Bab 3. Terjebak Dalam Kesedihan

1052 Words
Bau asin air laut menyengat hidung Jillian saat dia membuka mata. Suara ombak bergulung di sekelilingnya. Ia mengedarkan pandangannya dan teringat dengan jelas akan pesawat yang jatuh. Dengan penuh ketakutan, Jillian mulai mencari di antara para penumpang yang mengapung. Di mana Mike? Beberapa perahu karet penyelamat terlihat di kejauhan. Dengan sisa tenaga, ia berusaha menjerit, tetapi suaranya lemah. “Aku di sini!” jeritnya, air matanya mengalir tak tertahan. Tak jauh dari Jillian, anggota regu penyelamat terdekat segera menghampirinya. "Tenang, Nona. Kami sudah menemukanmu." Dua pria meraih jaket penyelamat Jillian dan menariknya ke perahu, tetapi yang ada di dalam pikiran Jillian hanyalah Mike. “Di mana suamiku? Dia ... masih di pesawat!” desis Jillian, berusaha mencari sosok Mike dengan netranya. Tidak banyak yang selamat, mayat-mayat memenuhi perairan tempat puing-puing pecahan pesawat tersebar. “Beberapa yang selamat telah dibawa ke tepian, Nona. Sisanya hanya mayat-mayat ini yang akan segera dievakuasi,” kata seorang penyelamat, matanya penuh empati. “Untuk sementara, sebaiknya kami memastikan agar Nona aman terlebih dahulu.” "Apakah banyak korban yang selamat?" "Hanya belasan orang, Nona." Jillian sama sekali tidak merasa tenang, kesedihan dan ketakutan menyelimuti hatinya. Dalam hati, ia hanya berdoa agar suaminya selamat dan ia bisa bertemu dengan Mike di tepian. Di tepian laut satu jam kemudian ... Jillian berdiri sambil memperhatikan lautan luas, laut yang telah menenggelamkan kenangan indahnya bersama Mike. Semua terasa seperti mimpi buruk. Mike tidak ia temukan di antara korban yang selamat. Padahal, cinta mereka baru saja dimulai, namun kini semua telah sirna. “Mike, di mana kau?” bisiknya, menatap horizon yang memantulkan cahaya oren dari matahari terbenam. “Bukankah katamu kita tidak akan terpisah?” Jillian merasakan waktu seolah berhenti di antara harapan dan kenyataan yang pahit. Kenangan pernikahan mereka yang indah kini menjadi bagian dari kesedihan yang mendalam di dalam hatinya. Dalam heningnya malam, saat bintang mulai bermunculan di langit, Jillian mendekap erat tubuhnya dengan kedua lengannya yang ramping, berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan menyerah. Jika Mike masih hidup, ia akan terus mencarinya sampai ia menemukan suaminya itu. Hembusan angin kencang mengguncang pepohonan di sekitar lokasi kecelakaan pesawat. Suara derak ranting dan keriuhan alam seolah menertawakan kesedihan yang menyelimuti hati Jillian. Dengan mata yang sembab, Jillian mulai berseru, "Mike! Mike!" suaranya bergema, menembus kesunyian yang menyakitkan. Jillian menyisir sepanjang tepian laut, tidak peduli jika dinginnya angin menyelusup ke pori-pori kulitnya. Karena, rasa sakit yang ia rasakan di hatinya lebih menggerogoti. "Jillian? Nak?" Kakek Bernard yang baru saja tiba bersama putranya dengan menggunakan heli, melangkah tergopoh mengejar Jillian. Langkahnya goyah saat ia mencoba mendekat. Di belakang Kakek Bernard dan Ayah Jillian, tampak kedua orang tua Mike ikut datang. "Kakek?" Jillian menatap Kakek Bernard, "Mike masih di sini, Kek. Aku bisa merasakannya. Dia masih di sini, Kek," isak Jillian. Di dalam benaknya, Jillian percaya jika Mike masih hidup, suaminya itu hanya ... sedang bersembunyi di balik langit yang kelabu. "Sayang, serahkan Mike pada tim pencari. Kau harus beristirahat!" nasehat Kakek Bernard mencoba menenangkan cucunya, meski hatinya terasa remuk melihat paras cucu kesayangannya yang tampak mengenaskan. "Tidak, Kek." Jillian menggeleng keras, "Aku ingin mencari Mike, dia sedang … sedang menungguku untuk menemukannya." Suaranya tersendat, air matanya mulai luruh, mengalir tanpa henti membasahi pipinya yang pucat. "Mike! Mike! Jawab aku!" Jillian melepaskan tangan Kakek Bernard dan kembali menyusuri tepian laut. "Aku tahu kau ada di sana, Mike. Sudah cukup! Jangan bersembunyi lagi. Aku ... aku tidak ingin kehilanganmu, dasar kau bodoh! Egois! Keluarlah!" Melihat apa yang Jillian lakukan, Mr. dan Mrs. Walt yang telah berdiri di samping Ayah Jillian ikut meneteskan air mata. Mrs. Walt menyembunyikan wajahnya di pelukan sang suami. Sementara Ayah Jillian, Jhon Bernard hanya geleng-geleng kepala menyaksikan tingkah putrinya itu. *** "Mike!" teriakan Jillian terdengar berpadu dengan suara ombak yang menghantam tepian. Batu-batu besar menjadi saksi betapa ia tidak pernah menyerah Satu bulan telah berlalu sejak kecelakaan yang menimpanya dengan Mike. Tetapi Jillian masih berperang dengan rasa sakit dan kehilangan yang tak kunjung usai, menolak untuk menerima kenyataan. Kesedihan mengurungnya dalam penjara gelap yang tak berujung hingga malam datang menghampiri. Dalam kegelapan itu, pikiran Jillian semakin terjerumus ke dalam jurang yang sepi. Hari itu, akhirnya ketahanan tubuhnya dalam melawan angin dingin pun terkalahkan. Jillian jatuh tak sadarkan di tepian lautan. Semangat yang selama ini membuatnya mencoba untuk bertahan ternyata hanya menjebaknya dalam suatu kebohongan. Satu bulan, ia bersikeras selama satu bulan! "Sudah saatnya kita membawanya pulang," ujar Kakek Bernard pada kedua orang tua Mike. Selama satu bulan ini ia selalu mengawasi Jillian di malam hari. Di mana cucunya itu terus berteriak memanggil nama suaminya. Sementara Ayah Jillian dari tiga minggu sebelumnya telah memutuskan kembali ke kotanya demi melanjutkan pekerjaannya. Meski regu penyelamat sudah pesimis dan menyatakan Mike mungkin telah tiada dan mayatnya telah dibawa ombak entah ke mana, namun Jillian terus bertahan. "Sebaiknya begitu." Adam Walt, ayah Mike menyetujui permintaan Kakek Bernard. "Kebetulan Nick baru saja tiba, kita bisa memakai pesawat pribadinya untuk kembali ke kota," tambahnya. Kakek Bernard mengangguk, lalu memerintahkan beberapa orang yang ia bawa untuk mengangkat Jillian. "Kita pergi sekarang?" "Lebih cepat lebih baik, dia sudah terlalu lama di sini." Beverly Walt, Ibu Mike. Ikut angkat bicara. Setelah itu ia menoleh ke belakang, pada pria muda yang sedang melangkah ke arahnya. "Nick, kita kembali ke kota malam ini." Nick Walt, adik Mike. Memutar bola matanya dengan jengah. Huft, hari ini ia telah dipaksa untuk datang ke wilayah ini tempat di mana saudara lelakinya telah menghilang. Hanya demi seorang wanita yang telah kehilangan akal sehatnya. "Benar-benar merepotkan," sungutnya sebal. Ia sudah pernah melihat Jillian sebelumnya sewaktu pernikahan wanita itu dengan Mike. Tetapi ia sengaja tidak membaur, Nick tidak terlalu menyukai pesta formal selain pesta bersama kekasihnya dan juga para sahabatnya di Klub. "Pilot masih berada di dalam pesawat," lontarnya kemudian pada ibunya. Beverly pun membantu Kakek Bernard, sementara Adam mengiringi para pria yang sedang mengangkat Jillian dengan menggunakan tandu. Saat tandu yang membawa Jillian melewati dirinya, Nick sontak mendengus gusar. "Apa yang dilakukan oleh wanita gila ini? Mengapa dia kotor sekali?" "Nick!" bentak Adam yang merasa tidak enak hati terhadap Kakek Bernard atas ucapan putra bungsunya itu. "Jaga mulutmu!" Adam memperingatkan putranya, namun Nick hanya melengos. "Jillian adalah istri Mike, dia seperti ini karena dia mencintai Saudaramu!" "Cih, mencintai sampai gila? Aku pikir dia mewarisi kegilaan itu dari keluarganya!" "Nick Walt!" hardik Beverly dan Adam secara bersamaan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD