Pertemuanku dengan Sir Kharald kembali berlanjut. Setelah membicarakan soal untung rugi diantara kami. Pria itu meraih pematik dan mengeluarkan sebatang rokok dari saku bajunya.
Namun sebelum menyalakannya dia menatapku seolah meminta persetujuan. Aku tak berkomentar.
"Bolehkah ?"
Katanya memamerkan rokok yang sudah terselip di jemarinya. Aku mengangguk. Lagi pula ini diluar ruangan. Kami sedang makan siang bersama.
"Silahkan."
Kataku padanya sembari meraih gelas berisi air putih. Lagi-lagi aku menangkap ada yang janggal dari tatapan Sir Kharald padaku. Dia seolah sedang merasa simpati, terintimidasi, juga benci. Entahlah terlalu kompleks untuk dijabarkan.
"Ada yang salah dengan wajah saya ?"
Aku memancingnya bicara karena pria itu tak bersuara sejak sibuk menghisap nikotin miliknya. Dia memejamkan matanya beberapa detik sebelum menatapku lagi.
"Entahlah.. aku harus bilang apa. Kau itu bodoh atau orang yang kuat."
Untuk sesaat aku tak sadar kemana arah pembicaraan Sir Kharald bermuara. Namun setelah berpikir, aku menuju pada satu kesimpulan. Dia membicarakan soal masalah pribadiku.
"Asumsi anda tidak akan mempengaruhi hidup saya Sir."
Kataku dingin. Pria itu hanya tersenyum, tidak lebih tepatnya berseringai.
"Seperti biasanya Anda. Itulah pesona anda."
Aku mengernyit. Apa-apaan pria ini. Sebentar mencela sebentar kemudian memuji.
"Pertemuan kita untuk membahas segmentasi pasar bukan ? Bisakah kita hentikan topik ini ?"
Laki-laki itu mengedikan bahu. Kemudian kembali mencicip rasa dari benda kecil dijemarinya.
"As you wish.."
Kemudian kami kembali pada topik pekerjaan. Sesekali Sir Kharald bertanya padaku dan aku menjawab sesuai dengan pengetahuanku. Komunikasi kami cukup nyambung hingga diskusi dapat berakhir dengan cepat. Dia juga sudah memilih beberapa model pakaian yang aku ajukan. Tinggal bagian iklan saja. Dan sekali lagi dia menyerahkan hal tersebut padaku.
"Bagaimana jika kita menggunakan dia ? Kurasa dia cukup terkenal akhir-akhir ini."
Aku memperlihatkan sebuah potret dari model sekaligus selebriti yang merupakan kenalanku. Petya.
"Ya, cukup bagus.."
Aku menunggu pria itu kembali memberikan opini. Namun seolah itu tercekat ditenggorokannya. Dan kemudian menggelengkan muka sembari melihat kearahku.
"Ada masalah Sir ?"
"Tidak, aku setuju. Gunakan saja dia."
Aku mengangguk kemudian memberi isyarat dengan melirik arloji milikku. Sir Kharald yang peka terhadap kode dariku kemudian berdiri terlebih dahulu.
"Kurasa hal yang kita bicarakan sudah tuntas. Terimakasih, bertukar pikiran denganmu cukup nyaman."
Pria itu mengangguk sedikit sebelum kemudian memberiku senyumnya. Dia lalu beranjak menuju mobil yang terparkir didepan sana. Aku membalas dengan senyum seadanya kemudian kembali berkutat pada sisa-sisa pembicaraan kami.
***
Grigorii melirik kearah kaca samping dan dia menemukan sosok istrinya sedang bercengkrama dengan seorang pria asing. Mereka nampak serius membicarakan sesuatu. Sesekali Aghta istrinya menimpali, detik berikutnya ekspresi wajahnya berubah kaku. Terakhir dirinya melihat istrinya tersenyum dan memberi lambaian tangan pada pria itu. Sejenak dia merasa penasaran, sebab musababnya. Dia merasa telah tersaingi. Tak buang waktu Grigorii memacu mobilnya menuju kantor. Bicara dengan Ustin mungkin bisa jadi jalan keluarnya.
"Apa yang ingin anda tanyakan ?"
Ustin menatap lurus sang bos. Kedua tanganny terhenti dari kegiatan memeriksa data. Hal lain yang terjadi dan ustin merasa pria itu mungkin menemukan hal menarik lainnya.
"Siapa pria yang bersama istriku ?"
Butuh waktu lama bagi Ustin untuk mencari kepada siapa kata istri itu lebih ditujukan. Namun dirinya memberi senyum kecil sebelum menggigit penanya.
"Siapa yang anda maksudkan ?"
"Aghta, siapa lagi jika bukan dia ?"
"Ah.. Miss Aghta rupanya."
Ustin mengambil beberapa dokumen yang terselip di meja arsip. Membuka salah satu berkas kemudian menunjukan secara bebas pada Grigorii sosok yang dimaksudkannya.
"Apa dia ?"
Grigorii termenung sejenak, dia tak tahu bagaimana rupa wajahnya. Namun perhatiannya terpusat pada surai blonde keperakan dan kulit eksotis milik pria dalam foto tersebut. Grigorii yakin mereka orang yang sama
"Ya dia."
"Namanya Sir Kharald, dia investor kita. Dia bekerja langsung dengan Miss Aghta."
Grigorii memperlihatkan wajah tak suka yang langsung bisa dibaca Ustin.
"Aku tak percaya dia bisa tersenyum pada pria lain."
Ustin mengernyit, sebentar kemudian ekspresinya menjadi senyuman mengejek. Dia tahu kendala sang Bos. Dan baginya akan lebih menarik bila laki-laki itu sendiri yang mengetahui jawabannya.
"Kurasa aku ada persiapan meeting evaluasi karyawan. Aku harap kau bisa membiarkanku pergi."
"Tentu silahkan lakukan tugasmu."
Sepeninggal Ustin, lagi-lagi tangannya mengepal. Entah mengapa Aghta selalu sukses membuatnya marah dan emosi. Apapun yang dia lakukan selalu berakhir dengan ketidaksukaannya.
"Ah.. ini memuakan."
***
Aku bukanlah orang yang buta. Aku bisa merasakan adanya perubahan drastis dari sikap Grigorii padaku. Meski aku tak mengharapkan adanya sikap manis seperti apa yang dilakukannya pada Meisei tapi setidaknya aku merindukan sikap membosankan namun damai diantara kami. Bukan penuh konflik dan saling menyudutkan seperti sekarang. Terkadang aku bertanya pada diriku sendiria apa yang sesungguhnya aku cari hingga rela berada dalam situasi seperti ini. Entahlah aku terlalu mencintai posisiku yang sekarang. Aku menyukai pekerjaanku hingga mampu melakukan segalanya dengan itu. Aku berusaha sebisaku untuk tidak terlibat dengan mereka. Namun selalu saja ada kesempatan yang membuatku terjebak dalam pusaran hubungan mereka. Dan tentunya dalam posisi yang selalu jatuh untuk dipersalahkan. Usai pertemuanku dengan Sir Kharald beberapa waktu lalu, aku terus mencari kesibukan dan tak henti berkutat dengan pekerjaanku. Entah itu memikirkan soal rancangan terbaru, mode teranyar, keuangan, hingga menjalin kedekatan dengan investor. Dan untuk opsi terakhir aku merasa agak sulit melakukannya. Sebab Sir Kharald adalah orang paling kaku yang dia temui. Entah apa yang pria itu pikirkan padaku aku sama sekali tidak bisa menerka apa yang ada dalam benaknya. Entah dia membenciku atau sebaliknya sebab pria itu terakhir kali mengkritik sikapku terhadap Meisei. Wanita simpanan suamiku. Aku menghela napas panjang. Tatkala melihat beberapa dokumen yang harus kuserahkan pada Grigorii untuk ditandatangani. Bertemu muka dengannya setelah bersikeras menjaga jarak adalah hal tercanggung yang harus aku lakukan demi profesionalitas kerja. Sepertinya aku harus melakukannya. Menemui Grigorii.
Aku memacu langkahku dengan sedikit agak gontai. Butuh waktu bagiku untuk terus berpikir ulang terhadap apa yang aku lakukan sekarang. Namun apa boleh buat. Tiba dipintu ruang kerja Grigorii, aku mengetuknya sekali sampai pria itu berkata “masuk” sebagai tanda aku bisa menemuinya. Ketika aku membuka pintu dia menatapku dengan sedikit terkejut. Mungkin tak menyangka aku akan menghadapinya setelah hampir sepekan terus beralasan untuk tidak bertemu. Dan perhatianku terpusat pada hal lain. Aku mencari tanda keberadaan oranglain diruangannya. Namun sepertinya tidak ada siapapun selain Grigorii. Aku sedikit lega, sebab aku tak bertemu dengan sosoknya.
“Rupanya kau.”
Aku memilih mengabaikan kata sambutan darinya dan menyerahkannya beberapa dokumen untuk dia setujui. Ada alasan mengapa aku sendiri yang menyerahkannya. Aku tidak begitu mempercayai Leivh. Meski dia meiliki predikat sebagai asisten pribadiku, kepercayaan bukanlah sesuatu yang mudah aku berikan pada seseorang. Dan hanya pada Roselindlah aku memberikan kata percaya itu sepenuhnya.
“Aku tidak menyangka jika kau memiliki ketertarikan pada pria asing.”
Aku mengernyit saat pria itu dengan mudahnya mengatakan sesuatu tak masuk akal. Dan lagi tanpa menatap mataku.
“Apa maksud anda ?”
“Makan malam dengan pria lain, tapi mengabaikan undangan makan malam dari suami sendiri.”
Lagi-lagi topik yang tak berguna. Sejak mengenal Meisei dalam hidupnya, aku merasa Grigorii kehilangan sedikit demi sedikit kewarasannya. Buktinya dia mengungkit sesuatu yang bodoh disaat aku menghadap dirinya sebagai seorang direktur.
“Itu bukan sesuatu yang harus kau perhatikan.”
Kataku mantap, aku bisa melihat dia tak suka dengan jawabanku. Bahkan dia sedikit meremas proposal yang aku bawakan padanya. Mengapa ? apakah menemani seorang kolega setelah membicarakan soal bisnis adalah sebuah tindakan tercela ? aku menyimpannya dalam hati dan senantiasa menjaga ketenanganku. Pria itu meninggalkan berkasnya. Dia kini menatapku lurus. Dengan tajam, dan penuh intimidasi. Ada apa ini ?
“Bagaimana aku tak bisa memperhatikan jika kau sengaja membuatnya terlihat ?”
Seharusnya aku yang mengatakan itu padanya. Bagaimana dirinya sudah begitu melukaiku dengan tidak menganggapku lagi sebagai pasangannya. Bagaimana dia menyalahkanku atas segala kesedihan pujaan hatinya meski aku tak tahu menahu meski aku menolak terlibat. Aku menagan suaraku. Membuatnya kentara jika aku tak ingin membahas hal tersebut sekarang disini.
“Akan aku anggap diammu sebagai pengakuan kedekatan kalian.”
Pria itu menunjukan senyum mencela yang tentu saja sekali lagi melukai harga diriku.
“Sebenarnya apa yang kau inginkan dariku ?”
Aku tak tahan dan kemudian menyuarakan apa yang ada dibenakku. Aku sudah mencoba untuk tidak ikut campur dalam masalah percintaannya. Tapi sekarang kenapa dia seolah sedang menuduhku tengah berselingkuh ?
“Hah ?”
Seolah tak percaya dengan apa yang aku katakan lagi-lagi dia memberiku tatapan meremehkan.
“Aku tidak masalah jika kau ingin memiliki kekasih diluar hubungan kita. Tapi kau juga harus bisa menahan dirimu. Dengan statusmu sekarang kau akan kehilangan harga diri yang kau banggakan itu.”
Aku membeku. Jawaban darinya adalah hal paling menjijikan yang bisa aku dengar. Apa-apaan pria ini begitu ingin mengurus hidupku.
“Aku tidak tahu apa yang kau pikirkan. Tapi tidak ada yang seperti itu dalam hidupku.”
Aku berharap bisa segera berlalu, namun pria itu seolah sengaja mengulur waktu dengan tak memberikanku pergerakan ditangannya. Dia belum menandatangani apapun. Dia belum memberiku apa yang aku butuhkan.
“Oh ya ? dengan keluar malam-malam bersama Sir Kharald yang tampan dari negara lain. Bukankah itu sangat menyenangkan ?”
“Bukankah sudah aku peringatkan untuk menjaga garis masing-masing ?”
Aku menahan amarahku. Meski nada suaraku sedikit naik. Sudahlah ini terlalu bertele-tele dan aku membenci ini.
“Maksudnya kau tidak ingin aku peduli padamu sebagai seorang suami ?”
Setelah semua yang terjadi kenapa dirinya bersikap seolah seperti seorang suami baik yang terhianati ? aku merasa tak melakukan sesuatu yang salah sehingga harus diadili seperti ini. Seharusnya aku yang marah padanya sebab tak konsisten terhadap perjanjiannya. Seharusnya jika ingin berlaku seperti itu harus ada cinta diantara kami. Tidak seperti ini. Satu-satunya yang aku tahu dia telah jatuh cinta pada perempuan yang ditolongnya. Bukan aku yang menjadi istrinya selama empat tahun lalu. Tapi meski begitu aku tidak mengharapkan mendapatkan apa yang disebut cinta darinya, sebab pernikahan kamipun terjadi diluar kuasa kami. Baik dia maupun aku hanya bertugas memenuhi kewajiban keluarga saja. Sial aku jadi rindu ibuku.
“Bisakah anda memberikan saya tanda tangan saja ? saya rasa anda sudah terlalu lama menahan saya disini dengan diskusi diluar pekerjaan.”
Aku memberikan bahasa formal padanya. Dan pada akhirnya pria itu memberikanku tanda tangannya, meski kini matanya menyendu menatapku. Aku tak peduli dengan itu, aku hanya berpikir supaya bisa segera berlalu dari ruangannya. Aku membungkuk sedikit padanya kemudian membawa langkahku lebar-lebar. Aku butuh oksigen yang sehat, bukan udara dari ruangan Grigorii yang seolah mencekikku dengan asumsi, membuatku tertahan dalam emosi. Mengapa selalu pertemuanku dengannya tak bisa berakhir baik ?
***
Udara di atap kantor memang paling menyejukan. Aku membiarkan diriku rileks dibawah terik mentari dan belaian angin yang berhembus meniup anak rambutku. Aku tak menyangka akan berdiri di tempat ini dengan sebatang rokok yang kusulut beberapa menit lalu. Ah.. segalanya membuatku stress. Sekali lagi kuhisap nikotin di jariku. Sensasinya membuatku sedikit tenang. Dibelakang aku mendengar suara langkah kaki, jika dulu aku bisa berasumsi bahwa itu Roselind mungkin sekarang tak lagi. Aku hanya berharap itu bukan Grigorii terlebih Meisei. Aku benci bila mereka harus ada disini.
“Bu direktur saya rasa merokok tidak baik bagi kesehatan Anda.”
Suara itu, aku berbalik dan menemukan sosok Leivh yang berjalan kearahku dengan cengiran khasnya. Aku tak habis pikir darimana energi positif pria itu berasal. Dia selalu dengan mudah tersenyum sana sini, menyapa orang-orang, bersikap ramah bahkan pada diriku yang sekaku ini. Apa dia tak takut bila kuabaikan.
“Kenapa kau harus menjadi orang yang memergokiku dalam kondisi terburuk sih ?”
Aku tak bermaksud membalas ujarannya. Aku hanya merasa ingin bicara dengan diriku sendiri. Tapi anehnya pria itu malah berdiri disampingku dan mengulurkan tangannya. Aku tak mengerti dengan tindakannya, aku memberinya tatapan bertanya tapi pria itu malah merebut rokok dari jariku dan menghisapnya seketika.
“Aku yang akan mewakilkanmu.”
Katanya lagi, dan aku hanya tersenyum pasrah. Tindakannya benar-benar tak bisa kuduga.
“Bilang saja kau mau. Aku masih ada cadangan dikantongku.”
Aku memarekan sekotak rokok penuh dari kantong blazerku. Dia terbelalak.
“Tidak, berikan semuanya padaku.”
Seketika dia merebutnya dari tanganku. Aku pasrah menerimanya begitu saja ketika rokok milikku berpindah tangan.
“Kenapa ?”
“Meskipun kau terlihat keren saat menghisap rokok, tapi aku tak suka. Kharisma keren seperti itu harusnya ada padaku bukan padamu.”
Dia bersungut sambil memasukan sekotak rokok milikku kedalam celananya. Benar juga, sikap seperti itu tak pernah aku temui dalam diri siapapun. Dia kekanakan ya, sesuai dengan umurnya kurasa.
“Kurasa perempuan yang keren itu bagus.”
Aku menatap lurus kedepan, pria itu menoleh sedikit padaku sebelum pada akhirnya melakukan hal yang sama.
“Ya bagus, tapi tindakanmu bisa membuat pria jadi minder padamu.”
“Memang apa salahnya ?”
“Kami juga punya ego yang tinggi Miss.”
Aku terkekeh, Leivh memang sosok yang bisa memberiku penghiburan dan ketenangan disaat yang bersamaan. Dia terkesima melihat senyumanku, lalu wajahnya dia alihkan kearah lain.
“Hei apa sekarang kau malu padaku ?”
Aku menggodanya sedikit, semburat merah semakin kentara pada wajahnya yang putih.
“Aku sekarang tahu alasanmu jarang tersenyum Bu direktur. Senyum anda sangat berbahaya.”
Tanpa sadar aku memalingkan muka, wajahku memanas dan jantungku berdebar. Salah total. Yang berbahaya itu bukan senyumku. Tapi kata-kata Leivh yang kadang selalu membuatku merasa malu tak karuan ketika mendengarnya. Bukankah sekarang lucu ? kami malu karena kasualitas masing-masing.
“Bisakah kau tidak mengatakan sesuatu yang memalukan seperti itu ?”
“Itu tidak memalukan. Aku tidak merasa malu mengatakannya.”
“Mungkin tidak bagimu. Tapi bagiku iya.”
“Oh~ bu direktur tersipu.”
“Sudahlah..”