Bab 2. Awal Dari Segalanya

1192 Words
Keesokan harinya, pagi hari sinar matahari menyelinap masuk melalui tirai krem di jendela. Suara ombak yang menghempas lembut di pantai seakan menjadi melodi indah yang menyertai Jillian dan Mike merayakan cinta mereka. Acara pesta pernikahan mereka berakhir sore kemarin, dan mereka mendapatkan sebuah vila yang terletak cukup dekat dengan pantai sebagai hadiahnya. Sayangnya, malam pertama Jillian tidak berjalan dengan mulus dikarenakan ia tiba-tiba mendapatkan tamu bulanan. "Hei, tukang tidur. Bangunlah!" bisik Mike. Perlahan, Jillian membuka kelopak matanya, mengerjapkannya berkali-kali lalu menatap Mike dengan mata membola. "Kau ...." Kata-kata itu sontak menggantung saat sekelebat ingatan tentang pernikahannya dengan Mike berkelebat di dalam benak Jillian. "Ah, maafkan aku. Ini pertama kalinya aku terbangun dengan seorang pria di sisiku," ucapnya penuh penyesalan. Mike hanya tersenyum lalu mengetuk hidung Jillian dengan punggung jemari telunjuknya. "Tidak masalah, aku bisa mengerti, Sayang. Ini juga pertama kalinya aku menemukan seorang wanita cantik ada di atas ranjangku," selorohnya. Jillian tersenyum canggung, "Tentang semalam ...." "Masih banyak waktu, kita bisa mencobanya lain kali," ujar Mike. Dengan cepat Jillian mengalungkan kedua lengannya ke leher Mike, "Aku mencintaimu, Mike." Ia mengecup pipi suaminya itu lalu mengangkat tubuhnya untuk duduk di atas ranjang. Jillian juga membantu Mike agar suaminya itu bisa duduk bersamanya. Usai melakukan hal itu, ia pun turun dari ranjang untuk mengambilkan kursi roda Mike. "Apa yang ingin kau lakukan hari ini?" tanyanya berbasa-basi sambil membantu Mike untuk pindah ke kursi roda. Mike berpikir sejenak, "Ayah dan Ibu telah mempersiapkan tiket untuk kita pergi berbulan madu." Mike mendongak menatap Jillian yang sedang berdiri di belakang kursi rodanya untuk melihat reaksi istrinya itu. "Kau ... mau pergi bersamaku?" Jillian menggedikan pundaknya, "Mengapa tidak?" ia lalu mendorong kursi roda Mike menuju kamar mandi, "Tapi sebelum itu, kau harus mandi, Tuan Mike Walt," lontarnya melucu. Membuat Mike terbahak geli. *** Pukul 10 pagi ... “Jill, kau sudah siap? Pesawat akan segera lepas landas dua jam lagi,” teriak Mike sambil mengintip ke luar jendela vila, memastikan bahwa cuaca mendukung perjalanan mereka. “Tenang saja, Sayang. Aku sudah siap. Aku sudah tidak sabar untuk pergi bersamamu,” balas Jillian ceria. Dengan menyeret dua koper mungil, ia berjalan menghampiri Mike. Setibanya ia di belakang kursi roda suaminya itu, ia pun melirik jam tangannya. "Ayo! Oh, Tuhan. Semoga kita tidak terlambat." Di luar, awan gelap mulai berdatangan, tetapi Mike dan Jillian tidak memperhatikannya. Mereka terlalu larut dalam kebahagiaan baru. “Aku ingin berenang, snorkeling, dan mungkin menyewa kapal untuk menjelajahi pulau-pulau kecil di sekelilingnya,” kata Jillian, membayangkan setiap momen indah yang akan mereka alami. Mike hanya tersenyum kaku. “Kau tentu saja bisa melakukannya, dari apa yang aku lihat di foto, semua itu tampak luar biasa. Dan aku bisa menunggumu di atas kapal yang akan kita sewa nantinya,” jawabnya. Tersadar, Jillian sontak memasang wajah tidak nyaman. "Oh, Mike. Maafkan aku, aku lupa kalau kau ...." Mike menggeleng pelan lalu mengangkat tangannya untuk mengusap pipi Jillian, "Jangan khawatir, aku senang jika kau merasa bahagia. Lakukanlah apapun yang kau inginkan, aku akan selalu menemanimu. Menunggumu kembali padaku." Ucapan Mike membuat hati Jillian terenyuh, ada rasa sakit yang tidak bisa ia ucapkan dengan kata-kata hingga ia hanya bisa menatap Mike dengan tatapan sendu. "Mengapa, Mike? Mengapa kau sangat baik padaku? Padahal kau tidak tahu siapa aku," lirihnya. "Hmmm, kau istriku. Dan aku mencintaimu. Jadi ...." "Sstt!" Jillian meletakkan jari telunjuknya di depan bibir Mike sebelum air matanya luruh gara-gara ucapan sang suami. Setelahnya, ia pun menunduk dan mengecup singkat bibir Mike. "Aku juga mencintaimu," bisiknya. Mike terpaku di hadapan Jillian, dan setelah tersadar— ia pun tersenyum tipis dengan wajah merona. Dua jam kemudian di dalam kabin pesawat ... "Kursi rodaku?" tanya Mike, sembari menatap Jillian yang