Akhirnya, Rhey menemukan calon istri yang sesuai dengan kriterianya. Meskipun Meisha gadis bercadar, tetapi dibalik cadar itu ada wajah yang cantik bagai bidadari.
"Jadi, kalian berdua setuju dengan perjodohan ini?" Melani memastikan ucapan Rhey yang menyuruh kedua orang tuanya mencari tanggal baik untuk pernikahannya dengan Meisha.
"Mah, jangan nanya terus dong. Kalau aku dan Mei minta carikan tanggal yang baik buat pernikahan kami, berarti tandanya setuju," jawab Rhey meyakinkan kedua belah pihak keluarga. Sedari tadi Meisha hanya terdiam, seolah ada yang mengganjal dalam hati.
"Alhamdulillah." Keluarga Rhey dan keluarga Meisha mengucapkan hamdallah bersama-sama.
"Alhamdulillah, Mei ... akhirnya kamu sudah menemukan calon imam. Gak sangka Jeng Mel, sebentar lagi kita jadi besanan," celetuk Suhana sambil merangkul anak gadisnya. Semua orang yang berada di sana tidak ada yang tahu raut wajah Meisha, entah bahagia, entah murung, mengingat wanita itu mengenakan cadar.
"Iya benar, Jeng. Mei, insya Allah Rhey laki-laki yang baik. Dia akan menjagamu sampai akhir hayat."
Rencana perjodohan Rhey dan Meisha berhasil. Melani dan Daniel tidak menduga kalau Rhey langsung menyukai Meisha. Awalnya Melani sempat ragu mengingat Meisha adalah wanita yang mengenakan cadar. Sedangkan Rhey, tipikal lelaki yang menginginkan segala hal yang nyaris sempurna.
Sepanjang jalan pulang, Melani melihat anak bujangnya tersenyum sendiri sambil memandang keluar jendela. Melani menyenggol lengan Daniel agar melihat sikap Rhey yang berubah drastis. Tidak lagi murung dan bingung.
"Rhey!" panggil Daniel pada anak semata wayangnya. Rhey yang duduk di samping kemudi, menoleh ke belakang. Melongok pada Melani dan Daniel.
"Kenapa, Pah?"
"Apa yang membuatmu langsung setuju dengan perjodohan ini?" tanya Daniel penasaran. Tidak hanya Daniel, Melani pun sama penasaran. Rhey menghela napas, bibirnya tak henti menyunggingkan senyum.
"Sebagai anak yang baik dan berbakti pada kedua orang tua, memang sudah semestinya aku setuju dengan rencana papah dan mamah."
"Halah, pret ...." Melani langsung menimpali tak percaya. Ia bahkan sampai memukul pundak Rhey karena tahu kalau anak semata wayangnya itu berbohong.
"Mamah yakin, bukan karena itu. Anak berbakti? Berbakti apanya? Sudah berapa banyak wanita yang Mamah kenalin ke kamu, tapi kamu tolak mentah-mentah. Alasannya karena inilah, itulah. Bohong dia, Pah! Mamah yakin banget, bukan karena itu dia mau terima perjodohan ini." Sangat kesal, Melani mendengar jawaban Rhey. Daniel sepemikiran dengan istrinya. Tidak mungkin hanya karena berbakti pada kedua orang tua, Rhey setuju.
"Mamah bikin aku serba salah dah. Aku nolak wanita-wanita itu salah. Sekarang aku terima wanita ini, salah juga. Ya udah deh, aku gak usah nikah!"
"Eh, eh, kalau ngomong jangan sembarangan! Pamali." Melani sontak menegur Rhey.
"Habisnya gak percayaan amat."
***
Sampai rumah, Rhey tidak memberi tahu pada orang tuanya soal alasan kenapa dirinya mau dijodohkan dengan Meisha. Rhey langsung masuk ke dalam kamar meninggalkan Daniel dan Melani yang sempat memaksanya untuk bercerita.
"Hadeuh, kalau gini terus, besok aja dah nikahnya," gumam Rhey menggigit bibir bawah saat membayangkan wajah cantik Meisha. Walaupun baru melihat sebentar. Namun, itu sudah cukup melekat dalam ingatannya.
Merasakan rindu, Rhey terlihat mengeluarkan ponsel dari saku celana. Tangannya masih menimang-nimang handphone. Ia ingin menelepon, mengirim pesan, dan juga bicara pada Meisha. Namun, keraguan masih menekan niatnya.
"Apa jangan-jangan aku mengalami cinta pada pandangan pertama? Ah, ini sih bukan cinta pada pandangan pertama doang, tapi hatiku langsung terkena panah asmara Meisha. Oh, Meisha ... Masya Allah, Meisha …," gumam Rhey, menutup kedua matanya. Raut wajah itu kembali menghiasi khayalannya. Tak tahan, Rhey mengirim pesan pada Meisha.
Rhey: Mei, Ini nomor aku, Rhey Xander Nicholas." Pesan yang baru diketik Rhey langsung terkirim. Tapi, ceklis dua itu belum berubah warna. Satu detik, dua detik, sampai satu menit tak juga dibalas Meisha. Tak sabar, Rhey ingin menelepon langsung. Namun, belum sempat ditekan nama kontaknya, balasan pesan dari Meisha masuk.
Meisha: Iya, udah aku simpan."
Dengan senyum sumringah, Rhey menelepon Meisha.
“Assalamu’alaikum, calon makmum,” sapa Rhey saat sambungan telepon berlangsung.
“Waalaikumsalam,” jawab Meisha singkat.
Mendengar suara Meisha, hati Rhey kembali bergetar. Bibirnya tanpa disadari mengulas senyum.
“Mei, aku mau tanya.”
“Tanya apa?”
“Tadi kamu bilang, udah aku simpan. Emang apa yang udah kamu simpan? Nomor handphone-ku atau hatiku?"
Rhey terkekeh sendiri. Ia berharap jawaban Meisha sesuai keinginannya. Cukup lama, Meisha tidak langsung menjawab. Hanya helaan napas yang Rhey dengar. Namun, menit berikutnya Meisha menjawab, “Bagaimana bisa aku menyimpan hatimu kalau kamu saja belum menitipkannya?"
Kedua mata Rhey seketika berbinar saat mendengar jawaban Meisha. Baginya, kalimat yang diucapkan Meisha sangat indah. Indah sekali.
Rhey berdehem, menghela napas berat, menetralisir perasaannya.
“Kalau begitu, mulai sekarang aku menitipkan hati ini padamu. Tolong jaga hatiku, jangan sampai lecet, apalagi patah!”
Setelah menanggapi ucapan Meisha, Rhey mematikan sambungan telepon tanpa menunggu Meisha berbicara. Iaberguling-guling di atas tempat tidur sambil memeluk handphone hingga lupa bahwa luas tempat tidurnya tak seluas lapangan sepakbola. Alhasil Rhey pun jatuh dari tempat tidur masih menggenggam ponsel di tangannya.
“Au, sakit.” Rhey mengusap bagian tubuhnya yang terantuk kerasnya lantai. Namun, rasa sakit itu tak membuat senyum bahagianya sirna. Pria itu masih tampak bahagia. Menyebutkan nama Meisha seperti tengah kecanduan akan sosok wanita itu. Tiba-tiba notifikasi pesan masuk. Secepatnya Rhey membuka pesan itu.
Meisha: Mohon maaf, kalau sekarang belum bisa. Aku dan kamu belum halal. Halalkan dulu hatiku dan hatimu, baru saling menitipkan hati."
Hati Rhey kembali berdesir.
"Masya Allah, Meisha ... kamu telah membuatku gila." Rhey merasa aliran darahnya mulai memanas. Ia berulang kali menciumi layar ponselnya.
"Ya salam ... Rhey, waras Rhey ... Kenapa aku ini dah? Apa ini yang namanya jatuh cinta? Apa ini yang namanya gila karena cinta?" Rhey bermonolog. Kemudian, menarik napas panjang, berdehem, dan mengetik balasan pesan Meisha.
Rhey: Iya, Mei. Aku akan segera menghalalkanmu. Hatiku sudah sangat lama tidak berpenghuni. Ia sepi dan kering kerontang. Perlu asupan cinta dan kasih sayang. Mei, beberapa hari lagi kita akan menikah. Aku harap kamu memang benar-benar jodohku." Pesan singkat kembali dikirim. Bibir Rhey tak pernah berhenti tersenyum.
Notifikasi balasan pesan dari Meisha kembali terdengar. Hati Rhey berbunga-bunga. Senyumnya mengembang sempurna.
Meisha: Jika kita udah sah menjadi suami istri, aku harap kamu enggak akan pernah menyesal telah menikahiku."
Rhey: Apa yang mesti aku sesali? Apa kamu merahasiakan sesuatu? Bagiku yang penting kamu mau jadi jodohku. Apa kamu mau jadi jodohku?”
Senyum pada bibir Rhey sirna. Lelaki itu bangkit, lalu duduk di tepi ranjang. Melupakan rasa sakit yang sebenarnya masih terasa. Rhey tampak menimang ponselnya, memikirkan balasan pesan dari Meisha. Namun, hingga sepuluh menit, Meisha tak kunjung menjawab pertanyaan Rhey. Lelaki yang tengah dimabuk asmara itu mengirim pesan lagi.
Meisha: Iya, aku mau jadi jodohmu," balas Meisha.
Berbeda dengan Rhey, Meisha sebenarnya masih terlihat ragu. Keraguan yang ditunjukkan di depan orang tua dan saat bertemu dengan Rhey. Sejujurnya hatinya masih terpaut pada seorang pria. Pria yang masih ditunggu kedatangannya untuk melamarnya.
Setelah meletakkan ponsel miliknya di atas nakas dan membiarkan pesan Rhey masuk bertubi-tubi. Meisha mulai membuka laci meja rias, mengambil buku kecil, lalu menarik selembar foto yang diselipkannya dalam lembaran buku itu.
"Mas Fahri, maafin aku … aku nggak bisa menolak keinginan orang tua. Maafkan aku karena sebentar lagi aku akan menikah," gumam Meisha sambil menatap foto pria yang telah lama disimpannya. Pria yang sampai saat ini masih menjadi pemilik hatinya. Namun, lima detik kemudian, kedua matanya tampak menatap ragu saat layar pada ponselnya menampilkan sebuah pesan dari pria itu. Pria bernama Fahri yang saat ini tidak tahu soal rencana pernikahannya.
Fahri: Assalamualaikum, Ukthi. Gimana kabar kamu? Apa bisa kita bertemu?
Meisha hanya menatap layar ponsel yang masih menampilkan pesan dari Fahri tanpa berniat membalasnya. Hatinya terasa perih. Demi baktinya pada orang tua, gadis bercadar itu harus mengalahkan rasa cintanya.