Kehancuran Bersama

1021 Words
Jeffrey menatap nanar pada seorang perempuan yang sedang meletakkan bunga-bunga mawar putih di beberapa penjuru ruangan berdinding kaca itu. Dari mobilnya, meski dengan jarak lumayan jauh, Jeffrey bisa melihat wajah itu nampak berseri. Seolah, pemilik wajah tersebut sama sekali tidak merasa bersalah pernah menyakiti seseorang. Atau mungkin, dia lupa akan hal itu? Di belakang perempuan itu, seorang lelaki berdiri. Nampak tersenyum sesekali sambil mendengarkan celotehannya. Seharusnya, Jeffrey yang ada di posisi itu. Seharusnya, Jeffrey yang memeluknya di sana. Bukan dia. Bukan Gara. Jeffrey mendesis kesal begitu sebuah pesan masuk dari Ardi menginterupsi. Benar ada rapat penting hari ini, tetapi Jeffrey malah asyik dengan dunianya memperhatikan perempuan yang masih ia cintai. Ketika Gara keluar dari butik, Jeffrey lekas meninggalkan mobil. Tentu untuk menghampiri Vanilla. Ada banyak hal yang perlu ia sampaikan terhadap perempuan itu. Sangat banyak. "Sugar... ah, Vanilla maksudku," Jeffrey meralat panggilannya. Perempuan yang dipanggil seketika menoleh, dan jelas sekali dia terkejut mendapati kehadiran Jeffrey di tempatnya sepagi ini. "Jeffrey," lirih perempuan itu. Jeffrey tersenyum kecil. Ia senang mendengar Vanilla memanggil namanya. Meski tak sehangat beberapa bulan lalu. "Kenapa kamu di sini?" tanya Vanilla setelah menormalkan mimik wajahnya. Jeffrey menghembuskan napas panjang. Kaki-kaki jenjangnya berjalan menyusuri butik Vanilla yang tidak begitu luas, tetapi nyaman. Dulu, Jeffrey ingat betul, ia yang membantu Vanilla menyusun dekorasi di butik tersebut. Menyarankan padanya untuk memakai cat cream agar terlihat lebih segar dan cantik. Jeffrey juga yang membelikan guci besar di sudut ruangan sebagai hadiah untuk seratus hari semenjak dibukanya butik tersebut. Di dekat tangga, sebuah manekin cantik pernah Jeffrey goda, membuat Vanilla tergelak dengan tingkah anehnya. Kemudian di tikungan tangga itu, Jeffrey ingat pernah mencium Vanilla sambil memberikan kalung hadiah ulang tahun untuknya. Selama ciuman itu, Vanilla bahkan tidak sadar Jeffrey bersusah payah memasang kalung berbandul hati tersebut di lehernya. Demi membuat Vanilla bahagia, Jeffrey bahkan tidak pernah mempermasalahkan kesulitannya. Sekarang? "Kalau aku bilang aku rindu tempat ini, kamu percaya?" Jeffrey berbalik, menghentikan nostalgia manisnya. "Kita udah putus, Jeff. Tolong jangan ganggu aku lagi." "Putus? Apa alasan kita putus? Sampai saat ini aku belum tahu." Jeffrey tersenyum miris. Vanilla mengerang frustrasi. Menyugar rambut lurusnya ke belakang, lantas menatap Jeffrey dengan nanar. "Aku udah nggak cinta sama kamu. Apa itu cukup?" tanya Vanilla. Jeffrey berdecih. "Segampang itu? Setelah kita bersama-sama selama itu?" tanyanya. Berjalan mendekat ke hadapan Vanilla, kemudian meraih pinggang perempuan itu dan menariknya mendekat sehingga kini tubuh keduanya menempel satu sama lain. "Tatap aku. Bilang kalau kamu nggak cinta lagi sama aku. Bilang!" ucap Jeffrey, tenang tetapi tajam. Ia menatap Vanilla lurus dan dalam dengan jarak yang begitu dekat, sampai keduanya mampu merasakan embusan napas masing-masing. "Aku... aku nggak cinta sama kamu," lirih Vanilla. Kedua matanya berkaca-kaca pun bibirnya yang bergetar membuktikan bahwa yang dikatakan Vanilla tidaklah benar. "Bohong," Jeffrey berujar nanar. Kedua matanya membola, hatinya sakit luar biasa. Jeffrey menyentuh wajah halus itu dengan tangannya. Menyusuri pipi Vanilla dengan ibu jari. Beralih ke mata, hidung, dan berakhir di bibirnya. Jeffrey mendekatkan wajahnya, mengecup singkat bibir ranum itu selama kurang dari tiga detik. Saat tidak ada pergerakan apa pun dari Vanilla, Jeffrey memejamkan mata, kembali menciumnya dengan lembut tetapi sangat kentara menggunakan seluruh emosi di dalam dirinya. Perasaan Jeffrey hancur menatap perempuan di pelukannya, tetapi dia masih mencintainya bagaimana pun juga. Dan itu membuatnya benar-benar gila. Jeffrey membuka mata dan lantas melepaskan pagutan bibirnya saat melihat setitik air mata mengalir dari pelupuk mata Vanilla. Perempuan tersebut menunduk, terisak pelan. "Kenapa...." Jeffrey menyentuh wajah Vanilla, menghapus air matanya. Namun, tiba-tiba seseorang menarik lengannya sehingga Jeffrey oleng dan tinjuan mendarat di rahangnya tanpa mampu Jeffrey elak. "Gara!" *** Gara tidak pernah mencintai seorang perempuan selama hampir tiga dekade hidupnya. Selama ini hidupnya hanya berpusat pada lukisan; kebahagiaan Agnes, adiknya; dan membantu ayahnya di restoran. Namun beberapa bulan lalu, dia bertemu perempuan itu. Vanilla namanya. Dia cantik, lembut, dan hangat. Gara tidak pernah merasakan perasaan nyaman melebihi yang dia rasakan pada Vanilla. Ketika akhirnya mereka melakukan kesalahan, Gara sangat senang. Baginya kesalahan itu adalah anugerah. Dia bisa memiliki perempuan itu seutuhnya. Dengan bonus seorang anak yang tengah tumbuh di dalam kandungan perempuan itu. Tapi ternyata, dia salah. Hal yang dia lihat beberapa menit lalu, menghancurkannya. Vanilla, Jeffrey, hubungan mereka, dan ciuman itu... Gara kehilangan segalanya. Dia merasa seperti orang bodoh di sini. "Apa maksud dari ini, ha?" tanya Gara setelah meninju rahang Jeffrey beberapa saat lalu. Vanilla nampak beringsut di ujung, ketakutan. Sedangkan Jeffrey memegangi luka memerahnya yang Gara tahu pasti akan membiru beberapa saat lagi. "Gara, ini nggak seperti yang kamu lihat." Vanilla menangis tersedu, menatap Gara dengan ketakutan yang terpancar jelas dari kedua matanya yang basah. "Lalu apa? Kamu, Jeffrey, dan ciuman? Kalian...." Cih. Gara menoleh pada Jeffrey ketika lelaki itu berdecih. Dia mendekat padanya, meraih kerah kemeja Jeffrey dan menatapnya penuh amarah. "Kenapa? Ada apa ini sebenarnya!" pekik Gara murka. "Kamu serius nggak tahu, atau pura-pura bodoh?" gumam Jeffrey tak kenal takut, menatap Gara dengan remeh. "Saya, Vanilla, kita pacaran. Kita udah lama sama-sama sampai akhirnya kamu datang!" teriak Jeffrey, dalam kurun waktu sedetik mengubah senyumannya menjadi tatapan benci. Menunjuk wajah Gara yang tidak mengerti apa-apa. "Jeffrey!" jerit Vanilla di ujung sana. Gara melepaskan cengkraman tangannya di kerah Jeffrey. Mundur sambil menatap mereka bergantian. "Ada apa? Dia memang tahu, kan, kalau kita pacaran?" Jeffrey tersenyum sinis. "Gara sengaja ngerebut kamu karena tahu kamu pacar aku. Dia selalu rebut apa pun yang aku punya. Ibu, kamu, dan nanti apa lagi, HA!" Gara menatap Jeffrey lurus. Apa yang dia katakan tidak benar. Gara memang sadar hubungannya dengan Jeffrey tidak begitu baik karena Jeffrey selalu kasar padanya--padahal sudah lama mereka menjadi saudara tiri. Selama ini Gara selalu bertanya-tanya, hal apa gerangan yang membuatnya begitu benci? Toh, hubungan orangtua mereka baik. Dan sekarang, Gara paham. "Ibu bahkan bilang supaya aku harus lepasin kamu demi dia. Kenapa? Kenapa harus selalu aku yang ngalah? Aku muak. Muak dengan semua ini, Van. Dan sekarang kamu mau belain dia?" Gara memejamkan mata. Ini semua begitu sulit ia terima. Ibunya, Vanilla, berarti mereka sudah membodohinya. "Jeffrey..." "Saya membenci kamu. Melebihi apa pun di dunia ini," desis Jeffrey yang lantas pergi begitu saja. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD