Jeffrey baru saja mendaratkan bokongnya begitu Ardi masuk dengan raut wajah cemas. Jelas, Jeffrey sadar, sesuatu yang buruk telah terjadi. Tapi Jeffrey tetaplah Jeffrey, seseorang yang akan bereaksi santai terhadap apa pun, seseorang yang akan bersikap tenang seolah tanpa emosi. Nyatanya, emosi itu tersimpan sangat jauh di dalam hatinya. Menggerogiti dirinya kian hari. Ia tidak tahu, kapan tepatnya semua itu dimulai. Yang pasti Jeffrey hanya tahu, itu sudah berjalan bertahun-tahun lamanya. Hingga terkadang Jeffrey mempertanyakan hatinya, apakah masih berfungsi layaknya manusia ataukah tidak. Sampai beberapa waktu lalu, seorang gadis menyadarkannya bahwa ia masih memilikinya.
"Ada apa?" tanya Jeffrey menelisik.
"Model pria untuk iklan produk terbaru kita mengalami kecelakaan lalu lintas. Dan syuting tidak bisa dibatalkan karena kru sudah berkumpul."
"Bagaimana dengan model cadangan?" respon Jeffrey tenang.
"Saya rasa tidak mudah untuk mendapatkan model di saat mepet seperti ini."
"Ah, saya rasa persiapan kalian kurang matang." Jeffrey bangkit, mengambil jasnya dan melenggang pergi diikuti oleh Ardi yang bertanya-tanya tentang apa yang akan atasannya itu lakukan.
"Randu, kemari!" ucap Jeffrey lantang begitu sampai di lokasi syuting. Sesuatu yang tidak bisa ditebak Ardi mau pun yang lainnya.
Seluruh kru yang bertugas memasang badan siaga, berdiri tegang menatap kedatangan Sang CEO yang muncul secara tiba-tiba.
"Mana skenarionya?" tanya Jeffrey tanpa menatap Randu, malah sibuk membuka jas kemudian membuka kancing lengan kemeja dan menggulungnya hingga ke sikut.
Begitu menerima sebuah kertas dari Randu, Jeffrey duduk di sebuah kursi kayu yang tersedia di sana. Menopang kaki dan membaca saksama kertas di tangannya. Ardi menjadi sasaran tanya dari semua orang di lokasi. Namun yang dilakukannya hanya menggeleng pelan, karena ia sendiri tidak tahu apa yang Jeffrey rencanakan.
"OKE." Jeffrey berdiri, membuat semua orang harap-harap cemas menanti apa yang akan ia lakukan. "Ayo mulai syuting."
Jeffrey berjalan elegan menuju westafel, mengambil sebuah sabun wajah ---produk yang diluncurkan perusahaannya, di sana. "Saya hanya mencuci muka dan tersenyum menawan di hadapan kaca. Begitu saja, bukan?" Ia menatap Angga, sutradara yang bertugas. "Oh, untuk adegan memeluk seorang gadis, tolong hilangkan. Saya rasa menampilkan visual saya saja cukup."
Angga mengangguk gugup. Hendak berbicara tetapi tiba-tiba saja kelu. Jeffrey adalah sosok yang tenang. Jika mood-nya sedang baik, tak jarang dia tersenyum. Tapi, perintahnya adalah mutlak. Tidak ada yang bisa mengganggu gugat. Pendiriannya kuat, dan dia tidak suka dibantah. Jika dia marah, habislah. Meredakan emosi Jeffrey tidak mudah. Itu sebabnya semua karyawan segan dan takut untuk menyinggungnya. Meski muda, tetapi dia memiliki sima dan jiwa kepemimpinan yang kuat.
Syuting telah selesai. Hanya perlu beberapa pengambilan, dan memakan waktu tidak lebih dari dua jam. Waktu itu bahkan sudah termasuk dengan keributan yang diciptakan model perempuan yang seharusnya memainkan sepenggal adegan dengan Jeffrey. Dia bersikeras untuk tidak menghapus bagian itu, tetapi Jeffrey tentu lebih keras. Lagi pula, begitu melihat wajah Jeffrey dan mengetahui dia adalah CEO dari perusahaan yang meluncurkan produk tersebut, perempuan itu langsung geming, mundur perlahan dengan wajah tidak enak.
"Permisi."
Suara yang tidak asing tersebut membuat Jeffrey yang tengah merapikan kemejanya menoleh. Benar saja, orang yang dia pikirkan berdiri di sana. Di dekat pintu masuk dengan sebuah kantung di tangannya. Jeffrey tersenyum miring, merasa dunia terlalu sempit untuk ia tinggali dengan orang-orang yang membuatnya sulit. Untuk itu ia berjalan, menghampiri pemuda berambut hitam legam tersebut.
"Saya ingin menemui Amela. Tasnya tertinggal di butik tadi."
"Pak Gara Narendra?" Jeffrey berbicara dengan nada hangat, tetapi kesannya berlainan. "Oh, ada perlu apa kemari?" lanjutnya disisipi senyum.
Kru yang berhadapan dengan lelaki bernama Gara tadi mundur begitu Jeffrey datang.
Sedangkan Gara, tak lama kemudian ia tersenyum canggung. "Saya ada perlu. Kamu, sedang ada urusan di sini?" tanya Gara balik, mengintai sekitar untuk mencari tahu sesuatu.
"Kami baru selesai syuting untuk iklan produk terbaru perusahaan." Jeffrey menjawab percaya diri. Sekadar menunjukkan bahwa di sini, dia yang lebih baik. Jeffrey terkadang memang sengaja memamerkan kekuasaannya. Bukan karena ingin, tapi memang logikanya bilang itu harus. Ia muak terus diremehkan. Ia muak terus diabaikan. Ia muak tak dianggap hanya karena Gara, saudara tirinya itu jauh lebih baik di mata ibunya.
Gara mengangguk paham, membenarkan denim hitamnya yang tiba-tiba terasa tak nyaman. Pemuda tinggi itu lantas menghela napas lega begitu melihat seseorang yang ia cari datang dari belakang Jeffrey. Berpikir bahwa kecanggungan ini akan segera berakhir.
"Ah, tas saya ya?" Amela, model berambut cokelat keemasan yang tadi sempat bertengkar dengan sutradara karena bagiannya dihilangkan.
"Ya, saya kemari untuk mengembalikan tas Anda." Gara menyerahkan paper bag dari sebuah butik yang sangat Jeffrey hafal. Sejujurnya Jeffrey muak, tetapi ia menahan diri. Ya, Jeffrey adalah jagonya dalam hal menahan diri, menahan emosi.
"Terimakasih."
"Kalau begitu saya pamit." Sekali lagi, Gara tersenyum sopan. Sedikit membungkuk ketika pamit.
Jeffrey diam di tempatnya. Tidak membalas tersenyum pada Gara, atau merespon Amela yang terus saja mengoceh, bertanya banyak hal yang menurutnya tidak penting, menunjukkan rasa ketertarikannya pada Jeffrey.
***
"Kamu kembali?"
Gara mengangkat sedikit kedua sudut bibirnya. Berjalan semakin lebar menghampiri gadis berambut cokelat sebahu yang nampak manis dengan outfit merah muda. Kacamata bacanya melorot, membuatnya terlihat lucu.
"Ehm. Mau makan siang?" tawar Gara, memeluk bahu gadis tersebut, Vanila. Ya, namanya Vanila Tan. Gadis yang lima bulan lalu ia temui lewat sebuah acara amal. Saling mengenal, akrab, hingga tiba-tiba malam itu, kecelakaan terjadi. Menyebabkan Vanila panik karena mengetahui dirinya tengah berbadan dua setelah hampir dua bulan kejadian itu berlalu.
Gara tidak menyesal. Begitu pun Vanila. Setelah berbagi pendapat, pada akhirnya mereka menyadari saling mencintai. Meski pekerjaan Gara hanyalah seorang seniman biasa, tetapi Gara yakin bisa membahagiakan Vanila. Gara tahu, Vanila adalah gadis baik yang tidak akan banyak menuntut. Kendati demikian, Gara selalu meyakinkan dirinya untuk terus bekerja keras. Karena kebahagiaan Vanila, adalah kebahagiaannya pula. Pun Vanila selalu meyakinkan, bahwa seperti apa pun kehidupan mereka nantinya, ia akan bahagia.
Gara mengendus wangi tubuh Vanila, yang sama dengan namanya, beraroma manis seperti kue. Kebiasaan Gara setiap bertemu Vanila, adalah memeluknya, mencium aroma yang membuatnya tenang. Tak jarang hanya dengan memeluk Vanila saja, Gara bisa lelap tidur.
"Mau makan sea food, pasta, atau..."
"Aku pengin makan sate ayam di deket studio kamu," sela Vanila segera. Tersenyum lebar menunjukkan deretan giginya yang putih.
"Kamu yakin? Hari ini gak makan sea food?" Gara membantu Vanila berdiri. Menutup buku n****+ yang sejak tadi dibaca kekasihnya. Ralat, calon istrinya beberapa saat lagi.
"Hm. Aku begah. Seminggu ini makan sea food terus."
"Ya udah. Mau kamu adalah perintah bagi aku." Gara mengecup kening Vanila lembut. Menuntun tangan calon wanitanya dengan penuh kasih. Gara tidak tahu, juga tidak pernah mencari tahu tentang siapa Vanila sebelumnya. Yang ia tahu, ia hanya mencintainya. Itu saja. Bahkan hingga suatu saat sesuatu akan melukainya, Gara hanya akan percaya satu hal saja: cintanya.
***