"Dhim", saut Aluna.
"Hmm?", balas Dhimas.
"Jangan parkir disini dong, nanti kalau ada yang liat aku turun dari mobil kamu gimana?", tanya Aluna.
Dhimas memperhatikan sekeliling lapangan parkir kampur mereka, tampak sepi dan tidak ada mahasiswa lain yang mereka kenal maupun sebaliknya. Lalu Dhimas kembali menoleh pada Aluna.
"Nggak ada siapa - siapa kok, Lun. Kuliah masih jam 9, ini masih 8.30, masih ada setengah jam dan anak - anak nggak mungkin udah datang jam segini", jawab Dhimas.
Aluna memutari area parkir dengan maniknya sampai tatapan Dhimas bertemu dengan tatapannya, diam - diam ia menegak sal-ivanya karena melihat warna mata coklat terang milik pria tersebut.
"Nggak ada, Lun", ucapnya dengan sabar.
Aluna kembali sadar akan situasinya dan berdeham kecil.
"Yakin? kalau ada yang liat gimana, Dhim?", tanyanya.
Dhimas menggeleng pelan, "Nggak bakal ada, percaya sama aku", jawabnya penuh keyakinan.
Tiba - tiba tangannya menepuk ujung kepala Aluna pelan.
"Tenang, ada aku. Ayo turun", ucap Dhimas sambil menggapai tas ransel hitam dari kursi belakang mobilnya.
Pria itu keluar dari mobil lebih dulu sementara Aluna masih menormalkan nafasnya. Perlahan ia keluar dari mobil dan berlari begitu saja tanpa menunggu Dhimas.
Dhimas yang menyadari Aluna lari terbirit - b***t meninggalkan dirinya hanya bisa melongo dan berakhir tertawa dengan geli.
"Oy, Dhim!"
Seseorang memanggil namanya ketika akan berjalan mengikuti Aluna. Dhimas membalikan tubuhnya dan melihat beberapa temannya datang menghampirinya. Dalam hatinya ia merasa lega karena Aluna sudah berjalan mendahuluinya.
"Oh, hai", balasnya.
"Kantin dulu yuk, ngopi", ajak teman Dhimas bernama Riko.
Dhimas melihat ke arah gedung fakultas mereka dengan ragu, ia takut Aluna menunggunya. Tapi ia juga tidak tau harus beralasan apa untuk menolak teman - temannya.
"Kenapa? kamu ditunggu seseorang?", tanya Dandy.
Dhimas menggeleng, "Nggak kok, yasudah yuk, kita ke kantin", ajak Dhimas.
Ketiganya berjalan menuju kantin universitas yang terletak di dalam gedung seberang gedung fakultas mereka.
Di sisi lain, Aluna menghela nafasnya dengan lega karena tidak ada orang yang melihatnya turun dari mobil Dhimas barusan. Ia kembali berjalan menuju ruang kelas gabungan hari itu. Kelas masih kosong sehingga ia bebas memilih tempat duduk hari ini. Pilihannya jatuh pada bangku yang terletak di ujung kelas paling belakang, ia tidak ingin mendengar orang - orang yang membicarakannya dari belakang tempat duduknya, karena itu ia memilih bangku yang paling belakang agar tidak ada yang duduk dibelakangnya lagi.
Setelah menata mejanya, Aluna mengeluarkan sebuah buku handmade yang ia buat ketika duduk di bangku kelas tiga SMA. Lembar demi lembar ia buka untuk meninjau tulisan yang berada di dalamnya. Aluna tersenyum senang, ia sangat suka membuat lirik lagu. Walaupun tidak ada yang mengetahui keahliannya, ia tetap menulis lirik baik ketika sedih maupun senang, dan pagi ini suasana hati Aluna sangat baik biarpun ia baru saja membuat keputusan untuk menjaga hatinya dari perasaan terlarang untuk temannya.
Buku tersebut terdiri dari berbagai macam kertas bekas yang Aluna kumpulkan, sehingga setiap lembar akan berbeda warna dan Aluna memiliki banyak pena denngan warna bermacam - macam untuk menyesuaikan dengan warna dan jenis kertas yang mendapat giliran untuk diisi. Hari ini, kertas berwarna hitam adalah halaman yang harus ia isi dengan kreatifitasnya.
Aluna tersenyum.
Karena kamu sudah berwarna gelap, aku akan memberimu cahaya putih yang membuat semua orang tertarik kepadamu, pikir Aluna.
Aluna menarik pena dengan tinta berwarna silver dan mulai menari di atas buku tersebut. Tiba - tiba ia teringat tatapan Dhimas pagi ini, hari ini ia melihat beberapa ekspresi dari tatapan pria tersebut.
Sesuatu di matamu, seakan memberitahuku sesuatu
Kedua matamu yang bersinar menyinariku,
Aku bertingkah seperti orang bodoh
Karena yang kulakukan hanya merasa khawatir
Hatiku terbuka untukmu
Namun aku menyembunyikannya
Sepanjang malam aku memikirkanmu
Bahkan hingga matahari bersinar
Pelan - pelan seperti ini, aku ingin dekat denganmu
Jika memikirkan tentangmu
Membuatku ingin mencuri pandang ke arahmu
Hatiku tidak dapat meraihmu setia melihatmu
Aku tidak tau bagaimana caranya agar matamu tertuju padaku
Aku selalu ingin mengeluarkan isi hatiku
Ketika berada di dekatmu
Rasanya aku siap menghadapi segalanya di dunia ini
Aluna menatap lirik yang keluar dari dalam pikirannya begitu saja. Ia tersenyum sendu. Seperti orang bodoh, ia merasa menjadi orang munafik yang pikirannya tidak ingin semuanya berjalan berantakan sementara hatinya ingin terbuka lebar untuk laki - laki bernama Dhimas itu.
"Hati Rahasia", gumamnya sambil menuliskan judul yang baru saja ia putuskan untuk liriknya hari ini.
Rasanya melegakan ketika hal yang ia pendam dituangkan ke dalam bentuk tulisan ini, satu - satunya media yang membuat Aluna mengeluarkan semua sisi dalam dirinya.
Tanpa ia sadari sudah separuh lebih mahasiswa yang datang di kelas hari ini. Aluna menutup bukunya untuk dimasukan ke dalam tas kembali dan mengeluarkan diktat mata kuliahnya hari ini.
Tiba - tiba matanya menangkap sosok Dhimas yang berjalan masuk ke dalam kelas. Pria itu begitu menonjol, tidak sedikit mahasiswi yang berdecak kagum melihat batapa kerennya ia. Tanpa diduga, Dhimas mengambil tempat duduk di samping Aluna.
Aluna dan seisi kelas terkejut melihat kejadian tersebut.
"Eh, Dhimas duduk di sebelah si gen-dut!"
Aluna mendengar salah satu bisikan dari teman - teman yang membicarakannya secara terang - terangan.
"Gi-la, Dhimas lagi gak enak badan kayaknya, jadi matanya rabun nggak tau kalau dia duduk di sebelah manusia besar"
Aluna hanya menarik nafas untuk menenangkan hatinya yang terasa sakit. Walaupun sudah terbiasa mendengar cacian tersebut, ia tetap merasa sakit setiap kali mendengar kalimat cemoohan yang tidak seharusnya dilontarkan oleh teman - temannya.
Untungnya dosen segera tiba sehingga desisan menyakitkan tersebut usai. Dosen mereka telah membuka kelas dan mulai menyampaikan materi perkuliahan hari ini.
Aluna melirik meja Dhimas, pria itu tengah menulis sesuatu di atas kertas.
Lun, maaf aku membuatmu dibully pagi ini
Aluna terkejut membaca tulisan tersebut, ternyata Dhimas menulis surat untuknya.
Ia membuka halaman belakang bindernya dan menulis pesan balasan untuk Dhimas.
Tidak apa - apa, Dhim. Sudah biasa, kok hehe, tulisnya.
Aluna mendengar Dhimas menghela nafasnya. Pria itu menulis kembali balasan untuk Aluna.
Jangan membuatnya menjadi biasa, kamu harus bertindak.
Aluna tersenyum kecil membaca perhatian dari temannya itu.
Tidak semudah itu, Ferguso :p
Balas Aluna berusahha membuat suasana menjadi cair. Terdengar Dhimas mendengus geli sebelum kembali menulis.
Hari ini makan siang bareng ya, aku tunggu di gerbang belakang kampus. Disana jarang orang, jadi pasti aman. Ok?
Aluna tersenyum membaca pesan dari Dhimas.
Ok, balasnya.
Keduanya menahan senyum dan kembali memperhatikan materi kuliah yang disampaikan oleh dosen mereka.
*****
"Aman kan?", tanya Aluna khawatir.
Dhimas terkekeh sambil membuka tutup botol air mineral.
"Aman kok, jangan khawatir. Nih, minum dulu, kamu ngos - ngosan tuh, keringetan lagi", jawab Dhimas seraya menyerahkan botol air mineral yang ia buka tadi.
"Makasih, minta tissue ya", balas Aluna menerima botol tersebut sambil tangan sebelahnya menarik beberapa lembar tissue yang berada di dashboard mobil Dhimas.
Ia menyeka keringat di dahi dan lehernya lalu meminum air mineral yang diberikan oleh Dhimas. Tanpa ia sadari, Dhimas memperhatikan gerak - geriknya sejak tadi dan tertawa geli menatap wajah Aluna.
Aluna menghentikan minumnya dan menatap Dhimas dengan tanda tanya.
"Tissunya nempel di dahi kamu", ucap Dhimas seraya mengusap dahi Aluna untuk menghilangkan tissue yang menempel.
Tentu saja Aluna merasa nafasnya berhenti saat itu juga, ia tidak bisa tidak terpesona oleh seorang Dhimas Setya.
Dhimas mulai menjalankan mobilnya tanpa mengetahui Aluna tidak bisa menahan debar jantungnya. Ini adalah kali pertama ia bertemu dengan pria sebaik Dhimas, dan ini adalah pertama untuknya mendapat perlakuan lembut dari seorang pria. Aluna tau, akan sulit untuknya menahan semua yang ia rasa pada Dhimas. Satu - satunya rem untuknya adalah kenyataan bahwa Dhimas sudah memiliki kekasih.
Aluna terdiam sepanjang jalan memikirkan bagaimana ia harus bersikap disaat seseorang memperlakukannya begitu baik dan lembut seperti ini.
Dhimas mengajaknya makan siang di sebuah cafe unik yang tampak mahal. Aluna menatap Dhimas dengan ragu.
"Dhim, ke tempat lain aja, yuk", ajak Aluna.
"Kenapa? Makanan disini enak lho, Lun", tanya Dhimas.
"Hmm.. keliatannya mahal", jawab Aluna.
Dhimas tertawa.
"Tenang, aku yang traktir kok. Ini cafe langgananku, masakannya enak dan tempatnya nyaman. Selain itu, nggak ada anak kampus yang berani kesini karena harganya mahal. Jadi, kita aman", jelas Dhimas.
Aluna tetap merasa tidak enak namun Dhimas bersikeras. Akhirnya ia menuruti Dhimas dengan kesepakatan Aluna akan mentraktir Dhimas makan siang besok.
"Eh, disini bakso bakarnya enak lho. Kita pesan ya, terus kamu harus coba tenderloin steaknya mereka, kamu pasti sampai mengerang saking enaknya. Cream soupnya cafe ini terbaik, dan kita harus pesan basque cheesecake sebagai dessert. Perfect", urai Dhimas.
Aluna tertawa geli melihat betapa semangatnya Dhimas ketika memilih makanan, tidak ada bedanya dengan seorang anak kecil yang diberikan mainan.
"Iya, kita pesan itu saja", balas Aluna.
Dhimas tersenyum senang dan memanggil pelayan cafe tersebut untuk memesan menu - menu yang mereka bicarakan barusan.
"Seru ya kalau kelas digabung, kita jadi sering ketemu", ungkap Dhimas.
Aluna tersenyum, "Tapi gara - gara kamu aku jadi diomongin tau", ucap Aluna.
Dhimas terkekeh, "Biarkan saja, kamu temanku, aku mau duduk di sebelah temanku, itu tidak salah kan? Aku punya hak memilih tempat duduk yang kumau", balas Dhimas.
"Iya juga sih, tapi tadi ekspresi semuanya kaget seperti liat hantu", ucap Aluna.
Dhimas tertawa puas, "Memang itu yang aku mau, setidaknya mereka akan berpikir dua kali kalau mau ngebully kamu, Lun. Aku benar - benar benci melihat mereka memperlakukanmu seperti itu", balas Dhimas lagi.
Aluna hanya mampu mengangkat bahunya lemah.
"Aku tidak punya pilihan apa - apa", ungkapnya.
"Ada, kamu punya pilihan itu kok", sela Dhimas.
"Ya, memang ada, tapi aku tidak mau mempertaruhkan kehidupan kampusku hanya untuk melawan mereka yang tidak tau caranya menghargai seseorang. Toh sudah berjalan dua setengah tahun, tinggal satu setengah tahun lagi kita akan lulus dan aku tidak akan bertemu mereka lagi. Jadi, aku lebih memilih diam untuk menghindari dampak yang besar", jelas Aluna.
Dhimas terdiam menatap Aluna dengan tatapan yang tidak dapat Aluna artikan. Lagi - lagi aku melihat tatapan itu, apa artinya? pikir Aluna.
"Kalau kamu bersikeras seperti itu apa boleh buat, aku akan mendukungmu, Lun", ucap Dhimas.
Aluna kembali menarik bibirnya.
"Terima kasih, Dhim. Kamu memang benar - benar pintar membuat nyaman", ungkap Aluna dengan tulus.
Dhimas membalas senyumnya, "Aku akan melakukan apapun untuk membuat temanku tersenyum", balas Dhimas.
Percakapan mereka terjeda karena pelayan mengantakan pesanan mereka siang ini, keduanya ber oh dengan kagum melihat betapa menggiurkan makan siang mereka hari ini. Aluna mengiris steak miliknya dan mencelupkan daging tersebut pada saus sebelum dimasukkan ke dalam mulutnya.
Ia membelalak ketika makanan tersebut mendarat di lidahnya.
"Enaaaaak!", serunya dengan volume kecil karena ditahan.
Dhimas tergelak melihat reaksi Aluna dan mengarahkan garpunya sebagai isyarat pembuktian.
"Apa kubilang, kamu pasti mengerang merasakan enaknya makanan cafe ini", balas Dhimas.
Mereka menikmati makan siang dengan penuh canda dan saling bertukar cerita. Benar - benar menyenangkan! Ini adalah salah satu makan siang favorit Aluna setelah makan bersama keluarganya. Dhimas, tanpa Aluna sadar ia telah lengah terhadap pertahanannya untuk pria dihadapannya. Entah apa yang akan terjadi kedepannya, tidak ada yang mengetahui.
*****