Obat hati

2752 Words
Kala itu Roselind mengirimiku pesan singkat untuk bertemu. Dan tentu saja aku menyempatkan waktuku setelah lama tak bertemu dengannya. Kami bertemu disebuah caffe unik di pinggir kota Living Well. Untuk ukuran caffe pinggiran kurasa sense yang dipunya si pemilik cukup bagus. Nilai estetik yang aku rasakan kental kurasakan apalagi dia memilih dekorasi bertemakan neo classic. Nice choice Roselind, dia memilih tempat bertemu yang bagus. Kala aku datang, Roselind sudah duduk manis dimejanya. Ketika sadar aku menghampiri dia melambaikan tangannya padaku. Kurasa kekhawatiranku berlebih, sebab aku melihat dia sudah cukup puas dengan hidupnya sekarang. Aku menysukuri kejadian baik yang menimpanya. “Aku kangen sekali padamu.” Dia memberiku sebuah pelukan singkat. “Aku juga begitu.” Aku menjawab pernyataan menggebu-gebunya dengan kalem. Roselind tersenyum pula. Untung saja sebelum bertemu aku sempat dihibur Leivh sehingga pertemuan kami menjadi lebih baik. “Bagaimana kabarmu sekarang ?” Aku bertanya lagi padanya, dan kali ini dirinya memamerkan tanda pengenal yang menggantung di dadanya. Jurnalis ?  pun seorang reporter. “Kamu pasti sudah tahu bakatku kan ? kali ini aku bisa menyalurkannya dengan cara yang tepat. Aku menjadi reporter dan masuk dalam perekrutan karyawan dengan point yang bagus.” Aku tersenyum, Roselind memang tipikal wanita yang cocok dengan pekerjaan apapun. Aku lebih bahagia mengetahui jika Roselind jadi bisa lebih terbuka dan jujur dengan dirinya sendiri. “Syukurlah aku senang kau bisa mencapai apa yang kamu inginkan.” “Jangan meremehkan aku Aghta, meski aku dipecat dari perusahaan suamimu dengan tidak hormat tidak berarti aku harus terpuruk. Inilah cara terbaikku untuk balas dendam. Akan aku tunjukan kalau aku bisa lebih maju dari si wanita sialan yang bisanya cuma pakai tameng air mata. Cih..” Dan kebencian Roselind tak sepenuhnya menghilang pada Meisei. Begitupun aku yang meskipun aku dahulu tak merasakan apapun padanya, kini rasa benci mulai menjalar pula. Sebab Meisei selalu menyulut pertengkaran antara aku dan suamiku. Dan jujur saja berdebat dengan Grigorii adalah hal paling berat dan melelahkan selain pekerjaanku. “Aku harap wanita tidak tahu diri itu jadi gelandangan seperti asalnya.” “Apa maksudmu ?” “Ya, kau pernah dengar jika haters adalah fans yang tertunda. Begitupun aku Aghta. Aku berusaha mencari fakta tentang selingkuhan suamimu. Tapi aku tak bisa menemukan apa-apa kecuali  jika dia dulu adalah seorang gelandangan. Kurasa suamimu bekerja keras menutupi masa lalu perempuan itu.” Aku tak berkomentar lagi. Topik ini sangat aku hindari, karena selalu berhasil memancing emosiku yang terpendam. Meski begitu Roselind tak jua berhenti mengumpat soal wanita simpanan suamiku. “Aku rasa aku melukai perasaanmu Dear, maafkan aku. Sesekali aku ingin kau juga bisa menyuarakan isi hatimu. Aku khawatir karena kau punya kebiasaan buruk menutup diri sendiri seperti itu.” Roselind benar. Sejak tak ada dirinya aku tak punya kawan bicara yang sepadan untuk menceritakan keluh kesah yang menimpaku. Meski luka yang aku dapat dari Grigorii dapat hilang sementara oleh kehadiran Leivh. “Ada yang ingin kau ceritakan padaku Dear ?” Aku menatap Roselind, ekspresi yang aku sembunyikan perlahan muncul kepermukaan. Tak sampai menangis hanya sendu. Tak lebih dari itu. “Oh.. apa yang kali ini si b******k itu lakukan padamu ?” “Ya, Meisei mendatangiku dan bilang dia akan menikah dengan suamiku. Lalu hari berikutnya aku berdebat lagi dengan Grigorii” “Apa masalah jalang itu sih ? kenapa dia terus terusan menembus batas yang ada? Suamimu bodoh atau gak punya otak sih ?” Lagi-lagi Roselind mewakilkan perasaanku. Dia sangat emosi mendengar penuturanku. Aku dibuatnya lega. Meski dia memaki suamiku aku sudah tenang. Sebab aku tak pernah berkata kasar pada siapapun. Semarah apapun aku. Aku masih sanggup menjaga ketenangan, namun akhir-akhir ini tidak lagi bisa seperti itu. “Dengar, aku tak tega kau terus berada disituasi ini. Apa kau sendiri sangat mencintai suamimu hingga rela dibodohi begini ?” Jawabannya bukan karena cinta. Namun karena aku yang egois ini enggan meninggalkan apa yang aku miliki sekarang. Aku sudah bersusah payah campur tangan hingga membuat perusahaan mertuaku berada pada puncak kejayaan. Aku tak rela jika harus meninggalkan buah dari hasil kerja kerasku bersama Grigorii hanya karena diterpa angin kecil seperti Meisei. Namun aku tak bisa bilang  hal itu. Sebab orang lain tahu bila aku dan Grigorii adalah pasangan paling harmonis. Ya, diluar memang tampak seperti itu dan lagi itu dulu. “Entahlah..” Aku memilih membuat jawaban mengambang dan kali ini Roselind menggenggam tanganku. Tatapan matanya begitu serius. “Dear, jika kau bisa terbuka padaku aku akan sangat bahagia. Aku akan membantumu kembali bahagia. Jika kau memang tak ingin menyerah aku akan melakukan apa yang kubisa semampuku. Tapi kau harus ingat kau tidak ada kaitannya dengan keputusanku nanti. Aku melakukan sesuatu bukan karena kamu. Tapi untuk diriku. Kau harus ingat itu.” Aku tak paham apa yang dikatakannya. Namun aku mengangguk begitu saja, membuat senyum tulus merekah pada bibirnya yang dipoles lipstik merah darah. “Bersemangatlah ! aku tahu orang-orang yang sungguh tulus padamu itu ada. Salah satunya aku. Jangan berpikir jika kau sendirian. Oh iya, aku bertemu ibumu beberapa waktu lalu. Kurasa kau harus menemui beliau. Luangkan waktumu dan ambilah cuti. Kurasa kau membutuhkannya sekarang.” Ide bagus. Aku tahu jika mentalku sudah cukup lelah dan aku butuh istirahat. Sepertinya saran dari Roselind akan aku pertimbangkan. Aku kembali menyeruput kopi yang kupesan. Sedang Roselind kembali disibukan dengan cerita-cerita yang dia jabarkan secara atraktif. *** “Aku mengajukan cuti.” Grigorii mengernyitkan dahi ketika aku membawa form cuti kemejanya. Pria itu seolah sedang mengintimidasi aku lagi dengan tatapannya. “Apa alasanmu kali ini ? liburan dengan kekasih barumu ?” Kali ini aku yang merasa hatiku bergemuruh dan balas menatapnya sengit. Kenapa dia hobby sekali mengangkat topik tak masuk akal. Jika benar pun, apa hak nya untuk mengetahui urusan pribadiku ? bukankah dirinya yang lebih dulu berselingkuh ? “Kurasa hal pribadiku tidak ada kaitannya dengan anda.” “Bagaimana aku bisa memberimu izin jika kau bahkan tak mau mengatakan alasanmu.” Aku menghela napas. Berdebat dengan Grigorii memang super duper melelahkan. “Aku ingin bertemu ibuku.” Kulihat ekspresinya membatu, raut penyesalan dia perlihatkan padaku. Karena ujaranku apa adanya dan aku sama sekali tidak sedang membohonginya. “Kau tak perlu cuti, kau bisa pergi kepada beliau kapanpun kau mau. Aku akan memberimu izinku. Otoritasmu penuh untuk masalah ini.” Kali ini nada suaranya merendah, aku tak percaya dia bisa kembali bersikap normal padaku setelah memberikanku nada tinggi dalam setiap percakapan. “Aku akan pergi agak lama.” Kataku lagi, kulihat dia tersenyum lemah. Apa suamiku sekarang mengidap penyakit mental yang bisa mengubah moodnya dalam sesaat ? “Silahkan, aku memberimu izin.” “Terimakasih.” Aku membungkuk sedikit padanya, kemudian mulai mengambil langkah untuk beranjak pergi. Urusanku dengan Grigorii sudah selesai dan aku bisa bernapas lega karena pembicaraan kami berakhir cukup normal tidaks eperti perdebatan kami sebelum-sebelumnya. “Sampaikan salamku pada beliau. Maaf aku tak bisa berkunjung bersamamu.” Dia kembali berseru membuatku menghentikan langkahku sejenak dan berbalik menatapnya lagi. Dia nampak menundukan kepalanya. Sedang menyesalkah ? “Tak apa, aku akan menyampaikannya pada ibu.” Aku menandaskan ucapanku berharap pembicaraan bisa tuntas. Ketika aku meraih handle pintu lagi-lagi Grigorii bersuara lagi. “Apa kau tidak berniat mengajakku ?” Aku tak repot membalik tubuhku, aku membiarkan diriku mematung disana. Meski suara Grigorii nampak sarat akan sebuah permohonan yang tulus. Aku mengabaikannya. Aku mencoba bersikap realistis. Setahuku dirinya adalah orang yang cukup dingin untuk bergaul dengan keluargaku. Dia hanya bertemu dua kali dengan ayah dan ibuku hanya pada saat makan malam sebelum pernikahan. Dan saat acara pernikahan kami berlangsung. Selebihnya dia tak pernah mau peduli. Aku maklum. Sebab dia memang tak punya hati padaku. Jadi akan sangat masuk akal jika dia memperlakukan keluargaku seperti itu. Dia tidak berniat menjalin kekeluargaan, dan tak ada niatan untuk mencuri hati kedua orangtuaku. Mengapa dia bersikap sepert ini ? “Aku tahu kau sibuk.” “Iya kau benar. Aku sangat sibuk sekarang.” Nada suaranya kembali naik, aku menghela napas. Karakter Grigorii sudah sangat jauh berbeda dan kini aku sudah merasa lebih asing padanya. “Apa sekarang kau marah padaku ?” Aku kini berbalik menghadapnya. Niatan untuk pergi kandas lagi karena pria itu seolah sedang mencoba untuk mengulur waktu. “Tidak. Sejak awal kau memang tidak pernah menganggapku.” Aku menepuk keningku, aku merasa serba salah sekarang. Statment nya yang berkata bahwa aku tidak menganggapnya adalah hal terkonyol yang baru kali ini aku bisa dengar. Aku disini meminta izinnya adalah bukti jika aku menghormati dirinya, menghargai dirinya sebagai atasanku. Kolega kerjaku. Lalu darimana dia bisa memiliki anggapan begitu. “Kau kekanakan Grigorii.”  Aku tak percaya menyuarakan apa yang ada dalam pikiranku secara gamblang padanya. Grigorii nampak terkejut atas jawaban singkatku. Aku tak buang waktu lagi. Kuraih handle pintu dan melangkah menjauh. Bersamanya hanya membuat kepalaku sakit. *** “Kau tidak apa-apa sayang ?” Suara Meisei yang lembut memberikan sebuah sensasi menenangkan yang Grigorii butuhkan. Wanita itu memeluk dirinya dari belakang. Kepalanya dia sandarkan pada d**a sintal wanita itu. Nyaman. “Meisei, apa kau punya orangtua ?” Wanita itu sedikit terkejut dengan pertanyaan Grigorii. Meisei melepaskan pelukannya kemudian duduk disebelah pria itu. Dia menepuk pahanya sebagai isyarat agar Grigorii mau membaringkan diri. Pria itu menurut, dia melakukannya. “Kenapa kau menanyakan itu ?” Meisei mengelus kepala pria itu, melihat Grigorii yang rileks dengan perlakuannya membuat Meisei cukup lega juga bahagia. “Aku ingin menemui mereka.” Kali ini raut Meisei berubah sendu, menyadari jika wanitanya tak bersuara juga. Akhirnya dia membalik posisi dan memandang lurus pada wajah Meisei yang kini menunduk padanya. Dia seperti tengah menahan air mata. “Meisei, kenapa ?” Pria itu mengulurkan tangan, menangkup penuh pipi sang kekasih. Mencoba menyalurkan kehangatan sebisanya. “Sangat disayangkan, aku tak punya orangtua.” Bulir air mata seolah siap untuk menetes kapan saja. Kesenduan yang kentara membuat Grigorii urung menguak masa lalu wanitanya. Dia tak pernah ingin perempuan itu bersedih. Namun dalam hati terdalam dia berharap wanita mau membuka diri. Membeberkan segalanya yang tak dia tahu. Kemudian memberikan hati sepenuhnya. “Oh.. sayang. Maafkan aku.” Grigorii mengelus pipi Meisei, tangis yang hampir pecah tertahan sementara. Membuat Grigorii bisa bernapas sedikit lega sebab berhasil mengatasi sifat kekasihnya yang dasarnya memang mudah tersentuh. “Tidak apa-apa aku memang perempuan yang malang.” Dia menggelengkan kepala, mencoba memberi isyarat non verbal pada Grigorii bahwa pria itu tak perlu mengujar maaf. Sejak awal memang pria itu tak pernah berbuat kesalahan padanya. Dan karena sisi lembut yang dimiliki Grigorii ego yang dia miliki tak bisa dibendung. Dia menginginkan pria itu. Seutuhnya. “Tidak karena aku ada disampingmu.” Sensasi kupu-kupu yang beterbangan, Meisei merasakannya. Pria itu jelas tulus terhadap segala tindak tanduknya. Tak ada kepura-puraan. Sebab dinginnya pria itu membuktikan bila perangainya sekarang hanya dipersembahkan semata-mata hanya untuk dirinya. Perempuan yang tak sengaja menghisap manisnya madu dari musibah yang menantinya. “Terimakasih Grigorii aku mencintaimu.” Dan kata cinta menjadi penutupnya. Bibir mereka menyatu, satu napas seirama dengan detak jantung yang kian menggila. Seperti biasa Meisei akan selalu memberikan akses pada pria itu untuk mengeksplorasi mulutnya. Membiarkan lidah pria itu bermain mengabsen deretan giginya. Tautan yang liar tak dapat terhindarkan. Hingga kemudian deru napas memburu dia rasakan. Badannya menghangat. Grigorii mengambil alih, dibaliknya posisi hingga kemudian dirinya membuka bagian atas tubuhnya sendiri. Dengan begitu petualangan menuju nirwana kembali didaki *** Aku melakukan riset terakhir, beberapa dokumen yang dirasa sangat penting sudah aku tandaskan. Untuk meringankan beban pikiran jua ketika diriku tak sedang berada dikantor. Persiapan peluncuran produk pun sudah hampir delapan puluh tujuh persen. Tinggal mempertemukan model iklan saja, dan melakukan syuting. Selesai sudah. Namun aku kali ini membutuhkan waktu sendirian. Pundakku terasa letih oleh sesuatu tak kasat mata. Beban yang Grigorii tibankan padaku sudah mencapai titik tertinggi dari kesabaran yang aku bisa tahan. Tubuhku mengendur. Aku membiarkan tubuhku rileks pada kursi di ruang kerjaku. Sembari memijat pelipis. Entahlah kurasa memang kehidupanku jadi lebih rumit dari sebelumnya. Aku memutar kursi hingga menghadap jendela besar yang tak tertutup apapun. Memandang langit yang telah berubah warnanya menjadi kelam hitam serta lampu lampu yang bercahaya bak kunang-kunang dari atas sini. Pemandangan yang tidak terlalu buruk untuk menghilangkan penat. Lebih baik jika diriku bisa meraup udara disana. “Bu Direktur, anda masih didalam ?” Leivh mengetuk pintu sembari berseru diluar sana. Pemuda itu memang kerap pulang dijam yang sama denganku. Mungkin untuk menarik perhatianku, dan mendapatkan stigma positif sebagai karyawan dengan loyalitas tinggi. Yang manapun itu aku tak peduli. Selama itu masih dalam hal yang positif. Aku tak menyahut, namun pria itu tanpa seizinku membuka pintu. Aku membiarkannya. Lagipula sudah diluar jam kerja, aku tak berhak membatasi tingkah lakunya lagi. Kali ini dia mendekat, sembari memasang senyum yang tulus. “Bu Direktur, bukankah sebaiknya anda bergegas untuk pulang ?” “Pulanglah duluan, besok kau harus ada disini lagi. Sekarang aku ingin sendiri.” Aku berkata tanpa perlu repot-repot membalik wajahku. Aku masih stagnan. Duduk disana dengan kursi yang menghadap keluar sana. “Jika tidak keberatan dapatkah saya menemani anda ?” “Kau tidak perlu berbuat sejauh itu untuk mendapat stigma baik dariku.” “Tidak, aku menawarkannya padamu karena aku peduli. Bukan karena ingin mendapat timbal balik.” Kali ini suaranya serius, bahkan nada bicara formalnya sudah menguap entah kenapa. Aku berbalik. Pria itu sedang sibuk melonggarkan dasinya sembari membuka satu kancing kemejanya dan menggulung kedua lengannya hingga sebatas siku. Dia menatapku lagi dengan cengiran lebarnya. “Kau butuh refreshing. Dan aku tahu tempat yang tepat untuk itu.” Aku menautkan alisku tak mengerti. Ada apa dengan ambisi pemuda ini ? kenapa dia bersikeras menemani atasannya hanya karena aku kini sedang dalam situasi yang muram ? “Baiklah aku menyerah. Aku akan mengikutimu kali ini.” Senyum sumringah dia berikan padaku secara Cuma Cuma. Seolah keturutsertaanku dalam ide sederhananya adalah sebuah berkah dan karunia. Diam diam aku mengagumi dirinya yang bisa dengan terbuka melepaskan semua ekspresi tanpa perlu memikirkan apa yang dikatakan oranglain terhadap dirinya. Leivh adalah manusia jenis lain yang baru kali ini aku temui. Mungkin juga karena lingkar pertemananku sangat terbatas. Dia mengulurkan sebelah tangannya. Aku mengerutkan alisku lagi. Dia berdiri dengan canggung, setelah sadar bila aku masih berdiri kaku didepannya tanpa merespon uluran tangannya. Pria itu menggaruk tengkuknya. “Kurasa kau tidak mengerti maksudku ya ?” “Apa tujuanmu mengulurkan tangan ?” Sungguh, alasanku untuk bertanya bukan karena aku tak mengerti maksudnya. Namun lebih pada mempertanyakan motif sesungguhnya dia berlaku demikian. Hidupku sudah cukup sulit dengan perubahan sikap Grigorii, aku tak ingin menambah masalah dengan terlalu dekat dengan Leivh yang kini selalu berada disisiku. “Aku meminjamkan tanganku untuk kau genggam. Tapi aku lupa jika kau bukan perempuan yang sama dengan yang ada diluarsana.” Dia mengedikan bahu santai, seolah apa yang dilakukannya barusan sama sekali bukan masalah. Inilah salah satu hal yang membuatku mengagumi dirinya. Dia bisa dengan bebas melakukan apa saja tanpa memikirkan pendapat oranglain padanya. “Terimakasih karena sudah memahaminya.” Kini aku berjalan didepannya. Mengabaikan eksistensinya sementara. Namun pria itu tak begitu saja membiarkan aku mengacuhkannya. Dia dengan cepat berdiri disampingku. Menyamakan langkahku yang bisa dibilang kupaksakan untuk satu langkah didepannya. Namun usahaku sia sia karena Leivh selalu berhasil menyamakan langkahnya denganku. “Jika Bu Direktur tidak suka ditemani seharusnya bilang saja dari awal. Jangan plin plan begini.” Aku tahu jika pria itu sedang mencoba menyindir tindakan implisit yang kulakukan padanya. Namun aku yang pada dasarnya tak ingin kalah tak mungkin begitu saja memperlihatkan rasa tersinggung. “Aku sedikit tidak nyaman berada didekatmu.” “Benarkah ? apa karena aku terlalu santai ? apa aku harus berprilaku seperti suamimu ?” Kali ini aku menghentikan langkahku. Kemudian mengambil langkah berdiri didepannya. Menatapnya dengan tak suka. “Apa aku mengatakan sesuatu yang tepat hingga kau maju dihadapanku seperti ini ?” “Kau tidak berhak berkomentar pada sesuatu yang bukan pada porsimu. Kedepannya kuharap kau bisa menjaga sikap. Meski kau berada disampingku sebagai sekretaris pribadiku. Kau tak berhak campur tangan terhadap segala hal pribadiku.” “Kurasa anda sedang dalam kondisi hati yang buruk Bu Direktur, emosional anda tidak terkontrol seperti biasanya.” Aku menyapu wajahku. Leivh benar, aku terlalu emosional hingga aku bertindak sesuai kata hati. “Apa kali ini kau berdebat lagi dengan suamimu ?” Lagi ? aku tak bisa menebaknya. Mengapa dia bisa mengetahui prahara yang menimpaku. Tapi apa yang dikatakannya sangat tepat, hingga aku tak tahu harus menjawab seperti apa. “Sudahlah.. bukankah kau bilang akan mengajakku refreshing ?” “As you wish Lady..” Dia mengubah suasana yang sempat menegang tadi dengan kembali berprilaku seperti biasanya. Lagi lagi perasaanku terobati olehnya   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD