Bab 10. Resah

1405 Words
"b******k, ternyata aku tidak bisa meremehkan wanita itu." Waktu hampir menunjukkan pukul 5 sore, Nick duduk di kursi hitam kulit di belakang mejanya, mengetuk-ngetuk pensil ke atas kertas kosong. Ruangan kantornya terlihat lebih rapi dari biasanya. Lampu gantung yang hangat menggantung di atap, memantulkan bayangan-bayangan lembut di dinding. Namun, meskipun suasana di dalam ruangan tampak nyaman, di dalam hati Nick, badai sedang mengumpulkan kekuatan. Jendela terbuka sedikit, memungkinkan semilir angin sore yang sejuk masuk ke ruangan. Suara riuh kendaraan di luar terdengar samar-samar, tetapi pikiran Nick justru terjebak jauh di dalam kekalutan yang mencekik. Tiba-tiba, Nick mendengar suara pintu terbuka. Ia menoleh, dan mendapati Olivia Arden, kekasihnya, melangkah masuk. “Hey, apa yang terjadi? Mengapa kau terlihat tegang, Sayang?” lontar Olivia dengan senyuman manisnya, mengabaikan beban di dalam mata Nick. “Mengapa kau datang, Olivia?” Nick balik bertanya, melemparkan pensil yang ia pegang ke atas mejanya lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. “Di mana Garvin?” yang ia maksud di sini tentu saja asistennya yang biasanya selalu mondar-mandir di depan pintu ruangannya. Terkadang, Nick merasa kalau Garvin seperti Bodyguard yang sengaja disewa oleh Ayahnya untuk mengawasi dirinya. Olivia mengangkat bahunya, "Aku tidak melihatnya ketika aku sampai di depan pintumu tadi, mungkin pria itu sedang berada di dapur sekarang," jawabnya tak peduli. Olivia terus melangkah menghampiri Nick dan duduk di atas meja Nick tepat di hadapan kekasihnya itu. "Kau belum menjawab pertanyaanku," sungutnya, menatap Nick dengan wajah masam. "Ini semua gara-gara Jill," rutuk Nick. "Siang ini, Ayahku menghubungiku dan memaksaku untuk segera menikahinya. Menurut Ayah, Ibuku mencemaskan keadaannya jika dia harus terus tinggal bertiga saja dengan perawat dan juga Psikiaternya. Kebetulan semalam aku sudah bertemu dengan pria itu." "Siapa?" Olivia menatap Nick dengan wajah curiga. "Psikiater yang telah disewa Ibuku untuk menyembuhkan Jill. Aku pikir aku bermimpi karena terlalu mabuk semalam, tapi lihat ini!" Nick menunjukkan salah satu pergelangan tangannya yang memerah, "Ketika aku melihatnya tadi pagi, aku baru sadar jika semalam ternyata aku benar-benar pergi ke vila Mike untuk menemui wanita itu," terangnya. "Kau menemuinya? Untuk apa, Nick?" protes Olivia cemburu. "Padahal semalam aku telah memintamu agar kau membawaku pulang ke mansionmu. Tapi kau menolakku, dan kau malah pergi untuk menemui jalang itu?" Olivia terlihat sangat marah, dan Nick terpaksa meraih tangan kekasihnya itu demi menenangkannya. "C'mon, Olivia. Jangan salah paham," pintanya sambil menatap sang kekasih yang sontak membuang muka. Nick mendengus gusar atas reaksi Olivia itu. Sudah cukup siang ini ia dipusingkan dengan masalah Jillian, sekarang— ia juga harus membujuk Olivia. "Aku terlalu mabuk semalam. Aku benar-benar tidak sadar dengan apa yang kulakukan. Dan pagi ini, aku baru mengingat segalanya. Aku pergi ke vila Mike dan berteriak pada Jill agar wanita itu tidak mempengaruhi kedua orang tuaku." Salah satu sudut bibir Olivia mencuat naik. Yes, ini yang ia harapkan. Ia memang menginginkan agar Nick memarahi Jillian. Wanita tidak tahu malu yang telah berhasil menarik perhatian Mike. "Lalu apa yang terjadi?" tanyanya penasaran, sembari diam-diam melirik ke arah Nick. Nick menggelengkan kepalanya, "Aku tidak bertemu dengannya. Pria itu ... Psikiaternya yang sama gilanya dengan dirinya, menghalangiku untuk menemui Jill. Kau lihat sendiri, 'kan tadi bekas cengkeraman tangan pria itu?" rutuknya gemas. "Dan kita?" Nick melepaskan tangan Olivia lalu menyugar rambutnya dengan frustasi, "Siang ini Ayah mendesakku, kuharap kau mau mengerti kesulitan yang sedang kuhadapi." “Aku harus mengerti agar kau bisa menikahi wanita gila itu?” balas Olivia dengan nada sinis. Nick mengacak-acak rambutnya dengan geram. “Please, Olivia! Ayah dan Ibuku hanya ingin agar aku bisa membantunya. Setidaknya sampai dia sembuh dari depresinya,” ucapnya, suara Nick naik sedikit tanpa ia sadari. “Ayah berkata kalau Jill telah mengalami banyak hal setelah kecelakaan itu.” Emosi merebak di dalam hati Olivia, kecemburuannya terhadap Jillian seolah menyalakan api yang perlahan mulai membakarnya dari dalam. Namun ia tahu jika ia tidak bisa terus mendesak Nick. Pria ini akan meninggalkannya jika ia sampai melakukan hal itu. Dengan gaunnya yang menampilkan sebagian besar dadanya, Olivia memajukan tubuhnya. “Nick, kau yakin ingin mengorbankan cinta kita demi seorang wanita yang tidak kau cintai?” Ia mencondongkan tubuhnya ke arah Nick, suaranya menjadi lebih rendah. “Dengar, dia bukan jodohmu," bisiknya di samping telinga kekasihnya itu. “Aku tahu.” Nick menghela napas panjang, di saat yang sama— ia juga meragukan kata-katanya sendiri. “Tapi aku harus menikahinya. Lagipula Jill sedang berada di ujung jurang. Jika aku tidak membantunya, dan dia jatuh semakin dalam ke dalam depresinya— Ayah dan Ibuku pasti akan ...." “Akan apa? Jadi kau ingin menghabiskan separuh hidupmu untuk memperbaiki kesalahan Mike? Sementara kita, apakah kita hanya akan menunggu sampai wanita gila itu tidak membutuhkanmu lagi?” Olivia menggerakkan tangannya ke arah Nick, matanya membara dengan emosi. “Ini tidak adil, Nick. Tidak untukmu, dan juga untukku!” tekannya. Nick hanya diam, memikirkan semua kata-kata yang dilontarkan Olivia padanya. Sementara Olivia, ia sengaja menggunakan kesempatan itu untuk memanipulasi perasaan Nick dengan merenggangkan dasi yang tersimpul rapi di bawah kerah kemeja kekasihnya itu. “Kau tidak akan pernah bahagia kalau kau lebih memikirkan orang lain dan mengacuhkan perasaanmu sendiri,” katanya perlahan, dengan jemari yang bergerak lincah membuka kancing kemeja Nick hingga membuat d**a bidang kekasihnya itu terpampang di hadapannya. Olivia meneguk saliva dengan sulit saat melihatnya, sudah lama ia ingin menyentuh Nick— tetapi Nick membatasi diri. Hanya ingin melakukan pertemuan bibir dengannya. Selebihnya ... "Aku ingin kita melakukannya nanti, setelah kau resmi menjadi istriku. Aku ingin menjagamu." Ini yang selalu Nick ucapkan padanya di saat ia ingin agar Nick menyentuhnya. "Jangan!" Nick menangkap tangan Olivia saat tangan itu ingin menyusup masuk ke dalam kemejanya. Deru nafasnya mulai terdengar tak beraturan, dan Nick berusaha keras untuk meredakan gejolak yang ia rasakan terhadap Olivia. Wanita ini adalah penyelamat nyawanya, karena itu ia sangat menghargai kekasihnya ini. "Cukup, Olivia! Jangan pernah memancingku! Kau ... sama sekali tidak tahu apa yang bisa kulakukan padamu," ujarnya sambil melepaskan tangan Olivia. Nick mendorong kursinya ke belakang, kemudian beranjak dan melangkah ke arah jendela. "Pulanglah! Jika kau terus berada di sini, aku takut aku tidak akan bisa menguasai diriku." Olivia tersenyum kecut, tanpa mempedulikan larangan Nick— ia justru menyusul kekasihnya itu dan memeluk Nick dari belakang. “Nick, bagaimana jika kita kawin lari saja? Menjauh dari semua masalah ini?" usulnya. Nick menyingkirkan tangan Olivia dengan perlahan, dan kembali menghindari kekasihnya itu. "Maaf, aku tidak bisa melakukannya." Ia membalikkan tubuhnya hingga menghadap Olivia, lalu menatap kekasihnya itu dengan gelisah. Ada sebuah perasaan yang ingin meledak di dalam tubuhnya gara-gara sentuhan Olivia tadi, dan Nick mencoba untuk menahannya. Olivia menarik napas dalam-dalam. “Bagaimana dengan cintamu? Bagaimana dengan semua yang telah kita jalani selama ini? Apakah itu semua tidak berharga? Apa kau bersedia mengabaikan perasaanmu padaku demi wanita gila itu?” Nick menatap intens mata Olivia, menyadari bahwa pertanyaan kekasihnya itu adalah cara halus yang Olivia pergunakan agar ia bisa mengambil keputusan untuk dirinya sendiri. Sepersekian detik, ia merasa terombang-ambing di antara dua pilihan—satu di mana ia bisa bersatu dengan Olivia, dan yang lainnya di mana ia terikat dengan tanggung jawab untuk memenuhi permintaan kedua orang tuanya. Kepala Nick berdenyut dengan pikiran-pikiran yang berputar, dan jujur saja, ia merasa tersiksa. “Nick.” Olivia memecah keheningan. “Kau hanya punya satu hidup. Jika kau tidak memilih kebahagiaanmu, siapa yang akan?” “Olivia ….” Nick terdiam, tidak tahu harus berkata apa lagi. Pikirannya berputar, mencari jalan keluar dari situasi ini. “Aku .…” Ketegangan di antara ia dan Olivia sontak semakin memanas. Olivia mendekat, membiarkan tubuhnya menyentuh tubuh Nick. “Buktikan padaku bahwa ada hal yang lebih berharga daripada apa yang diinginkan oleh kedua orang tuamu. Buktikan padaku bahwa kau ingin menua bersamaku.” Hati Nick bergetar. “Tapi, apa yang bisa kulakukan?” dengus Nick. “Bagaimana jika kita pulang bersama ke mansionmu?” usul Olivia dengan nada menggoda, sembari melingkarkan lengannya di leher Nick dan memandang kekasihnya itu dengan intens. Ia menarik tengkuk Nick ke arahnya, memberikan satu ciuman lembut yang penuh gairah. Otak Nick berputar, merasakan atraksi yang menggetarkan di antara mereka. “Olivia ….” Desahnya pelan. Namun, saat keduanya terjebak dalam momen itu, pikiran tentang Jillian dan keluarganya muncul lagi ke dalam benak Nick. Dengan cepat ia menarik kedua tangan Olivia yang melingkari lehernya kemudian mengakhiri kecupan panas mereka. “Sekarang bukan waktu yang tepat,” tegasnya, meskipun hatinya berdegup kencang. “Lalu kapan? Oh Nick, berapa lama lagi kau ingin terus menjalani hidup yang seperti ini?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD