Chapter 7

1392 Words
Setelah bertemu dan menjahili musuh lamanya yang bernama Argo, Raiga langsung tidur lagi di dahan pohon dengan nyenyak. Sementara itu, Yuna berhasil mendapatkan kuda putih walaupun dengan cara kotor. Dan di pinggir pantai, Zapar malah sedang menangis saat melihat batang miliknya telah rusak karena tergigit anjing liar. *** "Aku membawa dua cangkir cokelat hangat kesukaan Raiga, apa kau menyukainya juga, Melios?" tanya Felis yang mulai keluar dari dapur menuju ruang tamu, menghampiri meja tamu yang di sana juga ada Melios. "Aku rasa aku akan menyukainya, terima kasih, Tante," Melios tersenyum ramah setelah Felis meletakkan gelas berisi cokelat hangat ke meja tamu. Felis juga menyimpan nampan yang barusan dia bawa ke meja, kemudian dia duduk berhadapan dengan Melios. "Dari dulu Raiga selalu memintaku untuk membawakan cokelat hangat ke dalam kamarnya setiap malam, itu sudah menjadi kebiasaannya setiap malam, tapi anehnya, setelah dia masuk SMP, Raiga sudah lupa pada kebiasaannya itu, dia sekarang lebih suka bermain dengan Chogo." Mendengar cerita yang diceritakan Felis membuat Melios mengernyitkan dahinya penasaran. "Chogo?" Felis terkikik geli. "Itu bukan nama manusia, dia itu kucing, hewan peliharaannya Raiga," ucap Felis yang dibalas anggukkan oleh Melios. "Jadi Raiga punya peliharaan ya? Kukira dia benci hewan," kata Melios dengan menundukkan kepalanya. "Aku mengatakan itu bukan tanpa alasan, waktu itu aku pernah melihat Raiga menendang kelinci, jadi aku langsung menilai begitu." Felis terkaget mendengarnya. "Ah? Kau tidak tahu soal fobia yang diderita oleh Raiga ya?" ucap Felis dengan nada yang serius. Melios menarik napas panjang. "Aku tidak tahu, memangnya Raiga fobia terhadap apa?" "Kelinci," jawab Felis dengan cepat. "Dia sangat ketakutan jika melihat seekor kelinci, entahlah, aku juga tidak tahu kenapa dia bisa setakut itu pada binatang imut seperti kelinci, yang aku tahu, putraku itu selalu menyukai semua hewan, tapi tidak untuk kelinci." Melios langsung tersenyum. Bagus, aku mendapatkan kelemahannya sekarang. *** "Raiga! Raiga! Raiga!" Seseorang memanggil namanya ketika dia sedang asyik tidur di atas pohon, Raiga dengan sangat terpaksa membuka matanya lebar-lebar, wajahnya kini ingin sekali menghajar pemilik suara tersebut. Raiga langsung duduk, menatap ke bawah untuk melihat orang yang sudah mengganggu tidur siangnya hari ini. "Yuna!?" Raiga terkejut sekaligus senang setelah memastikan kalau orang yang barusan memanggilnya adalah teman barunya, Yuna. Yuna di bawah sedang menunggangi seekor kuda putih yang gagah, rambut biru panjang milik gadis itu sesekali terbang terbawa angin. "Kau ini kenapa masih di sana? Ayo turun, Raiga?" Mendengar itu, Raiga langsung tersenyum lebar dan meloncat ke tanah berumput dengan gaya memutar. Brak! Dia akhirnya mendarat dengan sempurna. "Dari mana kau mendapatkan kuda ini, Yuna?" Yuna hanya menutup mulutnya, terkikik-kikik mendengar pertanyaan itu. "Nanti saja, aku jelaskan diperjalanan, sekarang kau naiklah, Raiga, kita harus mencari lelaki sombong itu." "Apa maksudmu Zapar?" Raiga menebak dengan cepat. "Tepat sekali," balas Yuna dengan memutarkan bola matanya. "Kau duduk di depanku ya, Raiga?" "Kenapa aku di depan?" Raiga menaikan sebelah alisnya. "Kau saja. Aku tidak suka di depan." "Raiga, aku lelah mengendalikan kuda ini, sekarang giliranmu," kata Yuna dengan menatap mata Raiga. "Kau harus menuruti perintahku atau kutinggal di sini." "Hah?" Raiga terkejut. "Baiklah, baiklah, aku duduk di depan." *** Raiga dan Yuna menunggangi kuda putih itu bersama-sama, mereka mencari keberadaan Zapar dengan menyusuri hutan ini. Di tengah jalan, Raiga merasa canggung menaiki kuda bersama Yuna, entahlah, naluri lelakinya mulai bereaksi. "Yuna," panggil Raiga dengan santai. Tapi tidak ada jawaban sama sekali. "Yuna? Kau masih hidup kan?" Setelah menoleh, Raiga akhirnya tahu ternyata Yuna sedang tertidur di punggungnya sampai air liurnya membasahi jaket hitam milik Raiga. "Dasar," ucap Raiga yang kembali menatap ke depan, mengendalikan kuda ini dengan hati-hati. "Sekarang kau ada di mana, Zapar?" *** "Tante." ucap Melios setelah meneguk cairan terakhir dari cokelat hangat tersebut. "Kenapa, Melios?" jawab Felis dengan mengunyah buah apel di tangan kanannya. "Katakan saja, jangan malu-malu." "Begini, aku harus pulang, ini sudah sore, jadi aku harus kembali, terima kasih atas makanan dan minumannya, Tante, ini semua sangat enak," Melios langsung beranjak dari kursinya untuk berdiri. "Jika Raiga pulang, tolong sampaikan salam dariku, Tante." Felis ikut berdiri dengan ekspresi kaget. "Tidak, Melios," kata Felis dengan tergesa-gesa. "Kau harus tetap di sini." "Maaf, Tante, tapi aku--" "Lihatlah!" Felis tiba-tiba berlari ke arah jendela dan membuka gorden dengan buru-buru, sebuah suara gemerisik hujan langsung masuk ke dalam ruang tamu, membuat Melios mengerti apa maksudnya. "Setidaknya, kau harus menunggu hujan reda, baru setelah itu kau boleh pulang." Melios mengembuskan napas lelahnya, dan kembali duduk di kursi. "Aku paham, Tante, terima kasih." balas Melios dengan tersenyum kaku pada Felis. Felis juga kembali duduk di tempatnya. "Nah, kalau begitu, mari kita bergosip ria lagi, Melios," Felis tersenyum lembut pada Melios. "Sampai mana aku tadi?" Melios menahan napasnya. "Aku lupa, Tante." *** Di pinggir pantai, seorang gadis berambut hitam pendek dengan kulit putih pucatnya sedang berdiri tenang di sana, dia terlihat seperti sedang merenung. "Aku benci ayah, aku benci ibu, aku benci mereka." Gadis itu terus mengulang kata-kata itu dengan mata yang sembab, sepertinya dia sudah menangis. "KEMARI KAU! ANJING PEMAKAN BATANG!" Namun, keheningan itu langsung terpecah karena suara teriakan orang gila yang sedang mengejar seekor anjing hitam di kejauhan. Sang gadis yang mendengar itu menolehkan kepalanya sedikit, memperhatikan seorang lelaki berambut merah yang mengamuk entah karena apa sambil mengejar hewan itu. Muka gadis itu langsung terkejut setelah sadar kalau hewan yang dikejar oleh pria itu adalah peliharaannya. "Aku benci pria yang mengejar hewan orang lain!" Gadis itu langsung berlari mengejar pria berambut merah itu dengan anggun. "Berhenti! Jangan kejar anjingku!" Mendengar suara imut dari seorang gadis membuat pria itu berhenti mendadak. "Eh?" Dia tersentak menyaksikan gadis yang sedang berlari dengan memakai gaun merah yang kebesaran. "Siapa dia?" Akhirnya sang gadis sampai di hadapan pria itu, dia mengatur napas terlebih dahulu karena kelelahan kemudian langsung memasang wajah marah pada si rambut merah. "Atas dasar apa kau mengejar anjingku, landak merah!" Pria berambut merah langsung tersedak ludah mendengar gadis itu menyebutnya dengan nama aneh. "Landak merah?" Pria itu langsung memasang muka sombong. "Ada urusan apa seorang gadis tiba-tiba menghampiriku disaat aku akan menghabisi anjing sialan itu!?" Sang gadis benar-benar marah. "Kau pikir kau siapa, Landak Merah!?" Gadis berambut hitam itu meraung. "Anjing yang kau kejar itu adalah peliharaanku!" Mendadak, sang gadis langsung tersengguk-sengguk, menahan air matanya yang baru saja akan jatuh. Pria itu terkejut. "Ke-kenapa ka-kau menangis!?" Saat tangan si pria akan menenangkan sang gadis, sebuah penolakan langsung dilakukan oleh perempuan itu. Tangan si Landak Merah ditepis dengan kasar oleh gadis berkulit pucat tersebut. "Aku benci ayahku! Aku benci ibuku! Dan aku juga membencimu! Landak Merah!" teriak Gadis itu disertai tangisan. "Kenapa semua orang membenci peliharaanku!? Aku membenci siapapun yang berusaha menyakiti Gimba, anjing kesayanganku! Aku tidak akan segan-segan untuk membunuh siapapun yang membuat Gimba ketakutan! Aku bersedia melakukannya jika aku mau! Dan kini aku benar-benar sangat ingin melakukannya padamu, Landak Merah!" Pria itu kaget mendengar semua itu. "Kau ... kenapa berkata seperti itu?" "Aku dikenal dengan sebutan Si Penggila Anjing, aku suka sekali dengan semua jenis anjing, aku sangat menyayangi mereka, tapi, diantara semua anjing yang ada di muka bumi ini! Yang paling kusayangi adalah Gimba! Dia adalah anjing yang pernah menolongku! Dia selalu memberikan kebahagiaan untukku! Karena itulah! Karena itulah aku tidak akan membiarkan siapapun menyakiti Gimba!" Sang gadis memperlihatkan eskpresi sadisnya pada pria rambut merah itu dengan mengerikan. "Sekarang terimalah kematianmu, Landak Merah!" Pria itu langsung memundurkan langkahnya cepat-cepat. "Tunggu dulu, kawan!" Sang gadis terkejut. "Kau! Berani-beraninya menjauhiku!" Sang gadis kembali marah. "Setidaknya, katakan siapa namamu, agar aku bisa mati dengan tenang, kawan." ucap pria berambut merah itu dengan tersenyum sombong. "Grr! Namaku adalah Hara Vity! Hara Vity! Hara Vity!" ucap Hara dengan menggelora. "Sekarang, kemarilah, Landak Merah!" Pria itu menyeringai. "Nama yang cantik, secantik orangnya, kawan!" Mendengar itu, muka Hara yang awalnya menyeramkan seperti hantu langsung berubah menjadi super imut. "Be-benarkah? Ku-kukira nama ini terdengar aneh, te-terima kasih." jawab Hara dengan pipi memerah. "Na-namamu si-siapa?" "Aku Zapar, kawan!" Zapar menyeringai kejam. "Aku adalah seorang malaikat yang paling kuat di Surga!" Entah kenapa, sang gadis langsung kembali memasang wajah menakutkannya. "Aku juga membenci orang gila yang mengaku-ngaku sebagai malaikat! Kau pikir kau bisa menipuku dengan bualanmu! Zapar sialan!" "WAAAAAA!" Zapar langsung cepat-cepat melarikan diri dari Hara yang sudah berubah lagi menjadi hantu buruk rupa. "TAPI AKU INI MEMANG MALAIKAT! KAWAN! WAAAA!" "Berisik kau!" Hara terus mengejar Zapar tanpa henti. Dan pada akhirnya aksi kejar-kejaran itu terus berlangsung hingga cerita ini tamat, ah tidak, maksudku, mereka akan berhenti kalau kelelahan. BERSAMBUNG ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD