Bab 2. Gadis Bercadar, Nikah Yuk!

1292 Words
Meisha menangkupkan kedua tangan di depan d**a pada Daniel dan Rhey. Sedangkan pada Melani, Meisha mencium punggung tangannya, takzim. Pakaian Meisha yang longgar membuat Rhey sulit melihat lekak-lekuk tubuh wanita itu. Meisha duduk di sofa berdua dengan Suhana. Reza duduk di sofa tunggal. Sedangkan keluarga Nicholas duduk di satu sofa yang sama. Sofa paling panjang. Mereka menyesap secangkir teh hangat manis yang disajikan tuan rumah. "Mei, kamu masih ingat enggak itu siapa?" tanya Suhana pada anak gadisnya. Tanpa berpikir panjang, Meisha menjawab. "Masih ingat, Mah. Kak Rhey, 'kan?" Senyum dari keluarga dua belah pihak mengembang. Melani menyenggol bahu Rhey, menaikturunkan kedua alis. Sedangkan pria itu hanya menghela napas berat. Bagaimana bisa ia menikah dengan gadis bercadar? Wajahnya saja tidak terlihat. Bagaimana kalau alasan Meisha bercadar untuk menutupi wajahnya dari bekas jerawat? Atau jangan-jangan ada luka bakar? "Oh, tidak! Aku gak mau punya istri yang mukanya buruk rupa." Rhey terus saja membatin, menggelengkan kepala berulang kali. "Alhamdulillah, kalau kamu masih ingat. Mei, Tante seneng banget kamu masih ingat sama Rhey, padahal kan kalian sudah lama enggak ketemu." Sangat antusias Melani menimpali jawaban anak semata wayang Reza. Rhey terdiam, wajahnya terlihat bingung dan murung. Tidak tahu harus berkata apa-apa. "Kamu benar, Jeng Mel. Mungkin itu pertanda kalau anak kita memang ditakdirkan berjodoh." "Oh iya, ya. Aamiin." Melani dan Suhana tertawa. Rhey sendiri hanya tersenyum kecut. Begitu pula Meisha, dari obrolan Suhana dan Melani, sudah dapat dipastikan jika mereka akan menjodohkannya. Gadis itu tampak tidak suka. "Rhey, kamu kok diam aja? Gak mau tanya apa gitu?" senggol Melani pada lengan anak lelakinya. Rhey yang sedari tadi diam, akhirnya menegakkan tubuh. "Aku mau tanya-tanya, tapi kalau bisa, tolong tinggalkan kami berdua!” Permintaan Rhey membuat dua keluarga itu tersenyum lebar. Mereka yakin kalau Rhey akan menyukai Meisha, begitu juga sebaliknya. "Bisa, Nak Rhey. Ayok, ayok, kita ke ruang keluarga aja! Kita tinggalin mereka berdua." Suhana langsung beranjak, begitu pula yang lainnya. Meisha menarik lengan Suhana agar tidak meninggalkannya berdua dengan Rhey. "Mah ...." panggil Meisha, mengiba. "Mei, kamu gak perlu takut. Rhey anak yang baik. Dulu kan waktu rumah kita masih tetanggaan, dia sering lindungin kamu." Cekalan tangan Meisha terlepas. Melani berkata benar. Dulu, rumah Meisha dan Rhey berdekatan. Mereka kerap kali berangkat sekolah bareng dan main bersama. Usia Meisha yang lebih muda dari Rhey, membuatnya selalu mencari perlindungan pada lelaki itu jika ada lelaki lain yang berusaha menggoda atau menjahilinya. Setelah dua keluarga meninggalkan Rhey dan Meisha, Rhey mengangkat cangkir teh manis, menyesapnya hingga tandas. "Kamu takut berduaan sama aku, Mei?" Meisha terdiam sejenak. Ia tak menyangka jika lelaki yang dulu menjadi teman masa kecil kini bertemu kembali. Entah bagaimana cerita mulanya sampai kedua orang tua mereka ingin Rhey dan Meisha berjodoh. "Bukan takut. Aku gak enak aja." Jawaban itu membuat Rhey tersenyum miring. "Jujur, Mei. Aku sebenarnya agak keberatan dengan perjodohan ini. Bukan masalah suka atau gak suka sama kamu. Masalahnya kita udah lama banget gak ketemu. Nah, sekarang ketemu lagi, tapi wajah kamu ditutupi. Bukan karena aku menilai dari penampilan aja, bagi aku, melihat wajah calon istriku itu sangat penting.” Rhey masih menatap tak enak. Ingin meminta, tetapi bingung harus mengatakan bagaimana. “Terus?” Rhey masih diam. Menatap Meisha sambil terus berpikir. “Ngomong aja?” "Jadi begini, Mei … kalau boleh, aku ingin kamu buka cadar dulu. Gak usah lama-lama, sebentar saja. Bukannya diperbolehkan, jika ada seorang lelaki yang mau meminangmu, ingin melihat wajah dan kedua telapak tanganmu, Mei? Sorry, koreksi kalau aku salah.” Rhey masih menatap lekat Meisha. Menepikan sejak rasa tak enak yang mengusik. Baginya, semua itu demi masa depannya. Menikah bukan hubungan satu-dua hari karena itu adalah ikatan seumur hidup. Meisha pun terdiam mendengar permintaan Rhey. Baru kali ini ada seorang pria yang meminta hal itu padanya. Kini, kedua matanya terpejam sesaat sebelum memberi jawaban pada Rhey yang masih menunggu cemas. "Kalau kamu keberatan, gak usah, Mei! Aku nanti bilang ke mamah sama papah, kalau aku menolak perjodohan ini. Sorry, aku gak mau kayak beli kucing dalam karung. Aku ingin lihat wajah kamu dulu agar aku bisa menentukan pilihan dengan benar.” Rhey sangat tegas, berusaha meyakinkan gadis yang duduk di sofa berseberangan dengannya. Jika Meisha tidak mau membuka cadar, Rhey tidak akan memaksa. Pria itu lebih memilih membatalkan perjodohan, meski harus membuat kedua orangnya kecewa. Berbeda dengan Meisha. Dia mulai gamang. Jika perjodohan dibatalkan, kedua orang tuanya pasti sangat sedih dan kecewa. Sudah lama sekali Suhana dan Reza menginginkan Meisha menikah, memiliki suami dan anak-anak. "Baiklah. A-ku, aku akan buka cadar, tapi tolong, bagaimana pun kondisi wajahku, jangan tolak perjodohan ini!” Kedua alis Rhey terangkat. Berusaha mencerna permintaan Meisha. "Kenapa? Kamu udah jatuh cinta sama aku?" Rhey mulai menggoda. "Bukan," jawab Meisha cepat. "Sorry, aku bercanda kok. Jadi gimana, kamu mau buka cadarnya?” Meisha pun menganggukkan kepala, meski terlihat ada sedikit keraguan. Kemudian, sebelah tangannya mulai membuka cadar secara perlahan. Rhey mencondongkan tubuh agak ke depan. Menunggu Meisha membuka cadar secara keseluruhan. Awalnya Meisha merunduk. Lalu, ia mendongak, membalas tatapan Rhey yang tak berkedip melihat wajah yang sebelumnya tertutup cadar. Rhey terpesona, mulutnya menganga, dan hidungnya kembang kempis. Tanpa disadari, Rhey bergumam, “Gadis bercadar, nikah yuk!” "Apa? Kamu bilang apa?" Meisha mendengar samar-sama ucapan Rhey. Lelaki itu gelagapan, menegakkan tubuh. "Bilang apa emangnya? Aku gak bilang apa-apa." Rhey berusaha menetralisir perasaan gugup yang tiba-tiba menyerang. Meisha ternyata masih sama seperti dulu, bahkan sekarang bertambah cantik. Kulit wajahnya sangat mulus, bibir yang tipis berwarna merah muda, memiliki dua alis yang tebal. Di atas bibir kanan terdapat satu titik tanda lahir dan hidung Meisha bagai boneka barbie yang lancip. Jantung Rhey dibuat berdegub tak menentu. Bagi pria itu, kecantikan Meisha sangatlah sempurna. "Udah, ya?" Pertanyaan Meisha membuat Rhey kembali salah tingkah. Ia menarik napas panjang, menghalau rasa gugupnya. "Ah, iya. Udah." Meisha menutup wajahnya dengan cadar lagi. Rhey mengambil cangkir teh manis, meneguknya, tapi sudah habis. Wajah Meisha seperti telah menyihirnya sampai Rhey lupa kalau cangkir teh itu sudah kosong. "Kak Rhey?" "Iya, Mei?” "Aku boleh tanya?" "Tentu saja boleh," jawab Rhey sumringah. Kini, ia tidak ragu lagi dijodohkan dengan Meisha. Gadis itu memilin ujung jilbab yang dikenakan. "Setelah melihat wajahku, apa kamu akan membatalkan perjodohan ini?" Rhey tersenyum manis. Mana mungkin Rhey akan membatalkannya jika Meisha memiliki kecantikan bak bidadari? "Begini, Mei. Aku paling gak suka memaksa orang lain menerimaku. Kalau kamu merasa keberatan dengan perjodohan ini, lebih baik ditolak. Walaupun jujur, sekarang aku menginginkannya." Jawaban Rhey membuat gadis itu kembali mendongak. Rhey membalas tatapan Meisha dengan senyuman paling manis. Entahlah, Rhey merasa mulai menyukai gadis itu. Ternyata Meisha masih seperti dulu. Masih cantik, bahkan semakin cantik. "Bagaimana? Kamu mau gak dijodohin sama aku? Tenang, Mei! Kalau kamu bilang enggak mau juga, aku gak akan memaksa. Perlu kamu tau, aku hanya ingin menikah satu kali seumur hidup. Aku juga mau punya istri yang mau temani aku sampai maut memisahkan. Jadi, kalau kamu ragu dan gak mau dijodohin sama aku, lebih baik bilang dari sekarang. Jangan sampai suatu saat nanti, kamu akan menyesal. Tapi, aku yakin kamu gak akan menyesal punya suami seperti aku. Ya gak? Ya gak?" Rhey dengan percaya dirinya berkata demikian. Kedua alisnya naik turun, berusaha menggoda Meisha. Di balik cadar, Meisha tersenyum geli melihat tingkah Rhey. "Gimana, Mei? Mau gak?" desak Rhey tak sabaran. "Mau apa?" "Lah, malah balik tanya. Mau gak jadi suamiku?" "Hah?" Kedua mata Meisha yang bulat, semakin membulat. "Enggak kebalik?" "Kebalik apanya?" "Kata-katanya," jawab Meisha mengulum senyum. "Emang tadi aku bilang apa?" Rhey menumpu kedua tangan di atas pahanya. Mencondongkan badan agak ke depan. "Tadi kamu bilang, mau gak jadi suamiku?" "Apa? Aku tadi bilang apa?" Meisha menarik napas panjang lalu kembali mengulangi perkataannya, "Mau gak jadi suami aku?" Senyum Rhey mengembang, dia berhasil menjebak Meisha. "Insya Allah, aku mau jadi suami kamu." "Eh?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD