya. Ia memandang Dhara adalah korban dari kekejaman Ayahnya. Wanita itu kini sendirian, di samping tidak mempunyai saudara, Arya juga tahu jika Ibu kandung wanita itu lebih memilih tetap mendampingi suaminya dan tidak peduli dengan keadaan puterinya. Tidak heran jika Dhara pernah berniat mengakhiri hidupnya. Apa yang di alamaminya memang sangat berat, ia tahu itu. Arya menatap meja makan yang di atasnya terdapat hidangan makan siang yang Dhara buat. Meski penampilannya tidak terlalu menarik, tapi terlihat menggiurkan karena perutnya yang sudah sangat lapar. Arya kemudian menyendok nasi dan lauk kepiringnya. Ia menatap tubuh belakang Dhara yang terlihat sedang sibuk mencuci sesuatu di wastafel dapur. "Kamu tidak ikut makan?" tanya Arya menawari Dhara siapa tahu sudah lapar lagi. Dhara menggeleng. "Tidak, aku masih kenyang." Arya lalu menyendok makanan di piringnya dan mulai memasukkan kemulut. Ia terkejut dengan rasanya, sangat asin. Tapi, ia tidak akan protes, hanya mengakalinya dengan menyendokkan nasi banyak-banyak. Sebagai seseorang yang menjadi pemilik restoran di beberapa mall besar pulau Jawa, mungkin ini adalah satu-satunya makanan dengan rasa terburuk yang pernah ia makan. Meski begitu, ia mengerti, tidak semua perempuan pandai memasak. Selain masakan Ibunya, mungkin masakan Adiva-lah yang terbaik. Arya kemudian teringat jika saat ini Dhara tengah mengandung anaknya, dan memakan makanan yang terlalu asin bukanlah sesuatu yang baik. Jika dia menyajikan makanan dengan rasa seperti ini untuknya, itu berarti makanan seperti itulah yang Dhara makan setiap harinya. Astaga apa kabar calon janin di dalam perut Dhara . Arya tak bisa menghabiskan makanan yang Dhara buatkan, tapi ia sudah sangat kenyang karena memakan nasi dua kali lipat dari porsi makannya. "Terimakasih Dhara," ucap Arya sebelum beranjak dari kursinya. "Maaf, kalau tidak enak." "Saya habis nasi banyak, itu di simpan saja, nanti malam mau saya makan lagi." Arya mengatakan hal itu bukan karena ia ketagihan dengan rasa makanannya, tapi ia mencegah agar Dhara tidak memakannya. Mungkin mulai saat ini, ia harus membelikan makanan di luar yang lebih layak makan, terlebih saat ini Dhara sedang mengandung. Di antara mereka berdua mungkin tidak ada yang megharapkan kehadiran anak itu selain si jahat Ayah Dhara. Akan tetapi, Arya tidak ingin mengulang dosa besar sekali lagi. Ia akan merawat dan menjaga anak itu, ia akan menerima kehadirannya ketika lahir nanti. Meskipun ia tak bisa memberi jaminan bisa memberikan sang anak keluarga yang utuh. Ada Adiva yang masih setia menantinya. Awalnya Dhara senang karena melihat nasi putih di wadah yang berkurang cukup banyak, ia jadi penasaran. Apa iya masakannya enak? Pasalnya ia tadi lupa untuk mencicipinya. Dara mengambil sepotong kecil Brokoli dan memasukkan ke mulut, seketika ia langsung mengeluarkannya lagi. Asin, hanya itu yang bisa ia rasakan. Berarti Arya memakan banyak nasi bukan karena rasa makanannya yang enak. Dhara menghembuskan nafas lelah, payah sekali dirinya. Tidak bisa menguasai skill basic manusia untuk bertahan hidup, yaitu membuat makanan yang layak konsumsi. Salahnya yang dulu tidak pernah peduli dengan segala urusan rumah tangga. Ia tidak pikir panjang, tidak pernah berfikir bahwa di masa depan ia bukanlah Dhara si anak emas bagi orangtuanya yang kesehariannya hanya melakukan sesuatu yang ia suka. Dalam bayangannya dulu, ia akan menikah dengan orang berada yang tentu saja di rumahnya terdapat banyak asisten rumah tangga, dan untuk sekedar masalah makanan ia takkan pusing di buatnya. Restoran banyak dan ia tak pernah menyangka jika di masa depan ada saat di mana ia tak punya uang yang cukup untuk membelinya. Setengah mangkuk sayur Brokoli yang ia buat harus berakhir di tempat sampah, untuk Ayam gorengnya masih bisa ia selamatkan karena rasa asin yang sangat hanya untuk bagian luar saja. Tapi ia tak habis pikir, kenapa Arya tidak memprotesnya atau paling tidak menyampaikan rasa masakannya yang tidak karuan. Dhara jadi teringat akan mantan suaminya yang tidak pernah mau memakan masakannya yang mungkin rasanys tidak se-enak buatan istri pertamanya. Daripada menahan malu terlalu lama, Dhara menutuskan untuk mengakui kelemahannya pada Arya. Setelah ia selesai mencuci piring dan membersihkan dapur, ia berjalan menuju kamar Arya dan mengetuk pintunya. "Ada apa?" tanya lelaki itu setelah membuka pintu kamarnya. "I...itu, aku mau minta maaf." "Buat?" "Masakan aku yang nggak enak, sebenarnya aku nggak bisa masak." Jawab Dhara dengan wajah memerah menahan malu. "Nggak apa-apa, tidak perlu minta maaf," jawab Arya yang memang tidak mempermasalahkan hal itu sama sekali. "Tapi lain kali jangan minta saya masakin lagi ya, jatuhnya mubadzir," pinta Dhara. Baginya, saat ini makanan menjadi barang yang sangat berharga di kala ia tak punya cara untuk mencari uang dan membelinya. "Lalu, kalau kamu tidak masak, selama ini belanjaan yang saya belikan kamu apain?" tanya Arya bingung. Seminggu sekali ia menyempatkan berbelanja untuk di berikan kepada Dhara, pasalnya wanita itu menolak keluar rumah dan membelinya sendiri. "Masih numpuk di kulkas," jawab Dhara apa adanya. "Terus selama ini kamu makan apa?" "Telur goreng, sosis, ayam goreng. Cuma sayuran saja yang tidak bisa aku masak karena pasti rasanya nggak bisa pas, tidak seperti kalau aku beli di restoran." Arya menatap wajah Dhara sedikit lama, antara iba dan kesal. Demi Tuhan Dhara sudah tinggal di rumahnya hampir satu bulan dan selama itu juga hanya makanan seperti itu yang masuk kedalam perutnya. Percuma ia belanja lama-lama demi memilih sayuran terbaik penuh nutrisi jika hanya berakhir menumpuk di lemari pendingin. Apa itu namanya bukan mubadzir? Arya kesal, ternyata perhatiannya untuk Dhara dan calon anaknya selama sebulan ini sia-sia. "Dhara, jadi anak saya di dalam perut kamu cuma di kasih makan begitu setiap hari?" Eh?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD