Dhara terbangun dari tidurnya karena merasa kandung kemihnya penuh. Saat melirik jam, ternyata sudah pukul tiga dini hari.
Karena haus, Dhara berjalan ke dapur untuk mengambil minum. Ia terkejut ketika mendapati lampu rumah yang masih terang benderang, itu berarti, Arya belum pulang.
Ada sedikit rasa khawatir dalam hati Dhara kalau-kalau sesuatu yang buruk terjadi pada Arya. Tapi bahkan nomor ponselnya saja Dhara tidak punya. Apalagi nomor orang terdekat yang bisa ia hubungi. Selama ini belum pernah ada orang terdekat Arya yang datang dan memperkenalkan diri padanya, termasuk orang tua Arya.
Dhara benar-benar buta akan siapa Arya, dia berasal dari keluarga seperti apa, pekerjaannya apa, Dhara benar-benar tidak tahu. Yang ia tahu hanyalah, Arya menghamilinya atas suruhan sang Ayah, kemudian menikahinya di saat ia merasa menjadi orang yang terbuang. Memberinya makan juga tempat tinggal. Meski ia benci dirinya di hamili secara paksa oleh Arya, tapi tak bisa ia pungkiri laki-laki itu pula yang menolongnya. Arya juga yang menyadarkannya ketika ia merasa putus asa dan hendak mengakhiri hidup anak dalam perutnya yang juga mengancam nyawanya sendiri. Dhara tidak bisa seratus persen membencinya.
Setelah rasa hausnya terpuaskan, Dhara mematikan lampu ruangan dan kembali ke kamarnya, berniat untuk melanjutkan tidurnya.
Kamar yang hening membuat dinding-dinding di sana seolah menertawakannya. Dhara hanya bisa menenangkan hati dan tersenyum untuk tetap menjaga kewarasannya. Mencoba selalu mengingat Tuhan agar ia di beri kekuatan.
Hingga pagi tiba dan matahari mulai terbit, Arya belum juga kembali. Dhara segera menggelengkan kepala untuk menyingkirkan rasa khawatirnya. Ia kemudian bergegas ke dapur untuk membuat s**u dan sarapan. Sejak hamil, setiap pagi perutnya tidak sabaran untuk segera di isi.
Dhara baru saja menyelesaikan sarapan paginya, saat mendengar pintu rumahnya di buka dari luar. Arya memang selalu membawa kunci pintu rumah sendiri agar ia tak perlu repot-repot membukakan pintu di malam hari.
Dhara hanya menatapnya sebentar sebelum berjalan menuju wastafel untuk mencuci alat makan yang sudah ia gunakan.
Untuk sekedar bertanya Arya dari mana saja, rasanya Dhara canggung. Mungkin seandainya pernikahan ini terjadi secara normal, ia sebagai istri akan mencecar tanya dan marah-marah. Di hari pertama pernikahannya, ia di tinggal di rumah semalaman.
Setelah Dhara selesai mencuci piringnya dan kembali ke meja makan untuk meminum susunya, Arya keluar kamar dengan rambut basah setelah mandi.
"Kamu sudah sarapan?" tanya Arya yang berdiri tidak jauh dari meja makan.
"Sudah."
Hanya itu pertanyaan yang Arya ajukan sebelum kembali masuk ke dalam kamarnya. Kamar yang belum pernah sekalipun Dhara masuki. Canggung, itu yang Dhara rasakan saat ini, tinggal serumah dengan Arya, suami sekaligus orang yang masih asing baginya.
Jika ada orang yang mengatakan bahwa roda kehidupan itu berputar, maka jawabannya adalah benar. Dulu, Dhara pernah berada di atas, di mana sang Ayah begitu mengagumi dan menyayanginya. Tapi saat ini ia merasa di buang seperti sampah, setelah dirinya tak bisa membuat mantan suaminya memenuhi keinginan Ayahnya. Pintu rumah orang yang selama ini Dhara anggap orangtua baginya sudah tertutup. Saat ini ia harus tinggal dengan seorang laki yang tak ia kenal dan menjadi istrinya.
***
Mengerjakan sesuatu termasuk memasak di saat sang pemilik rumah ada di tempat membuat Dhara sedikit tidak tenang. Ini untuk pertama kalinya Arya berada di rumah ketika siang hari. Takut jika tiba-tiba dia melihat masakan buatannya yang begitu alakadarnya, asal matang dan dapat di makan untuk mengisi perutnya. Sebagai wanita ia merasa malu.
Dhara lega saat Arya ke dapur dan dia sudah menyelesaikan makan siangnya. Sebelum menikah dan Dhara tinggal di rumah itu, hanya sesekali lelaki itu datang.
"Kamu makan apa?" tanya Arya menatap piring kosong milik Dhara.
"Makan nasi," jawab Dhara.
"Maksud saya pakai lauk apa. Kamu hari ini masak apa?"
"A...aku makan sama telur aja, nggak masak yang lain."
Arya mengangguk paham.
"Dhara, apa saya bisa minta tolong kamu buatkan satu lagi untuk saya? Saya lapar, tapi ada yang harus saya kerjakan segera."
Dhara mengangguk ragu, mau menolak ia tak enak hati, tapi apa Arya mau memakan masakan buatannya. Ia merasa tidak enak jika hanya membuatkan Arya telur goreng padahal bahan masakan di kulkas dapur lelaki itu bertumpuk.
Dengan tangan sedikit bergetar ia mengambil beberapa bahan di kulkas, kemudian pergi ke kamar untuk mengambil ponselnya.
Beruntung Arya tidak menunggunya menyelesaikan masakan, sehingga ia bisa leluasa mencari resep di ponsel pintarnya.
Selain menggoreng telur, Dhara juga memasak masakan sejuta umat yaitu Ayam Goreng dan sayur brokoli, karena itu yang bisa ia masak dengan mudah. Dia tak tahu apa makanan kesukaan Arya karena ini untuk pertamakalinya laki-laki itu akan makan di rumah.
Setelah semuanya selesai dan ia hidangkan di atas meja, Dhara ragu, haruskah ia mengetuk pintu kamar Arya dan memanggilnya? Walaupun tinggal satu rumah, mereka tetaplah orang asing. Dua orang yang di pertemukan oleh keadaan yang sesungguhnya tidak mereka inginkan.
Setelah otaknya melakukan tawar menawar, Dhara akhirnya berjalan menuju ke kamar Arya. Rasanya tak sopan jika Arya memakan makanan itu ketika sudah dingin.
Dhara terkejut ketika ia baru sampai di depan pintu kamar Arya tapi tiba-tiba pintu itu terbuka.
Arya mengernyitkan kening melihat raut terkejut wajah Dhara.
"Kenapa?"
"I...itu, makanannya sudah siap."
"Terimakasih."
Arya berjalan lebih dulu menuju meja makan. Perutnya sangat lapar karena kemarin tidak sempat makan malam. Walau sebenarnya sungkan, ia terpaksa meminta tolong Dhara membuatkan makanan. Arya bisa memasak, tapi untuk saat ini ia sedang malas. Otaknya tengah penuh dengan beragam masalah.
Sesuatu yang dengan terpaksa ia lakukan demi keluarganya menyakiti hati seorang wanita yang sudah lama ada di hidupnya. Meski ia sudah mengatakan jika pernikahan yang ia lakukan hanya sementara dan akan mengakhirinya suatu hari nanti.
Ia tahu mungkin bagi kekasihnya, jalan yang ia ambil begitu menyakiti hati. Sesuatu yang seharusnya menjadi istimewa di malam pernikahan yang sudah mereka rencanakan, harus ia berikan pada wanita lain.
Meyakinkan seorang Adiva Anastasya, kekasih yang sudah menjadi tunangannya bahwa dalam pernikahan ini dirinya tidak akan menyentuh Dhara memang tidak mudah. Hal itulah yang membuat Diva menyanderanya semalaman.
Tidak hanya Diva yang tidak suka dengan pernikahan ini, Ibunya juga. Tapi Arya punya alasan kuat mengapa ia sampai harus melakukan ini. Alasan yang memang tak ia beritahukan pada orangtuanya karena tak ingin membuat mereka marah dan khawatir berlebih.