Mengintimidasi sang Gundik

2254 Words
Orang-orang yang tak kukenal menyambutku. Seiring dengan perubahan rumah kami yang kian megah. Ibu menyewa beberapa jasa asisten rumah tangga. Dan mungkin mereka adalah orang tersebut. Aku mengangguk dan memberikan sedikit senyumku. “Dimana Ayah dan Ibu ?” “Beliau ada dibelakang, saya akan mengantar anda.” Ibu cukup pintar mencari pekerja rumah tangga. Sebab tatakrama mereka sangat bagus. Dibanding para orang terpelajar yang menjadi karyawan Grigorii diperusahaan. Ternyata benar, tatakrama tidak bisa didapat hanya dari gelar pasca melalui pendidikan hebat dari universitas terkenal. Aku diantarnya menuju belakang rumah, dan aku cukup terkejut dengan halaman besar yang terhampar. Ada beberapa kebun bunga dan beberapa pohon yang menjulang tinggi. Terkesan sebagai taman kota dari pada kebun pribadi. Namun melihat beberapa bunga daisy yang dirawat, ibu pasti melakukannya karena aku suka pada bunga itu. “Ibu..” Aku memeluk ibu dari belakang, rasa rindu yang sangat membuncah ketika aku melihat sosoknya yang duduk membelakangiku. Pun sosok pria disebelahnya terkejut karena kedatanganku yang tiba-tiba. Setelah melepas rindu secukupnya, kami duduk berhadapan. Ibu menyajikanku teh hijau sebagai teman obrolan juga dengan beberapa kudapan manis. Rasanya aku sudah terbiasa dengan sajian macam ini sejak mengenal sosok Leivh. Mengapa pula aku memikirkan pemuda itu ? “Kunjunganmu tiba-tiba sekali Dear...” Ibu menyeruput teh miliknya. Sedangkan ayah berlalu dari kami berdua. Dia memberikan kami waktu untuk bicara antar wanita. Pria itu sangat perhatian dan peka. Itulah yang aku suka dari ayah. “Begitulah Bu, aku merasa sedikit lelah dengan pekerjaanku. Makanya aku berkunjung.” “Begitu ya, yasudah kamu beristirahat saja disini.. jangan memaksakan diri.” “Iya bu..” “Ada yang mengganggumu ?” “Ibu peramal ?” Aku terkikik dan ibuku hanya tersenyum simpul, wanita itu menatapku. "Selalu ada badai dalam rumah tangga. Apapun itu ibu selalu menjadi pendukung bagimu. Jika kamu lelah kamu bisa kemari. Kami akan menyambutmu dengan terbuka, putriku." Aku menatap ibu lagi, wanita cantik ini sedikit banyak tahu tentang kejadian yang sudah terjadi dalam rumah tanggaku bersama Grigorii. Aku bersyukur Kakak belum tahu. Ibu sendiri yang menahan diri untuk tidak bercerita. Ayah pun sama, dia tak membeberkan soal itu pada Kakak. Aku bersyukur memiliki keluarga pengertian. "Putriku, maafkan bila ibu ingin ikut campur dalam urusanmu. Tapi... bisakah kau menceritakan masalahmu pada ibu ?" Sebetulnya aku tak ingin membicarakannya pada ibu. Pada akhirnya aku hanya menggeleng dan menjawab tidak apa-apa. Dan meyakinkan ibu jika aku hanya lelah karena pekerjaan semata. Aku tak ingin membuatnya lebih khawatir. "Baiklah jika kau tak nyaman." "Aku baik-baik saja Bu. Tidak ada hal fatal yang terjadi. Ibu bisa percaya padaku." Setidaknya itu yang bisa kukatakan padanya. Sebagai penguat diriku, pun menyatakan jika aku betul-betul dalam kondisi yang baik-baik saja. "Ibu percaya padamu." “Terimkasih bu, aku mencintaimu.” Setidaknya hanya pada beliau lah aku bisa berkata dengan tegas jika aku mencintainya. Karena pada sosok suamiku, aku tak pernah merasa pernah menyimpan perasaan setulus itu. Ibu juga tak banyak berkomentar dan justru memberiku jeda waktu yang panjang untuk menenangkan pikiran. Dia kemudian menuangkan teh kedalam cangkirnya, asap mengepul keudara ketika dia melakukannya. Aku memandangi beliau. Parasnya masih tetap cantik dan bugar. Aku berharap masa tuaku nanti bisa sejenis dengan dia. Memiliki pria yang mencintainya seumur hidup. Pun berketurunan dengan landasan cinta. Hal yang tidak mungkin bisa kudapatkan dari suamiku Grigorii. Pria itu hanya kolega. Dia memanfaatkan aku untuk memajukan perusahaannya, dan aku yang menyerap kekayaannya untuk membuat keluargaku berada dititik nyaman dalam hidup. Bergelimbang harta. Ya, hubungan kami hanya sebatas itu dan aku tak berharap akan bisa lebih daripada itu. Tiba-tiba baru saja aku membuat diriku bersantai ada laporan dari Leivh yang kesulitan menghubungi suamiku. Dia membutuhkan tanda tangannya dalam proposal yang sudah dia buat. Tak ada yang bisa dilakukannya, aku menyuruhnya untuk menemui Ustin. Pria itu adalah asisten pribadinya dan dia lebih tahu soal Grigorii ketimbang aku. “Ada apa ?” “Sepertinya ada yang terjadi tapi bukan masalah besar.” “Suamimu ?” “Iya dia melalaikan pekerjaannya lagi.” *** "Meisei.." Perempuan itu berkutat di dapur rumahnya seperti biasa. Menyambutnya dengan aroma makanan yang harum semerbak. Grigorii merasa relax sejenak. Dan karenanya lega mampir dalam hatinya ketika melihat sosok Meisei. Sejak masuk dalam hidupnya perempuan itu sudah sedemikian dekat hingga membuatnya bergantung.   "Aku sudah buatkan sup untukmu. Hari ini hujan. Jadi kurasa itu akan menghangatkanmu." Meisei memberinya sebuah cerita singkat pengkhawatirannya pada Grigorii. Wanita itu lantas mulai mempersiapkan beberapa kudapan dalam nampan. Nasi putih, sup, daging, ikan, dan buah. Grigorii hanya menatap semuanya.   "Aku tidak meracuni makananmu. Kau tidak perlu waspada berlebihan begitu." Dia terkikik, menatap Grigorii yang tak bergerak sedikitpun dan hanya memandang pada sajian yang dia buatkan. "Aku tidak curiga. Aku hanya takjub bagaimana kau bisa mengolah bahan mentah tadi menjadi makanan." Grigorii menjelaskan alasannya dengan simple, pria itu kemudian mengambil sendok untuk mencicipi sup yang dibuatkan kekasihnya. Rasanya segar, tak berlebihan meski tak sebanding dengan makanan dari restoran bintang lima yang biasa dia cicipi. Namun dibalik rasanya yang biasa tersimpan cinta kasih yang mendalam hingga membuat Grigorii cukup tegas mengatakan bila makanan yang dicicipinya enak. “Bagaimana rasanya ? sesuaikah dengan seleramu ? aku khawatir, sebab kamu selalu makan dari restoran mahal.” Meisei menunggu Grigorii berkomentar, pria itu terdiam dengan sesekali menyendokan beberapa kudapan yang disajikannya. “Tidak buruk. Aku suka.” Dengan itu, kekhawatiran dalam wajah Meisei tersapu bersih. Senyuman cerah dia dapati sebagai bentuk timbal balik. Grigorii bersumpah sangat ingin menangkup wajah itu sekarang. kekasihnya begitu menggemaskan. "Apa kau tidak pernah dimasakan istrimu ?"   Wajah Grigorri memuram. Semenjak pernikahan mereka. Dirinya tak pernah memiliki moment romantis seperti sekarang. Makanya ketika dia mendapati Meisei disisinya. Ada angin segar yang memberinya pengalaman baru. Rasa cinta dan sayang dari seseorang yang lama dia dambakan. Melihat muramnya wajah Grigorii, perempuan itu mendekat dan mengelus pergelangan tangan pria itu dengan lembut.   "Kurasa kau sudah tahu jawabannya."   Meisei memasang muka simpati. Kemudian memberi sebuah pelukan dan tak luput pula sebuah kecupan mesra dia lemparkan. Sekarang dia terlihat sedang menggoda, dan ya dia memang melakukannya.   "Mulai sekarang aku akan melakukannya untukmu."   Ya, Meisei bersumpah akan membuat pria ini berada disisinya. Tak meninggalkannya. Dia akan melakukan apapun agar pria itu mau bersamanya. Meski artinya dia akan melanggar batas. Meski dia merebut suami oranglain. Dia tak peduli. Grigorii adalah miliknya.   "Terimakasih. Bisakah kita melakukannya ? Aku butuh dekapanmu." Grigorii mendekatkan diri, memaksa perempuan itu untuk duduk diatas pahanya. Menghadap dirinya. Kemudian menyentuh bahunya dengan cara yang sensual. Meminta izin pada pasangannya untuk berlaku lebih. Grigorii kemudian memulainya dengan mendekatkan bibirnya dipersimpangan bahu perempuan itu. Hingga dia sedikit mengaduh, membuatnya semakin panas untuk menggoda. "Tentu. Lakukanlah semaumu. Aku sudah bilang akan memberikan diriku seutuhnya padamu." Sebelum Meisei bisa berkata apa-apa lagi Grigorii melumat bibir yang menggodanya sedari tadi dengan tak sabar. Perlahan tangannya merayap kebagian apron yang dikenakan perempuan itu. Menarik lepas ikatannya dengan sekali coba. Ia berhenti sebentar, sebelum kembali menghujani Meisei dengan ciuman ganasnya. Ia berdiri dari kursinya, kemudian menarik perempuan itu untuk melakukan hal yang sama. Lalu dengan mudah mengangkatnya hingga dia terduduk diatas meja makan. Tangannya menggenggam rambut perempuan itu lalu menariknya kebelakang, hingga perempuan itu mendongak dan memaparkan lehernya pada Grigorii. Ciuman itu pun turun ke leher kekasihnya, menghembuskan napas hangatnya, menjilatinya, menggigitnya sesekali, sembari menikmati suara desah yang keluar dari mulut ranum kekasihnya itu. “Grigorii.. aku.. tidak bisa menah- ahh..” Namun Grigorii mengabaikan racauan perempuan itu, dia lebih tertarik untuk bergerak menuju p******a Meisei. Sedikit menyeringai ketika mendapati perempuan itu tak mengenakan bra untuk menutupi aset pribadinya. Putingnya sudah mengeras, itu artinya dia menikmati segala sentuhan yang diberikannya. Telapak tangannya mengusap halus puncak gunung kembar itu, membuat Meisei terpaksa harus merasakan adanya sebuah tarikan tak kasat mata seperti rasa lapar, jauh dalam dirinya. “Oh.. Tuhan..” desahnya. Rasanya sudah lebih dari gila. Benar-benar nikmat. Hasrat, ketertarikan, dan apapun itu istilahnya rasanya begitu kuat, menyenangkan serta menggodanya untuk berbuat lebih jauh. Meisei mendekap pria itu lebih rapat ketika merasakan pria itu sudah mencoba untuk mengulum ujung payudaranya dari luar. Seperti biasa membuatnya gerah sendiri dan gregetan. Ketika Meisei mencoba menyingkap bajunya sendiri, pria itu justru tak memberinya izin dan malah bermain dengan dadanya. Memberinya gigitan gigitan kecil yang sialnya makin membuatnya tambah gila. Memancing erangan nikmat dari tenggorokan Meisei lagi. “Jika kalian ingin melakukan hal itu setidaknya lakukanlah ditempat yang lebih pribadi.” Suara dingin yang menusuk itu membuat mereka mengagetkan mereka berdua. Grigorii tersentak kebelakang, dan Meisei mengambil kesempatan untuk turun dari meja makan dan menjauhkan dirinya dari si pria. Kedua tangannya tersilang didepan d**a seakan-akan takut sang saksi mata bisa melihat tempat bekas mulut Grigorii mengulum dadanya tadi. “Aku tadi bermaksud untuk berdeham saja, tapi melihat kalian yang asyik. Aku rasa kalian tidak akan sadar dan melakukannya hingga akhir.” “Siapa ?” Meisei melirik kearah Grigorii. Laki-laki itu terlihat tidak senang dan terganggu. Ia melempar pandangan marah pada sang pengganggu. Ustin asisten pribadinya. “Tenanglah Bos, aku melakukannya supaya kau sadar sejak tadi ada tamu yang menunggu anda. Dia sudah menunggu kegiatan kalian lebih dari tiga puluh menit.” Matanya terhenti kearah Meisei. Memandang gundik sahabatnya dari atas kebawah. Mencemoohnya dengan senyuman khas. Kemudian menatap Grigorii lagi. Lalu seolah dikomando, sosok Leivh muncul dari balik pintu. Ikut bergabung dalam ketegangan yang sudah terlanjur menguar disana. “Pergilah mandi air dingin, kelihatannya kau membutuhkan itu untuk memadamkan nafsumu. Kita akan bicara setelah itu.” Grigorii mendecih tapi dia tetap melakukannya. Membawa langkahnya pergi dari dapur untuk melakukan apa yang Ustin minta. Diikuti Ustin yang juga pergi dari sana sibuk menerima telepon entah dari siapa. Kini hanya ada Leivh dan Meisei di dapur. Keheningan mendominasi, dan Leivh sendiri bergeming menatap Meisei yang kini berpura-pura mengabaikan eksistensinya dengan menyibukan diri mengenakan apronnya lagi. upaya terakhir yang bisa dia lakukan untuk menutupi bekas aktivitasnya tadi. “well, well.. Meisei...” Leivh bertepuk tangan begitu sadar dia tengah berada dalam situasi dicuekan. Meisei menyipitkan matanya, terlihat sedikit jijik mendengar pemuda itu menyebut namanya dengan nada manis yang dibuat-buat. Meski begitu Meisei tak berani membalas tatapannya. Ia menyimpan sedikit rasa malu sebab laki-laki ini baru saja menyaksikan secara live apa yang dia dan Grigorii lakukan di dapur ini. “Siapa sangka, perempuan yang katanya naif dan polos bisa memasang ekspresi semesum itu ?” Ia berjalan mendekati Meisei. “Seorang Meisei yang naif membiarkan dirinya digerayangi suami oranglain ?” Sebuah tanda tanya berbentuk sindiran. Meisei tak mendengarkan dan memilih untuk berlalu. Namun bahunya menegang merasakan pria itu ada dibelakangnya. “Kau pikir kau hanya satu-satunya perempuan yang digerayangi Grigorii didapurnya ?” Sindirnya tajam. Wajah Meisei memerah membayangkan jika kekasihnya bermesraan dengan wanita lain di meja tempat Grigorii menciuminya tadi. Dadanya sesak memikirkan jika bukan hanya dia satu satunya wanita yang dicintai kekasihnya itu. Leivh tertawa kecil melihat bahu Meisei yang begidik. “Sebetulnya aku tidak yakin dia pernah melakukannya dengan wanita lain atau tidak, tapi aku bisa jamin jika sudah banyak wanita yang menghangatkan tempat tidurnya.” Meisei terbelalak sekarang. kata-katanya sungguh tajam untuk ukuran orang yang belum pernah berbincang dengannya. “Apa maumu ?” “Apa yang sebenarnya kau lakukan disini ?” Leivh memutar badan perempuan itu agar menghadap kearahnya. Tanpa diduga perempuan itu balas menatapnya balik tanpa gentar membuat Leivh menyeringai. “Aku tinggal disini.” “Setelah tahu kenyataanya ?” dia tertawa keras, “Meisei... Meisei.. kau seperti barusaja mengakui betapa murahannya dirimu itu.” Mendengar kata ‘murahan’ Meisei segera tersentak. Wajahnya tersulu amarah yang meluap. “Aku tidak murahan.” Leivh tiba-tiba menyeringai lagi. seakan baru saja diberikan argumentasi untuk menyela perempuan itu lagi. “Benarkah ? seluruh tindakan dan ucapanmu tidak sinkron. Kau tahu aku bahkan bisa melihat tempat dimana Grigorii menghisap payudaramu tadi. Meskipun kau menutupinya dengan apron itu.” Meisei menatap pria itu ngeri. Pria yang selalu bersikap manis pada istri suaminya ini kini seperti berubah menjadi orang lain yang menyeramkan dengan mengintimidasinya seperti ini. Apa memang semua orang yang dekat dengan Aghta semenakutkan ini ? mereka seakan memiliki topeng yang disembunyikan dari depan muka perempuan kharismatik itu. Meisei begidik ketika otaknya memproses kemungkinan itu. “Kau benar-benar kurang ajar ! kau itu Cuma bawahan suamiku beraninya kau mengomentari hidupku.” Meisei merasa sudah muak meladeni pria ini. Karenanya dia membawa kakinya untuk pergi. Namun lagi-lagi terhenti karena mendengar pria itu mengoceh kembali. “Memang benar aku bawahan Grigorii tapi posisimu bukanlah istrinya. Kau sendiri tak punya hak menyanggahku karena kau hanya selingkuhannya saja. Akuilah betapa jalangnya dirimu. Aku mendengar eranganmu saat Grigorii mencumbumu.. hmm..” Sesuatu yang lembut dan basah tiba-tiba menempel dileher Meisei. Membuatnya terlonjak, sadar bila benda itu adalah lidah Leivh. Secara otomatis dia berbalik dan hendak menampar pria itu. Namun usahanya berhasil digagalkan digagalkan dengan tangannya yang sigap mencengkram tangan perempuan itu. Kini mereka berhadapan dan Leivh menyeringai padanya. “Berhentilah menjadi benalu. Jangan mempersulit dan menyakiti oranglain. Sadarkah kau tentang itu ?” “Apa maksudmu ?” “Kau berada di jalan yang salah. Dan seharusnya kau meninggalkan mereka.” “Apa urusanmu ? ini hidupku.” “Ya, hidupmu. Tapi jika kau tidak mau melakukannya maka aku akan membuat kau membayar rasa sakit yang dia rasakan.” “Apa yang terjadi ?” Grigorii memasuki dapur lagi, namun dia tak mendapati apapun karena secara spontan Leivh telah menjauhkan dirinya dan bersikap seperti biasa. Kecuali ekspresi Meisei yang seolah telah diintimidasi. Ustin kemudian menyela, dan meminta keduanya untuk segera pergi. Dan ya, Leivh menyeringai sebelum dia meninggalkan dapur. Sesuatu dalam dirinya berkata jika perempuan itu cepat atau lambat akan musnah. Karena ia tak bisa menunggu untuk melihat kehancuran Meisei. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD