Dia Gila

1035 Words
Lana tidak tahu, manusia macam apa Jeffrey itu sebenarnya. Katanya dia seorang CEO, tapi bisa-bisanya punya waktu untuk mengurusinya. Contohnya sekarang. Mana ada CEO yang keliaran di luar kantor di saat jam seperti ini? Ayolah, seharusnya dia duduk saja di kursi kebesarannya, mengecek berbagai berkas, melakukan rapat, atau meeting dengan klien. Apa-apaan dengan berdiri menyender ke mobil SUV merah di depan kampus Lana, kemeja yang sengaja dia gulung hingga sikut, kemudian beberapa kali menyisir rambut ke belakang? Dia sengaja menebar pesona? Atau tidak sadar bahwa tindakannya itu terlihat menggoda? Sial. Lana mengumpat dalam hati, sampai tak sadar sebuah desisan keluar dari bibirnya. Oke oke, Jeffrey memang tampan. Bukan cuma ia, tapi semua perempuan mungkin mengakuinya. Oke. Lana akui itu. Tapi sungguh, ini rasanya tidak nyaman. Lana bahkan tidak tahu, motif apa yang lelaki itu gunakan untuk ingin menikahinya. Dan gerak-gerik Jeffrey yang terus mengusiknya, sungguh menyebalkan. Lana tidak tahan. "Ngapain, sih? Kepedesan?" celetuk Lucas ketika Lana mendesis untuk kedua kalinya melihat Jeffrey memakai kacamata hitam di sana. Dia pikir dia model atau apa? Tapi kalau boleh jujur, memang seperti itu. Jeffrey tampak menakjubkan berdiri di bawah terik matahari. Rambutnya yang dicat sedikit keemasan terlihat berkilau. Pun proporsi tubuh dan ukiran wajahnya begitu mengesankan. Mungkin para dewa iri jika melihatnya. Tuhan benar-benar menciptakan Jeffrey dengan sepenuh hati, sehingga semua porsinya pas. Sungguh, Jeffrey harus benar-benar bersyukur. "Kalian pergi duluan. Gue mau ke toilet. Panas." Lana mengibas-ngibaskan tangan ke wajahnya sambil berlalu pergi, kembali masuk ke gedung. Lucas dan teman-teman yang lain tak ambil pusing. Kembali melanjutkan langkah. Sedangkan di sisi lainnya, Lana mengumpat pelan begitu ponselnya tiba-tiba berbunyi. Panggilan dari Jeffrey. "Mau ke mana? Menghindari saya?" sahut suara di seberang sana, terdengar pongah. Otomatis Lana memutar tubuhnya perlahan, dan... Jeffrey menyeringai ke arahnya. Sialan. "Ngapain, sih, di sini? Pergi sana. Saya masih ada jam kuliah!" ketus Lana kesal. Tetap berdiri di tempatnya, memperhatikan Jeffrey yang juga tengah berdiri tegap memperhatikannya dari jarak jauh. "Mata kuliah kamu hari ini sudah selesai. Jangan membuat alasan dan lekas ke sini. Saya kepanasan." Lana membelalak. Jeffrey benar-benar psycho. Dia mengorek semua informasi tentangnya. Benar-benar tidak waras! "Saya juga kepanasan, makanya mau masuk lagi. Bye!" Lana memutus sambungan tak peduli. Membalikkan badan dan lekas masuk ke kampus. Tapi, tidak sesuai rencananya. Jeffrey tiba-tiba berdiri di ambang pintu masuk, menghadang langkahnya. Lana cengo. Menoleh ke belakang dan menemukan Jeffrey sudah tidak ada di depan mobilnya. Dia mantan pelari atau apa? Kenapa bisa secepat kilat sampai di sini? Lana tak habis pikir. "Kita makan siang bersama," ujar Jeffrey mutlak. Lana menghela napas dalam-dalam. Menatap Jeffrey dengan penuh peringatan. "Saya punya urusan mendesak. Silakan Anda makan sendiri, Pak Jeffrey Elvano." Lana tersenyum manis selama dua detik, kemudian mendorong Jeffrey agar enyah dari hadapannya. Namun yang terjadi, Jeffrey malah kembali. Dan kali ini, dia menarik tangan Lana, mengangkat tubuhnya dan diletakkan di atas bahu, membawa Lana layaknya karung beras. DIA GILA. "Turunin saya! Kamu gila?" Lana memberontak, memukul-mukul punggung Jeffrey. Namun lelaki itu masih geming, tidak mengindahkan teriakkan Lana. Ia hanya berjalan tenang, tak peduli pada kegaduhan apa pun di sekitarnya. Yang penting, ia bisa membawa Lana. Bug! Lana terperangah tak percaya begitu tubuhnya dijatuhkan dengan tidak manusiawi ke dalam mobil. Lana ingin mengumpat, mencaci, memaki, tetapi pintu mobil segera tertutup. Makhluk bernama Jeffrey itu berjalan tenang menuju pintu di sisi lainnya. Masuk dan duduk dengan tenang, sama sekali tak terganggu dengan wajah Lana yang merah padam, siap memuntahkan amarahnya. "Duduk saja dengan manis jika tidak ingin saya berbuat gila lagi," ucap Jeffrey tenang sebelum Lana mengeluarkan sepatah kata pun dari mulutnya. Pada akhirnya Lana hanya mencoba menetralkan napasnya yang memburu. Membaca berbagai mantra dalam hati agar ia tidak kelepasan membunuh manusia di sampingnya. Ya, kemarahan Lana sudah di tahap ingin membunuh apa pun saat ini. Bahkan jika sekali saja ia bisa merobek mulut manis Jeffrey, itu tidak membuatnya lega. Lana terlalu marah. Tapi Lana sadar, Jeffrey bukan tandingannya. Dia selalu bersikap tenang, itu artinya Lana juga harus tenang untuk membalasnya. Jangan bersikap barbar dan balas dendam dengan cara elegan. Ya, Lana terus meyakinkan dirinya dalam hati. Jeffrey bukan manusia biasa. Dia gila. Benar-benar manusia gila. Kini Lana sudah duduk di sebuah restoran yang Lana taksir adalah restoran mahal. Bisa ditebak, mulai dari tempat yang luas dan rapi, sebuah panggung mini dengan musik klasik yang jujur, sama sekali tidak Lana sukai, juga para pelayan berseragam yang piawai mengucapkan berbagai menu yang terdiri dari bahasa Prancis. Lana mendengar Jeffrey memesan escargot, coq au vin, foie gras, dan sebotol sampanye dengan bahasa dan dialog Prancis yang terdengar fasih. Lana sendiri sedikit enggan, hanya memesan apa yang Jeffrey pesan. Lagipula lidah Lana lebih cocok dengan makanan Jepang daripada Prancis. "Makan yang banyak. Saya tidak akan menyuruh kamu diet. Perempuan berisi lebih menarik." Jeffrey mengatakannya dengan tenang, mengangkat sebelah bahu acuh. Sementara Lana merasa Jeffrey terlalu terang-terangan. Ini bahkan baru pertemuan mereka yang ke berapa. "Yeah. Saya makan banyak, tapi tubuh saya tidak akan pernah berisi. Well, kamu bisa mundur jika merasa tertarik dengan perempuan berisi." Lana tersenyum elegan. Jeffrey terkekeh ringan. Menatap Lana dengan bola mata kelamnya yang mematikan. "Hm, menikah dan tertarik dengan tubuh wanita adalah dua hal berbeda. Tidak apa, kamu gendut, kurus, berisi, atau apa pun. Kita tetap menikah. Urusan saya tertarik dengan perempuan berisi, saya bisa mencarinya sementara kita tetap menikah." Lana menahan umpatannya di ujung tenggorokan. Untung saja pelayan segera datang dan menata makanan di meja, sehingga untuk beberapa saat Lana bisa teralihkan. Jika tidak, augh, entahlah. Lana sendiri tidak menebak apakah masih bisa menahan hasratnya untuk membunuh Jeffrey atau tidak. "Kamu punya pacar?" tanya Jeffrey tiba-tiba, saat mereka tengah menyantap makanan masing-masing. "Laki-laki pemilik apartemen itu, bukan pacar kamu kan?" Lana menghela napas pelan, berusaha bersikap tenang. "Saya punya pacar, tapi bukan dia orangnya," bohongnya. "Begitu." Jeffrey mengangguk singkat. "Kamu tahu, saya tidak suka berbagi dengan orang lain. Jadi, silakan putus." "Maaf, bukankah dari awal saya tidak setuju dengan perjodohan ini? Lantas, kenapa saya harus menuruti permintaan kamu?" "Karena kamu harus. Kamu tidak punya pilihan. Saya tidak meminta, tetapi memberi perintah." Shit. Lana benar-benar emosi dengan sikap Jeffrey yang seolah mengatur seluruh kehidupannya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD