Bab 6 Secret Friendship

1267 Words
Tring! Tring! Tring! Tring! Tring! Aluna membuka matanya karena terganggu dengan suara dering chat bertubi - tubi. Ia mendesis sebal, ia sangat mengantuk dan Aluna baru saja lelap. Ia melihat jam menunjukan pukul sembilan malam, hari ini Aluna merasa sangat lelah sehingga memutuskan tidur sebelum ini. Ia meraih ponsel di atas nakas dan membacanya dengan sebelah mata yang terpejam. Ada lima pesan masuk dan kelima - limanya berasal dari Dhimas. Dhimas: Luna, kamu belum tidur kan? Dhimas: Aku ingin meminta bantuanmu, barusan aku dihubungi dosen Government Relations, beliau memintaku mengumpulkan tugas yang lupa aku kerjakan. Batas waktunya malam ini pukul 23.59. Sedangkan aku masih bekerja sekarang. Dhimas: [Photo] Dhimas: Aku mohon bantu aku sekali ini saja, Lun. Aku mendapat ancaman tidak akan lulus mata kuliah ini jika tidak mengumpulkannya sekarang. Maukah kamu membantuku mengerjakan tugasku? Hanya satu tugas ini saja, jarena aku benar - benar tidak bisa meninggalkan pekerjaanku sekarang. Dhimas: I beg you, Lun Aluna mengernyit bingung membaca pesannya. Bekerja? Seingatnya Dhimas tidak pernah bilang bahwa dirinya bekerja. Aluna bangkit dari tidurnya dengan malas. Ia membalas pesan dari Dhimas. Baiklah, akan kukerjakan. Kamu dapat materi bab berapa kemarin? Sent! Tring! Dhimas: Terima kasih, Luna. Aku berhutang banyak denganmu. Dhimas: Aku dapat materi bab 7, Luna. Dhimas: Sekali lagi terima kasih! Aluna membaca pesan Dhimas dan turun dari ranjang, ia menoleh menatap ranjangnya dengan tatapan tidak rela. Ia sangat ingin tidur sekarang, tapi ia tidak tega jika Dhimas harus mengulang mata kuliah ini semester tahun depan. Ia membuka laptopnya dan mulai mengerjakan tugas analisis yang memang diberikan dosennya dua minggu yang lalu, itu artinya Dhimas belum mengerjakan tugasnya selama dua minggu. Ia menahan rasa kantuknya demi menyelesaikan tugas Dhimas tersebut, sampai akhirnya ia kirimkan ke pada Dhimas menunjukan waktu pukul 23.30, masih tersisa 29 menit dari batas waktu yang diberikan. Ia menghela nafas lega. [Document] Dhim, itu ya, sudah kukerjakan. Lekas kirimkan sebelum terlambat. Sent! Aluna meregangkan tubuhnya dan pergi ke toilet sebelum kembali bergelung ke dalam selimut hangat yang ia dambakan sejak tadi. Ia sudah tidak berminat melihat ponselnya lagi, yang ia inginkan hanya tidur, tidur dan tidur. Ia memadamkan lampu dan kembali ke ranjang hangatnya. ***** Aluna kembali terbangun begitu suara alarm pagi berteriak dengan kencang di telinganya. "Aaa ngantuk!", racau Aluna sambil menutup kepalanya dengan bantal. Ia membiarkan alarmnya bernyanyi dan kembali terlelap. Tok! Tok! Tok! "Aluna", saut Nanda dari luar kamar. Tidak adanya respons dari anaknya ia yakin bahwa Aluna masih tidur atau tidur lagi. Nanda mengetuk pintu kamar tersebut lebih nyaring. "Nanda, sudah jam sembilan pagi lho! Kamu katanya ada kuliah jam sepuluh!", seru Nanda. Aluna yang mendengar saat ini pukul sembilan dan ia ada kuliah pukul sepuluh membuat matanya menyala seperti disiram air es. Tanpa berpikir ia melompat dari kasur dan berlari menuju kamar mandi. "Iya, Ma! Aluna sudah bangun!", seru Aluna panik. "Haish! gara - gara Dhimas nih", gumam Aluna. Ia berlari keluar dari rumahnya dan segera menaiki ojek online yang sudah ia pesan sebelumnya. Beruntung ia tidak terlambat, masih ada beberapa menit sampai kelas dimulai. Perkuliahan hari ini adalah salah satu mata kuliah wajib yang tidak boleh ia lewatkan, nilai dari penelitian tugas akhirnya nanti bergantung pada pemahamannya tentang materi yang tengah ia dengarkan sekarang. Ia memperhatikan sembari mencatat poin - poin penting yang harus ia ingat. Sejauh ini ia sangat paham akan apa yang disampaikan oleh dosen, ia sangat berharap bisa mendapatkan nilai A dari mata kuliah tersebut. Perkuliahan selesai bertepatan dengan jam makan siang, Aluna memutuskan untuk pergi ke kantin kampus mengingat ia belum meneguk setetes minuman maupun menggigit sedikit makanan sejak ia bangun tidur. Langkahnya terhenti ketika lima orang mahasiswi yang sering kali meringsaknya berdiri menghalangi jalan Aluna. "Mau kemana, mbrot?", tanya salah satu mahasiswi bertubuh tinggi dengan wajah cantik bernama Dini. "Permisi, aku ada urusan", jawab Aluna enggan berurusan. Sontak semuanya menghalangi Aluna saat akan melangkah. "Udah je-lek, nggak punya sopan santun. Kamu itu memang bodoh atau berpura - pura menjadi bodoh?" Aluna berusaha menahan tubuhnya ketika wanita cantik bernama Dini tersebut mendorong bahunya dengan telunjuk lentiknya. "Aku tidak paham maksud kalian", balas Aluna. "Kau pasti paham, kau menggoda Dhimas kemarin?", saut wanita lainnya. Aluna terdiam sesaat, ia baru mengerti, ini adalah buah dari tragedi duduk bersebelahan antara dirinya dan Dhimas. "Dhimas yang memilih temoat duduk tersebut, aku datang lebih dulu. Kalau mau menyalahkan, salahkan Dhimas yang tidak memilih bangku di sebelah wanita cantik seperti kalian", balas Aluna. Dini mendengus penuh hinaan. dengan sigap mereka menarik pakaian Aluna untuk berjalan mengikuti mereka. Aluna merutuk koridor kampus yang sangat sepi saat ini. Ia tidak bisa meminta pertolongan siapapun. Mereka menarik Aluna ke arah gedung kampus yang masih dalam tahap pembangunan, tidak ada pekerja satupun karena saat ini adalah jam makan siang. dengan kasar Aluna dihempaskan hingga pakaiannya terdengar bunyi sobek karena tarikan kencang Dini. "Kamu tau seperti apa dirimu? Je-lek, gemuk dan menyedihkan. Tidak perlu merasa sok cantik hanya karena seorang laki - laki duduk secara kebetulan disampingmu", ucap Dini. Aluna tersenyum. "Kalian umur berapa? Aku merasa berhadapan dengan beberapa murid SMA labil yang melabrak seseorang hanya karena orang itu duduk disebelah laki - laki yang mereka kagumi. Kalian tidak malu?". Entah keberanian dari mana Aluna berani membalas ucapan para peringsak tersebut. Ia mendesis ketika salah satu dari mereka menampar Aluna dengan kencang. Rambutnya terasa dijambak kencang dan berakhir tubuhnya didorong hingga terjatu ke atas tumpukan semen berpasir. "Jangan harap kamu bisa kuliah dengan tenang", ancam Dini sebelum pergi meninggalkan Aluna yang terdiam menahan sakit di tubuhnya.  Aluna tidak menangis, ia juga tidak berteriak. Bahkan tidak berniat beranjak dari tempat tersebut, ia hanya diam untuk meredakan rasa sakit di tubuh dan hatinya.  Setelah dirasa tubuhnya baik - baik saja ia bangkit berdiri dan berjalan menuju toilet. Rasa lapar sudah hilang entah kemana, pikirannya kosong dan tidak mampu berpikir jernih. Ia merapikan penampilannya, melapisi lebam di ujung bibirnya dengan foundation dan bedak. Ia tidak menyangka, sedikit gerak darinya dan Dhimas menjadi seperti ini. Ia menghela nafas menatap wajahnya di cermin. Ia harus kuat. Ia keluar dari kamar mandi dan memutuskan untuk pergi menenangkan pikiran. Aluna sampai di sebuah taman dekat kampusnya. Sebuah rahasia. Rahasia pertemanan antara dirinya dengan Dhimas. Apakah dunia begitu tidak adil dengan orang - orang yang tidak memiliki penampilan baik? Apakah salah berteman dengan seseorang?  Bahkan sebuah pertemanan yang murni harus menjadi sebuah rahasia hanya karena lingkungan sosial yang tidak mendukung mereka. Kesal? Pasti! Tapi Aluna tidak bisa berbuat banyak, ia pun tidak tau apa yang akan ia terima dari hasil membalas ucapan Dini tadi. Tapi ia tidak ingin menjadi seorang penakut, ia harus bisa menghadapi semua ini. Ya, Aluna berjanji pada dirinya sendiri untuk mampu menghadapi gangguan para peringsak tersebut. Ia harus berpikir agar bisa membalas mereka dengan cara yang baik. "Ini es krim untukmu" Aluna terkejut ketika seseorang memberinya sebuah es krim coklat yang ia suka. Ia melihat siapa yang memberinya, Aluna tidak mengenalnya. "Terima kasih, tapi maaf saya tidak bisa menerimanya", ucap Aluna dengan sopan. "Tidak apa - apa, terimalah, aku sedang membagikan es krim gratis ke orang - orang di sekitar sini, karena kamu di sini, maka kamu harus menerimanya juga", ujar orang tersebut. Aluna menerima es krim tersebut dengn ragu. "Terima kasih atas kebaikannya", ungkap Aluna. "Sama - sama, saya permisi" Aluna menatap es krim di tangannya, moodnya sedang hancur dan seorang berhati baik memberinya es krim. Sungguh sebuah kebetulan yang menyenangkan, rasanya separuh emosinya sudah lepas hanya dengan memegang cup berisi es krim tersebut. Aluna mencari tempat duduk yang nyaman dan mulai menikmati es krimnya, ia tersenyum. Es krim memang tidak pernah gagal membuat mood seseorang membaik. Terima kasih untuk orang baik, ucapnya dalam hati. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD