1. Bukan Hari Bahagia
Dhara menatap nyalang lelaki yang tengah menggagahi tubuhnya dengan paksa. Telapak tangannya bahkan sudah terasa kebas dan bergetar karena tak terhitung lagi berapa banyak ia melawan dengan menampar dan memukul lelaki yang kini tengah bergerak di atas tubuhnya. Tangan Dhara di cekal keras di atas kepala agar tak bisa lagi melawan. Aroma alkohol juga tercium cukup menyengat dari mulut lelaki itu.
Airmata Dhara mengalir deras, tak sedikitpun ia menikmati pergerakan yang di lakukan lekaki itu seberapapun tampan dan gagahnya. Apa yang di lakukannya terasa begitu menghinanya karena Dhara adalah perempuan bersuami.
Setelah tangan Dhara terlepas karena lelaki itu tengah melenguh menikmati pelepasannya. Dhara menamparnya sekali lagi dengan sangat keras bahkan sampai ada sedikit robekan di bibir lelaki itu dan terlihat mengeluarkan darah.
"Sekali saya bertanya dan tolong jawab, kenapa kamu melakukan semua ini, siapa kamu dan salah saya apa sampai kamu menghinakan tubuh saya seperti ini?" teriak Dhara.
"Pakai kembali bajumu, saya akan mengantarmu pulang." Ucap lelaki itu tak mengindahkan pertanyaan Dhara.
"Apa pertanyaan saya masih kurang jelas, hah?!" teriak Dhara.
"Tanpa saya jawab, kamu akan tahu sendiri nanti Dhara. Cepat berkemas, saya akan antarkan kamu pulang, urusan saya masih banyak."
Dhara mendengus, persetan dengan urusan lelaki b******k di depannya ini. Apa dia pikir dirinya tak punya hati, pulang ke rumah suaminya di saat tubuhnya sudah begitu kotor karena di gagahi lelaki lain? Ia tidak serendah itu meski statusnya hanya istri siri.
"Silahkan anda pergi, tapi jangan harap hidupmu bisa tenang. Siap-siap kalau besok pagi ada polisi yang mendatangimu untuk menjadi saksi atas meninggalnya seorang gadis muda berusia 22 tahun, puteri dari orang ternama di kota ini yang bernama Dhara Amelia dia tewas karena terjun dari lantai atas sebuah hotel."
Lelaki tampan berusia 27 tahun yang bernama lengkap Arya Wigantara menatap dalam kearah mata Dhara, tatapan putus asa itu benar-benar mengancamnya. Jika semua ancaman itu benar-benar terjadi, sia-sia sudah pengorbanan yang sudah Arya lakukan tadi.
"Silahkan, tanyakan apapun yang ingin kau ketahui Dhara," putus Arya meluangkan waktu untuk mendengar dan menjawab pertanyaan yang akan Dhara ajukan padanya.
"Kenapa kamu tega menculik dan memperkosaku?"
"Saya tidak menculikmu, dan alasan mengapa saya dengan terpaksa memperkosamu adalah, agar kau hamil anakku," jawab Arya jujur.
Dhara mendengus kesal, bahkan dengan suaminya saja ia masih enggan untuk punya anak, tetapi dengan kejam lelaki bernama Arya ini menabur benih di rahimnya.
"Saya ini perempuan yang sudah bersuami."
"Saya tahu," sahut Arya cepat.
"Tahu?" tanya Dhara terkejut, jika tahu kenapa harus melakukan hal menjijikan ini padanya.
"Kamu menikah siri dengan seorang dokter dan pemilik rumah sakit yang telah beristri."
Dhara menatap tajam wajah lelaki itu sekali lagi.
"Apa karena posisi saya yang hanya istri siri atau lebih sering di sebut pelakor kamu jadi tega melakukan ini, apa di matamu dengan status itu saya jadi terlihat begitu hina dan bisa di lakukan semena-mena?" tanya Dhara dengan nafas tersengal menahan amarah.
"Bukan itu alasannya," jawab Arya sedikit melembut. "Alasan sebenarnya saya melakukan semua ini justru lebih menyakitkan dari itu Dhara, apa kamu siap mendengarnya?"
Dhara tak menjawab, tapi hatinya berharap Arya mau menjelaskannya.
"Mau kamu percaya atau tidak, saya tidak menculikmu. Tapi saya mengakui jika saya sudah memperkosamu. Bukan sepenuhnya atas kemauan saya Dhara, saya juga terpaksa, tapi yang harus kamu tahu ada peran Ayahmu disini. Silahkan kamu konfirmasi ke beliau, saya yakin beliau tidak akan mengelak dengan segudang alasan yang dia punya."
Dhara terdiam, bagaimana bisa ini semua adalah perbuatan Ayahnya. Hubungannya kemarin dengan suaminya juga tak lain adalah rencana Ayahnya, lalu apalagi ini?
***
Hati Dhara sebagai seorang anak hancur ketika ia menemui Ayahnya untuk menencari tahu kebenaran yang di katakan laki-laki b******k itu padanya. Dhara berharap jika sang Ayang akan menyangkalnya, tetapi ternyata tidak. Ia justru di beri kenyataan yang lebih buruk dari itu.
"Kamu itu bukan puteri kandung saya Dhara, kamu adalah penghalang saya untuk meraih sukses. Saya kira dengan memeliharamu, di masa depan saya bisa mendapatkan sedikit kemudahan. Tapi nyatanya tidak, kecantikkanmu tidak bisa memikat lelaki potensial yang mau menyerahkan nama dan hartanya. Kamu tidak berguna Dhara, oleh karena itu kamu tidak berhak bahagia. Pergi dari sini dan jangan kembali, carilah laki-laki bernama Arya Wigantara jika kamu membutuhkan sebuah pertanggung jawaban. Dia orang yang akan melepaskanmu dari saya dan suami tak bergunamu itu."
Setelah sang Ayah mengucapkan semua hal menyakitkan itu, Dhara di paksa keluar dari sana. Pintu gerbang yang tinggi itu kini tertutup untuknya. Satu orang yang ada disana dan ia harap akan membelanya hanya diam saja tak berbuat apa-apa, dan orang itu adalah Ibunya.
Lalu kemana Dhara harus berlari? Satu-satunya orang yang masih mau menerima dirinya adalah dokter Arkan, suami sirinya. Tapi Dhara cukup tahu diri. Ia sudah mengakui semuanya, meski ternyata Arkan sudah tahu lebih dulu. Laki-laki itu justru mengatakan jika ini salahnya, salahnya yang tak bisa memenuhi keinginan Ayah Dhara sehingga memaksa mereka berpisah dengan cara yang keji.
Walaupun sang suami masih menerimanya, tapi Dhara tak punya muka lagi ketika pada suatu hari mendapati dirinya telah berbadan dua, dan sudah jelas itu bukan anak dari suaminya. Arkan belum menyentuhnya sampai hari ini, dari ia selesai datang tamu bulanan waktu itu.
Dhara berkemas ketika sang suami tak berada di rumah, mengambil uang cash secukupnya dan meninggalkan kartu ATM yang suaminya berikan. Tujuannya kali ini adalah, tampat aborsi, ia akan menggugurkan kandungannya Dhara bahkan tak peduli jika nyawanya sendiri ikut gugur. Hidupnya sudah tak ada titik terang kebahagiaan sama sekali.
Tetapi, belum jauh mobil yang membawanya pergi, ada mobil lain yang menghadangnya.
"Turun Dhara, kamu harus ikut saya."
Dhara menatap malas pada lelaki yang sudah menanam benih di rahimnya, dan tanpa ia sangka tumbuh dengan begitu cepat. Dhara kemudian membuka kaca mobil yang hendak membawanya.
"Saya tidak mau."
"Kamu mau kemana?"
Melihat Dhara membawa sebuah tas besar, ia yakin wanita itu hendak kabur darinya.
"Kamu mau tahu saya hendak pergi kemana? Jawabannya adalah, mengantarkan calon anakmu ke surga dan saya sendiri akan pergi ke neraka."
Jawaban Dhara sudah cukup membuat Arya paham apa yang akan wanita ini lakukan. Ia kemudian memaksa sopir taksi itu membuka pintu. Meski ia juga belum mengharapkan seorang anak, tapi hati nuraninya mengatakan jika mereka harus di selamatkan.
Dhara hendak membuka pintu dan lompat dari mobil mengetahui kemana lelaki itu akan membawanya.
"Tenang saja Dhara, saya tidak akan mengembalikanmu padanya. Kita akan menemuinya agar dia menceraikanmu karena kita harus segera menikah."
***
Satu bulan setelah Arya memaksa suami Dhara menceraikannya. Hari ini ia menikahi wanita itu, pernikahan yang sangat sederhana karena tidak di hadiri satupun dari keluarga keduanya.
Sepanjang acara, Dhara hanya terdiam. Ini hari pernikahannya, tapi tidak bisa ia sebut sebagai hari bahagia. Sebenarnya ini lebih baik dari pernikahan sebelumnya karena legal secara hukum dan ia mempunyai buku nikah dengan lelaki yang ia ketahui bernama Arya. Tapi Dhara tak menemukan alasan dirinya harus senang dengan pernikahan ini.
"Dhara, kamu saya tinggal tidak apa-apa?" tanya Arya begitu mereka sampai di rumah sepulang dari masjid tempat acara ijab qabul tadi.
Dhara hanya mengangguk sebagai jawaban. Ia sudah berniat untuk membatasi diri dengan suami barunya ini.
"Kemungkinan saya pulang malam tapi belum pasti jam berapa. Jangan tunggu saya."
Setelah berganti baju, Arya pergi dari rumah. Meninggalkan Dhara yang masih menggunakan kebaya pernikahannya. Akan seperti apa kehidupan rumah tangganya kali ini, Dhara tidak tahu sama sekali.
Dhara menghembuskan nafas berat sebelum melangkah berjalan ke kamarnya untuk berganti pakaian. Kamar yang ia tempati bukanlah kamar pengantin pada semestinya, hanya kamar tamu biasa. Arya meminta mereka tidur di kamar terpisah, suaminya tidur di kamar utama rumah ini.
Menurut Arya, pernikahan yang di lakukan ketika sang wanita tengah mengandung juga bukan sesuatu yang benar-benar sah secara agama, jadi sebaiknya mereka tidak bercampur lebih dulu, apalagi sebenarnya ia menikahi Dhara ketika wanita ia tengah menjalani masa idah dari perceraian dengan suami sirinya. Arya bisa menikahinya dengan mudah karena kartu identitas Dhara masihlah seorang gadis.
***
Setelah mengganti pakaiannya dengan yang lebih nyaman, Dhara pergi berjalan ke arah dapur. Ia harus membuat sesuatu untuk mengisi perutnya di jam makan siang nanti.
Usia kehamilannya sudah dua bulan, tapi ia beruntung tidak mengalami mual muntah yang berlebihan seperti wanita hamil pada umumnya. Untuk urusan makanan, calon bayi di perutnya tidak rewel sama sekali, mungkin tahu jika Ibunya tidak punya uang untuk membeli makanan yang aneh-aneh.
Ya, meski selama ini orang melihatnya sebagai anak dari orang terpandang yang cukup terkenal, tapi Dhara tidak punya tabungan atau warisan sama sekali. Ia baru saja lulus dari kuliahnya di luar negeri, dan ketika ia sudah mendapatkan pekerjaan di sana, sang Ayah menyuruhnya pulang dan meminta dirinya mendekati seorang lelaki. Sesuatu yang membuatnya mendapat cap sebagai seorang pelakor.
Tidak sampai sepuluh lembar kertas berwarna merah muda jika saat ini ia menguras ATM-nya, sisa dari uang yang dulu selalu di kirimkan Ayahnya, jumlah yang lebih banyak sudah ia gunakan untuk biaya hidup yang saat ini membuatnya cukup menyesal karena ia dulu tidak berhemat. Sementara sebuah kartu unlimited yang suami sirinya berikan sudah ia kembalikan ketika pergi dari rumahnya.
Setelah suami sirinya di paksa Arya menceraikan Dhara, hidupnya di tanggung Arya, di perbolehkan tinggal di rumahnya dan di sediakan berbagai bahan makanan. Arya mengatakan akan memberinya nafkah secara materi setelah mereka menikah. Membuat Dhara meski tak pandai mengolah bahan makanan, ia harus tetap memasak untuk mengganjal perutnya.
Karena Dhara malas untuk berbicara apalagi berdebat, ia menerima saja. Memangnya siapa lagi yang mau menanggung hidupnya?