Aluna memperhatikan seluruh bagian kampusnya diam - diam, sudah berhari - hari ia tidak bertemu Dhimas, pun pria tersebut belum menghubunginya kembali sejak meminta bantuannya mengerjakan tugas. Sosoknya pun tidak tampak di kampusnya, padahal biasanya Dhimas sering melalui koridor kampus mereka untuk berpindah kelas.
Dhimas kemana ya? Udah hampir empat hari aku nggak ketemu dia, pikir Aluna.
Rasanya harinya begitu sepi ketika tidak berkomunikasi dengan Dhimas, mereka memang belum lama berkenalan, tetapi Dhimas selalu mengajaknya bicara dan membuatnya nyaman sehingga ketika pria tersebut tidak ada kabar Aluna merasa sepi, dan satu - satunya cara untuk melampiaskan rasa bosannya adalah dengan menulis. Maka dari itu, Aluna memutuskan untuk pergi ke sebuah cafe di dekat kampusnya, cafe tersebut memiliki spot yang nyaman untuk mencari inspirasi menulis. Ia memesan secangkir coklat panas dan fish n' chips, menu favorit Aluna dari cafe tersebut.
Setelah memesan, ia mulai melaksanakan niatnya. Ia mengambil buku lagunya dan membuka lembar kosong, ternyata berwarna merah muda. Aluna memilih tinta berwarna hitam untuk mengisi lembar kosong tersebut. Ia terdiam, pikirannya fokus merangkai kata demi kata untuk ia tuangkan ke dalam kertas. Ia teringat ketika Dhimas tersenyum menatap langit saat mereka menghabiskan waktu akhir pekan bersama minggu lalu. Aluna tersenyum mendapat titik terang untuk liriknya.
Kamu tersenyum saat menatap bintang
Aku berada di sampingmu
Waktu berlalu dan kamu masih tertawa bersamaku
Aku tau kamu dan aku sama
Jadi tolong tetaplah bersamaku
Bahagia 'kan datang, bahagia 'kan datang
Kebahagiaan akan hadir disini
Kamu adalah kebahagiaan
Aku tidak peduli,
Dalam duniamu, perasaanku tidak akan berubah
Tidak masalah, karena aku menyukaimu
Kamulah bintangku
Bahagia 'kan datang, bahagia 'kan datang
Kebahagiaan akan hadir disini
Kamu adalah kebahagiaan
Kebahagiaan telah menemukanku
Bahagia 'kan datang
Kebahagiaan telah menemukanmu
Kebahagiaan akan hadir disini
Bahagia adalah kamu
Aluna menatap puas tulisannya, sejujurnya ia sedikit malu mengekspresikan perasaan pada tulisan seperti ini, tapi orang tuanya selalu bilang tidak ada yang namanya salah dalam berekspresi. Aluna sangat menikmati menulis, khususnya menulis lagu. Walaupun ia tidak bisa bermain musik, tapi ia sangat suka menulis lirik lagu. Ia bahkan bercita - cita menjadi penulis lagu.
Aluna menutup buku tersebut lalu menyimpannya kembali ke dalam tas, ia menyesap coklat panas yang sudah tidak panas itu, lalu mencomot sebuah kentang yang dicocolkan ke saus sambal. Dering ponsel Aluna menginterupsi kegiatan makan wanita tersebut, ia membelalak ketika tertera nama Dhimas di layar ponsel.
"Halo, Dhim?", sapanya.
"Hai, kamu lagi dimana?", tanya Dhimas dengan suara lemah.
Aluna mengernyit khawatir. "Kamu sakit?", tanya Aluna.
"Sudah sembuh kok, maaf ya tidak memberimu kabar beberapa hari ini", ungkap Dhimas.
"Tapi suaramu masih lemas banget", balas Aluna.
Terdengar suara Dhimas terkekeh pelan.
"Aku sudah tidak apa - apa, besok aku sudah kembali kuliah. Aku ada satu mata kuliah saja besok, kamu ada berapa mata kuliah?", tanya Dhimas.
"Aku juga hanya ada satu mata kuliah, kenapa , Dhim?", tanya Aluna.
"Besok kita jalan - jalan, yuk. Aku bosan berhari - hari tidak keluar", ajak Dhimas.
"Tapi apa kamu sudah benar - benar sembuh, Dhim?", tanya Aluna.
Wanita itu sangat khawatir ditambah suara Dhimas yang tidak berenergi seperti biasanya.
"Ya, aku sudah tidak apa - apa, kamu bisa tenang", jawab Dhimas.
"Syukurlah kalau begitu, kamu membautku khawatir", ucap Aluna.
Dhimas kembali tertawa pelan, "Senang rasanya ada seseorang yang khawatir denganku", ucap Dhimas.
"Tentu saja, keluarga dan pacar kamu juga pasti sangat mengkhawatirkanmu, Dhim", balas Aluna.
"Ya, semoga saja begitu", ucap Dhimas.
"Lho? Kenapa?", tanya Aluna.
"Tidak apa - apa, jadi besok mau kan jalan - jalan denganku?", tanya Dhimas.
"Ya, mau. Ketemu dimana?", tanya Aluna.
"Di gerbang belakang saja seperti biasa ya, aku parkir mobil disana nanti", ucap Dhimas.
Aluna mengangguk paham.
"Oke, Dhim. Kamu sekarang istirahat saja biar besok sudah fit", ucap Aluna.
"Baiklah, aku istirahat dulu ya, Lun", ujar Dhimas.
Aluna tersenyum kecil, "Iya, selamat istirahat", pungkas Aluna sebelum mengakhiri sambungan telepon mereka.
Selesainya, Aluna menghela nafas lega karena telah mendengar kabar dari Dhimas, tidak disangka ia begitu khawatir dan semakin khawatir ketika Dhimas mengatakan bahwa dirinya sedang sakit. Karena, seingatnya Dhimas memiliki fisik yang kuat, tampak tidak mudah sakit. Entahlah, kekebalan tubuh setiap orang berbeda dan Aluna tidak mau menyamaratakannya. Ia memutuskan untuk kembali menikmati kudapannya.
*****
"Hai", sapa Dhimas ketika Aluna telah memasuki mobilnya.
"Hai, bagaimaana kondisimu? Apa sudah benar - benar sembuh?", tanya Aluna.
Dhimas tertawa pelan, Aluna memperhatikan wajah pria disampingnya tersebut, masih tampak pucat.
"Kamu langsung nanya nggak pakai nafas, nanti aku ceritakan semuanya. Sekarang kita jalan dulu ya", janji Dhimas.
Aluna mengangguk menurut. Dhimas tersenyum dan mulai mengendarai mobilnya. Aluna memperhatikan Dhimas yang tampak sedikit lebih kurus dibandingkan dengan terakhir kali mereka bertemu beberapa hari yang lalu.
"Dhim?", saut Aluna tak tahan.
"Hmm?", gumam Dhimas tanpa menoleh.
"Kamu kurusan", ungkap Aluna.
Dhimas tersenyum, "Sedikit kok", balasnya.
Aluna mengernyit, Dhimas tampak berbeda hari ini. Tapi entah kenapa Aluna merasa Dhimas baru saja melalui sesuatu.
"Is everything ok?", tanya Aluna.
"Hmm.. lumayan", jawab Dhimas.
"Dhim", saut Aluna.
"Nanti aku ceritakan semuanya ya", janji Dhimas lagi.
Akhirnya Aluna menyerah dan memilih untuk menunggu Dhimas menceritakannya, ia mengangguk pelan.
Dhimas dan Aluna berkendara keluar Ibukota dan kini mereka telah sampai di Kota Bogor. Pria tersebut membelokan mobilnya di pintu masuk Kebun Raya Bogor, Aluna hanya diam dan sedikit bingung kenapa Dhimas mengajaknya ke Kebun Raya Bogor sekarang.
"Ayo", ajaknya.
Aluna mengikuti Dhimas turun dari mobil dan berjalan mengikutinya.
"Hari ini kita membersihkan paru - paru kita disini", ucap Dhimas.
Aluna tersenyum dan menghirup nafas dalam - dalam.
"Udaranya terasa bersih banget", sautnya.
Dhimas mengikuti Aluna dengan menarik nafasnya begitu dalam.
"Ahhh lega, di Jakarta sesak banget, sudah kebanyakan polusi kayaknya", ucap Dhimas.
Aluna terkekeh dan menjawab pria tersebut.
"Kita duduk disitu yuk, Lun", ajak Dhimas spontan menarik tangan Aluna dengan cara mengenggam.
Aluna ikut mempercepat langkahnya mengikuti tarikan Dhimas. Pria tersebut mengajak Aluna untuk duduk di tepi danau dengan banyak pohon rindang ditepiannya, sehingga semilir angin sejuk tak henti meniup tubuh mereka dengan lembut.
"Enaknya duduk santai begini", ucap Dhimas.
Pria itu tersenyum menatap Aluna.
"Kamu pasti penasaran", sautnya.
"Kamu tau sejak tadi aku hanya menatapmu dan menunggu kamu menceritakan", balas Aluna.
Dhimas tertawa, tangannya bergerak merapikan anak rambut Aluna yang berantakan diterpa angin. Aluna menggenggam tanggannya erat diam - diam untuk menghilangkan rasa gugupnya.
"Aku sakit", ucap Dhimas.
"Sakit apa?", tanya Aluna.
"Sejak kecil aku mempunyai bawaan lemah jantung sejak kecil", ungkap Dhimas.
Aluna tercengang dan menatap Dhimas untuk memaksanya mengatakan bahwa dia hanya bercanda, dan ternyata tatapan Dhimas tidak sedang bercanda.
"Dhim..", saut Aluna lemah.
"Aku sesekali bekerja paruh waktu ketika pulang kuliah, sebenarnya bukan karena uangnya, tapi aku sangat bosan jika terlalu lama berada di rumah. Sudah lama jantungku tidak kambuh seperti kemarin, rasanya sungguh menyesakkan dan kupikir aku akan mati. Tapi sepertinya aku masih harus membenahi hidupku, jadi aku selamat", papar Dhimas.
"Dhim, kenapa bicara begitu, kamu sehat kok. Mungkin karena kamu kelelahan, jadi penyakit kamu sedikit kambuh", ucap Aluna berusaha menenangkan.
Dhimas tersenyum, "Terima kasih sudah menenangkan aku, Lun"
Aluna mengusap bahu Dhimas penuh perasaan. Ia tidak tega melihat Dhimas, namun ia tidak boleh menangis saat ini.
"Dhim, mulai sekarang jangan terlalu aktifitas berat. Kmau harus jaga kesehatan", ucap Aluna.
"Seadainya kemarin ada yang bicara begitu", ungkap Dhimas.
"Bercanda deh, pasti yang pertama bilang begitu pacarmu, dong", balas Aluna.
"Sayangnya bukan, kamu yang pertama", ucap Dhimas.
Aluna kaget, bagaimana bisa?
"Lho? Kenapa?", tanya Aluna.
"Pacarku sudah sibuk merawat anaknya dengan baik", ungkap Dhimas.
Kali ini, Aluna lebih merasa terkejut dibanding sebelumnya.
"Anak?", tanyanya hati - hati.
Dhimas mengangguk. "Ya, dia seorang single parent dengan satu orang anak. Karena fokus membesarkan putrinya, ia jarang bertemu denganku dan jadi tidak begitu perhatian denganku", jelas Dhimas.
"Maaf aku harusnya tidak bertanya tadi", sesal Aluna.
Dhimas menggeleng, "Tidak salah kok, aku memang ingin menceritakannya padamu, Lun", ucap Dhimas.
"Dia seorang single parent, ia sudah kerja di salah satu cafe di Jakarta. Hubungan kami cukup baik, tapi ia tidak memperhatikanku sama sekali, sehingga aku selalu merasa kesepian. Sedangkan kedua orang tuaku sangat jarang berada di rumah karena bekerja. Aku saja bisa menghitung berapa kali kami bertemu dalam waktu tiga bulan terakhir, sepertinya tidak lebih dari lima kali", ucap Dhimas.
Hati Aluna terasa tercubit mendengar Dhimas, kenapa laki - laki di depannya begitu kesepian?
"Tenang, ada aku, temanmu. Kamu bisa menyampaikan keluhanmu padaku, aku akan mendengarkannya", ucap Aluna untuk menenangkan Dhimas.
Dhimas tertawa pelan, "Memang keputusan tepat untuk berteman denganmu, aku merasa sangat beruntung". ucap Dhimas.
Aluna mendengus pelan, "Aku tidak sebaik itu, kok", ucap Aluna.
"Jangan bercanda, kamu yang terbaik". ungkap Dhimas.
Mau tidak mau Aluna tertawa malu diikuti Dhimas yang juga merona karena tidak sengaja berbicara seperti itu. Keduanya menikmati Kebun Raya Bogor dengan penuh cerita dan tawa. Saling berbagi cerita dan menyemangati satu sama lain. Aluna yakin Dhimas akan menjadi pria hebat dengan kemampuan berceritanya yang mampu membuat orang ain nyaman.
Aluna dan Dhimas, entah apa yang ada di dalam pikiran mereka berdua saat ini, yang mereka tau hanyalah satu hal, seluruh penat dan rasa frustasi mereka terurai dengan cepat ketika mereka bercerita dengan orang yang kita percaya dan membuat kita nyaman satu sama lain.
*****