tengah meluruskan kakinya. Sungguh ia bersyukur mendapatkan Jillian, wanita itu tampak telaten merawat dirinya. "Tadi seorang Pramugari membawanya, kau tidak perlu cemas! Mungkin dia menyimpannya di tempat yang lebih aman." Jillian mengambil selimut yang ditawarkan oleh seorang Pramugari padanya, berterima kasih pada wanita itu, lalu menyelimuti kaki Mike dengan selimut yang baru ia terima. "Sudah selesai, apa kau merasa dingin?" lontarnya, mengalihkan tatapannya dari kaki Mike ke wajah tampan sang suami. Mike menggeleng pelan dan tersenyum setelahnya. "Sudah cukup, Sayang. Sekarang, duduklah bersamaku!" ia menepuk kursi kosong yang berada tepat di sampingnya. Untuk sekelas keluarganya, tentu saja Ayah dan Ibunya akan membelikan tiket eksekutif untuk ia dan Jillian. Lagipula, Jillian adalah putri Jhon Bernard. Namun entah mengapa wanita ini tidak terlihat seperti wanita manja. Jillian gesit, ceria, dan tidak malu melakukan pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh seorang pelayan. Jhon Bernard benar-benar telah berhasil mendidik putri sulungnya ini dengan baik. Tak lama, pesawat mulai lepas landas, suara pilot yang mengatakan tujuan pesawat terdengar dari speaker. Mike menggenggam tangan Jillian yang telah duduk di sampingnya dengan penuh kasih sayang. Waktu pun berlalu, Mike tidak tahu sudah berapa lama mereka berada di udara. Namun, badan pesawat tiba-tiba mulai bergetar dengan keras. Mike mengalihkan pandangannya ke arah jendela, awan gelap yang sebelumya hanya terlihat dari kejauhan— kini menutupi langit. Memunculkan tanda-tanda bahwa badai akan segera datang. “Nona, apa yang terjadi?” tanya seorang penumpang panik, pada seorang Pramugari yang baru saja melewati dirinya. Sebelum Pramugari itu sempat menjawab, suara Pilot kembali terdengar melalui speaker. “Kita akan melalui badai sebentar. Mohon tenang, dan tetap di tempat duduk." Suara sang Pilot terdengar stabil, tetapi Jillian bisa mendengar kegugupan di baliknya. Sembari tersenyum kaku, ia mengeratkan genggaman tangannya ke tangan Mike, merasakan detak jantungnya yang cepat. “Ini akan segera berlalu, kan?” tanyanya, berusaha meyakinkan diri. “Ya, kita akan baik-baik saja,” Mike menjawab, berusaha menampakkan ketenangan. Naasnya, momen tenang itu hanya bertahan sebentar. Pesawat mulai bergetar lebih keras. Terdengar suara derak dan jeritan dari penumpang lain. Angin kencang mulai menerjang badan pesawat, dan Jillian merasakan tubuhnya terangkat dari kursi. “Apa yang terjadi, Mike!” teriaknya. Mike meraih tangan Jillian, menariknya lalu memeluk sang istri dengan gelisah. “Berpeganganlah padaku!” bisiknya di telinga Jillian. Jillian mengangguk ragu, tetapi tetap melakukan permintaan suaminya itu. Ia, memeluk Mike dengan erat. Dalam sekejap, kabin pesawat dipenuhi kepanikan. Cahaya lampu merah berkedip-kedip, dan suara sirene menggema. Mike semakin erat memeluk Jillian, berusaha memberikan ketenangan dalam keadaan yang sangat tidak menentu. “Jillian, dengarkan aku. Apa pun yang terjadi, kita tidak akan terpisah,” ujarnya, matanya mencari mata Jillian, mencoba menyampaikan rasa aman di tengah badai. Ketika pesawat terombang-ambing, Jillian dapat merasakan perutnya seakan diaduk-aduk. Dan saat pesawat terjun bebas, suasana berubah menjadi hening. Sebelum suara gemuruh yang mengerikan mengguncang seluruh pesawat. "Jillian!" teriak Mike, suaranya tertahan oleh angin kencang. “Pakai ini!” Entah kapan Mike mengambil alat penyelamat dari kolong kursi, tapi kini suaminya itu telah mengalungkan alat tersebut ke leher Jillian dan segera menarik talinya agar alat tersebut mengembang. Jillian tidak sempat menjawab. Suasana menjadi lebih kacau dengan penumpang lain yang berusaha mencari alat penyelamat, bahkan sebagian besar mulai berteriak panik. Dalam hitungan detik, pesawat mulai miring dan Jillian merasa berat badannya terangkat kembali dari kursi. Ia menatap Mike yang berusaha melindunginya dengan tubuhnya. “Mike!” teriak Jillian, tangannya meraih Mike, tetapi semuanya terjadi begitu cepat. Kabin pesawat tiba-tiba terbelah dan suara jeritan tak tertahankan memenuhi udara. Dan tiba-tiba, semuanya menjadi gelap.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD