Sial

1009 Words
Yang Lana lihat pertama kali ketika ia terbangun adalah, cahaya putih menyilaukan yang menyakiti netranya. Mengerjapkan mata beberapa kali, Lana duduk, melihat sekeliling dengan kening berkerut. Lana pikir, semalam ia hanya minum segelas alkohol, tidak mungkin ia mabuk. Tapi, ini benar-benar aneh. Seingatnya, apartemen Lucas berbentuk apartemen studio di mana kamar, ruang makan dan dapur menyatu tanpa sekat dinding. Namun ruangan tempatnya terbangun sekarang sangat berbeda, jauh berbeda. Ini bahkan terlalu luas dan mewah untuk ukuran apartemen. Ini lebih mirip seperti--mansion? Kamar tersebut benar-benar besar, didominasi oleh warna putih dan abu-abu dengan kaca lebar yang memperlihatkan pemandangan taman mini yang indah di depan. T-tapi tunggu! Bukannya apartemen Lucas juga ada di lantai empat? Lalu... Ah, gue mimpi nih pasti. Lana menggeleng pelan kemudian kembali membaringkan badan dan menyelimuti tubuhnya hingga kepala. Namun setelah beberapa detik, tidak, ini bukan mimpi! Lana kembali menyingkirkan selimutnya dan duduk dengan kasar. Menatap nyalang pada sekelilingnya, berusaha menemukan apa pun yang membuatnya menemukan titik terang tentang di mana keberadaannya sekarang ini. Di tengah kebingungannya, suara berat yang tak asing bagi Lana terdengar, membuat Lana semakin mengkerutkan kening, berpikir. Pintu kamar kemudian terbuka, dan alangkah terkejutnya ia saat melihat seseorang yang masuk! "K-kamu!" Lana menunjuk orang itu dengan mata membulat. "Kamu sudah bangun?" Dengan santainya seseorang tersebut duduk di sofa dekat jendela seraya menatap Lana santai. "Kenapa saya bisa di sini, ha?" tanya Lana, turun dari ranjangnya, hendak berjalan menghampiri pria itu tetapi urung begitu melihat pakaian yang ia kenakan; sebuah piyama tipis dengan lengan tali. Lebih mirip seperti, lingerie. "Astaga!" pekik Lana, meraih selimut di kasur dan menggelungkannya di tubuh. "K-kamu..., kamu ngapain saya?" hardik Lana kasar. Serius, Lana bukan gadis lugu yang selalu berpakaian tertutup sehingga dia harus bereaksi seperti itu. Tapi entah mengapa dia refleks menutupi tubuhnya. Mungkin karena dia Jeffrey. Mungkin karena Lana sadar lelaki itu berbahaya. "Apa?" "Om m***m! p*****l! Saya bakal telpon Papa, saya bakal bilang kalau kamu--" "It's okay. Paling pernikahan kita dipercepat." Lana menghentikan aksi gilanya mencari ponsel. Ia terdiam membeku, kemudian kembali berbalik menatap Jeffrey yang tersenyum miring di kursinya. "b******k!" desis Lana, menatap Jeffrey dengan tatapan memicing. Jeffrey berdiri, berjalan perlahan seolah sengaja mengintimidasi Lana. Lana sendiri berdiri tenang, menunggu Jeffrey tiba di hadapannya. Maaf, Lana terlalu angkuh untuk terintimidasi dengan lelaki seperti Jeffrey. "Jangan pergi ke kelab malam apalagi tidur di rumah laki-laki lain lagi, mengerti?" ucap Jeffrey serius. Kedua netra kelamnya menembus mata Lana. Mendengar pernyataan itu, Lana mendongak. Menatap Jeffrey dengan remeh. "Kamu siapa? Buat apa larang-larang saya, hm?" Jeffrey tak menjawab, tetapi ia kembali maju, seolah tak peduli bahwa jarak mereka kini pun sudah terlalu dekat. Astaga, kenapa ganteng banget, sih, anjir dari deket gini? Tolong jangan bikin gue goyah! Lana komat-kamit dalam hati. Jantungnya benar-benar berpacu dengan cepat saat jarak wajah Jeffrey dengan wajahnya hanya tinggal beberapa senti. "Semakin kamu membangkang, saya semakin senang mengikat kamu. Juga membuat saya semakin bertekad untuk terus memajukan tanggal pernikahan," bisik Jeffrey, amat dekat di telinga Lana sampai bulu kuduk Lana meremang. Usai mengatakan kalimat itu, dia menjauhkan wajahnya dan memasang smirk di depan wajah Lana, kemudian berlalu. Sial! Sial! Sial! Lana membenci lelaki itu! *** "Turun di sini!" pekik Lana begitu mobil Jeffrey yang mengantarnya hampir tiba di depan kampus. Tidak, Lana tidak ingin Jeffrey mengantarkannya tepat ke depan kampus. Bisa-bisa ada temannya yang melihat. Sungguh, Lana malas menjawab pertanyaan jika-- "s**t! Saya bilang turunin saya di sini!" teriak Lana berang begitu mobil masih melaju, dan akhirnya berhenti benar-benar tepat di depan bangunan fakultasnya. Sialan. "Saya terlalu baik untuk membiarkan calon istri saya kelelahan," balas Jeffrey santai, dengan senyuman yang sialnya sangat tampan itu. "Terserah. Jangan ganggu hidup saya lagi. Kita gak akan nikah. Jadi jangan panggil saya dengan embel-embel calon istri lagi, ngerti?" Lana berdesis sebelum membuka pintu dan keluar dengan kasar. Tak lupa, ia membanting pintu saat menutupnya. Demi Bikini Bottom, kolor Patrick yang tidak pernah dicuci, dan Garry siput yang mengeong seperti kucing, Lana amat kesal pada lelaki itu. "Whatever you say. you'll still be mine, Honey." Jeffrey tersenyum tipis seraya menatap Lana yang berjalan setengah berlari.  *** "Lucas! b******k lo, ya!" pekik Lana begitu mendapati sosok Lucas yang tengah asyik bercengkrama dengan Stevan dan Miko sambil memakan camilan di depan kelas. "Apaan, Lan? Anjir, jangan mukul muka gue. Ampun! Entar muka ganteng gue bonyok!" Lucas melindungi kepalanya dengan lengan. Bagaimana pun, pukulan Lana adalah yang terbaik. Dia bahkan pernah bonyok semester lalu gara-gara mencium pipinya. Padahal cuma iseng, dan hanya di pipi. Pipi, bor! Pelit memang Lana, tuh. "Ada apaan, nih? Lucas ngapa-ngapain lo?" pekik Stevan diselingi tawa. Tidak ada nada khawatir sama sekali. Malah lebih ke nada--meledek? "b*****t. Diem lo, ya!" Lana menunjuk Stevan sambil memelotot tajam. Miko yang berdiri di sisinya tertawa. Wajar, kaum receh. "Bibir gue masih sakit, Lan, sumpah. Gara-gara calon su--" "s**t!" Lana membungkam mulut Lucas segera, sebelum ia mengucapkan sesuatu yang mungkin akan membuat ricuh dunia seperkampusan. "Ikut gue!" Lana menarik tangan besar Lucas. Sedangkan Stevan dan Miko cengo di tempat. Menatap Lucas dan Lana bertanya-tanya. "Mereka ada apa-apa, ya?" tanya Miko datar. "Mungkin?" Stevan merespon linglung. "Kenapa gue bisa ada di mansion-nya Om-om p*****l itu, ha?" desis Lana, setelah mendorong Lucas sampai punggung lelaki itu menabrak dinding. "Dia dateng ke apartemen gue, kampret. Lihat, nih!" Lucas memiringkan wajah, memperlihatkan sisi bibirnya yang sedikit sobek. "Gue dibogem keras banget gara-gara lindungin lo. Dan lo tahu dia bilang apa? Katanya dia calon suami lo. CALON SUAMI! Anjing, lo bisa bayangin kagetnya gue semalem kayak apa?" Lucas ngegas di akhir-akhir kalimat. "Bisa pelanan dikit gak, kalau ngomong?" semprot Lana kesal. "Jadi dia beneran calon suami lo?" Lucas menelisik. Begitu tak ada jawaban yang terlontar dari mulut Lana, Lucas menggeleng tak percaya. "Sial. Gua kira bakal ada plot twist di antara kita." "Apa?" Lana mengernyit. "Ya maksudnya status kita bisa berubah gitu. Gue ganteng, lo cantik, cocok kan?" "Bego!" Lana menempeleng keras kepala Lucas. "Jangan becanda. Sumpah gue gak mau nikah sama dia. Tapi bokap gue maksa." "Dijodohin?" tebak Lucas. "Begitulah. Udah, gue gak mau bahas cowok b******k itu. Yang pasti, jangan sampai soal ini bocor ke temen-temen lain. Gue lagi cari cara supaya perjodohan ini batal." "Mau gue bantuin?" tawar Lucas. "Tapi sebagai imbalannya, jadi pacar gue." "Bacot. Gue bisa urus masalah gue sendiri. BYE!" Lana melenggang angkuh meninggalkan Lucas. Benar-benar, Lana tak mengerti dengan otak lelaki itu. Nggak orang lain, nggak senior, sahabat sendiri, masih saja digoda. Untung Lana sudah kebal. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD