7. Dilema

1089 Words
"Lepasin Mas, sakit!" pekikku sambil ku dorong tubuh kekar Mas Salman yang membuat ku semakin menyayangkan sikapnya yang keluar dari ajaran agama. "Aku tidak mengatakan apa-apa, sungguh!" ujarku memelas agar Mas Salman melepaskan cengkraman tangannya dari tanganku. "Anaaa!" teriak seorang pria yang baru saja menyaksikan perlakuan Mas Salman padaku. "Mas Azzam." Sungguh aku terkejut karena Mas Azzam kini menyaksikan perlakuan Mas Salman padaku. "Lepasin, Mas! Aku takut Mas Azzam tahu apa yang terjadi di antara kita," bisikku pada Mas Salman karena aku pun belum siap jika Mas Azzam mengetahui apa yang terjadi dalam pernikahanku. "Apa yang kamu lakukan pada Ana, Salman?" Mas Azzam menarik ku dari Mas Salman. "Jika ada masalah, bicarakan'lah baik-baik tidak dengan memakai kekerasan," ucapnya lagi membuat ku semakin menyesal telah menyakiti hatinya dengan menikahi pria bejad seperti Mas Salman. "Aku tidak apa-apa, Mas. Ini hanya salah paham," ucap ku tak ingin membuat Mas Azzam semakin khawatir. Mas Salman tak menghiraukan ucapan Mas Azzam bahkan mungkin tak menghiraukan pembelaan dari ku. Mas Salman pergi meninggalkan kami begitu saja tanpa ingin mengatakan apapun. Mas Azzam menatap ku dengan begitu dalam, aku yakin ada banyak hal yang ingin Mas Azzam tanyakan padaku. "Mas, apa yang membuat mu datang ke sini?" tanyaku berusaha mencairkan suasana. Mas Azzam tak langsung menjawab pertanyaan ku dan malah menatap ku dengan sangat dalam. "Apa yang membuatnya menyakiti mu, An?" tanyanya dengan sangat serius. Aku terkesiap walau sudah ku duga jika pertanyaan itu akan keluar dari mulut Mas Azzam. "Tidak ada, Mas. ini hanya salah paham," ucapku memalingkan wajah dari Mas Azzam tanpa ku sadari justru sikapku itulah yang membuat Mas Azzam semakin curiga. "Kamu anggap aku apa selama ini, An? Jika selama ini kamu selalu berbagi cerita dengan ku masalah yang lain, lalu kenapa untuk masalah ini tidak? Aku akan selalu menjadi temanmu, bukan?" Ada rasa yang tak biasa saat kata 'teman' itu keluar dari mulut Mas Azzam saat ini. Ya, karena mungkin kata itu membuatku menyesali apa yang terjadi padaku saat ini. Entahlah, aku pun hanya manusia biasa yang mempunyai hati yang rapuh saat menerima terpaan dan ujian hidup yang begitu berat. "Mas, kamu ini ngomong apa sih? aku memang tidak apa-apa, aku baik-baik saja, Mas." "Kamu tidak akan pernah bisa membohongiku lagi, Ana." Aku menarik kembali sunggingan dari bibirku yang begitu ku paksakan itu. "Apa maksudmu, Mas?" Mas Azzam menarik nafasnya begitu dalam. "Ayolah, An ... aku yakin kamu bukan wanita bodoh yang tidak mengerti maksudku." Mas Azzam kembali menatap ku. "Mas, mungkin sebaiknya Mas Azzam pulang dulu ya. Suami ku tengah ada di rumah dan sebagai istri yang baik aku harus melayaninya dengan baik bukan?" Mas Azzam berdesis tak percaya dengan ucapanku yang terus saja menyangkal apa yang dia pikirkan. "Baiklah, An. Aku akan pergi, tapi kamu harus ingat jika aku menyayangimu dan akan selalu ada untukmu." Sesak, dadaku begitu sesak mendengar kata-kata dari Mas Azzam. "Terima kasih, Mas. Terima kasih karena selalu mendengarkan isi hatiku," ucapku yang sesungguhnya ingin sekali mengatakan terima kasih karena sudah menyayangiku. Mas Azzam pun pamit dan pergi dari rumah ku. Bahkan Mas Azzam belum mengatakan apa yang membuatnya datang ke rumahku. Tanpa ku sadari ternyata Mas Salman mendengar kan percakapanku dengan Mas Azzam dengan mata menyipit. 'Ada hubungan apa mereka sebenarnya?' Aku beranjak dan melangkahkan kaki ke kamarku untuk mengambil handphone karena hari ini aku belum menanyakan kabar Ibu di rumah sakit pada perawat. Aku sudah tak peduli dengan keberadaan masalah yang kini tengah menatapku dengan mata telanjang. Aku dengan segera mengambil handphone dan hendak pergi ke bawah kembali. Namun, Mas Salman seolah tak puas menyakitiku dan kembali menaik tangan dan mendorongku ke tembok. "Apa kamu pikir aku tidak tahu hubunganmu dengan pria tadi?" ucap Mas Salman menuduhku mempunyai hubungan istimewa dengan Mas Azzam. "Apa itu artinya selama ini kamu telah menghianati pernikahan kita, Ana?" "Cih! Hentikan omong kosong mu, Mas!" teriakku tak tahan dengan wajah nya yang berada tepat di hadapan wajah ku. "Jangan memutar balikan fakta, yang fakta itu sendiri tak mungkin bisa kamu sangkal, Mas!" Aku mendorong tubuh Mas Salman dengan kuat membuatnya terduduk di ranjang. "Asal kamu tahu, Mas. Walau pun kamu tidak pernah menyentuhku, aku masih waras dan aku bukan w************n seperti yang kamu butuhkan padaku!" sentak ku lagi. Bukannya marah, Mas Salman malah tersenyum menyungging saat mendengar ucapanku. "Apa kamu ingin sekali aku sentuh, Ana?" Jleb! Lagi-lagi Mas Salman sungguh membuat ku seolah wanita yang rendah. Menyesal aku mengatakan kata-kata itu karena bukannya membuat Mas Salman sadar dengan jalan salah yang di tempuhnya justru membuat ku semakin terhina. Mas Salman bangun dari duduknya dan kembali mendekati ku dengan masih tersenyum menyungging. "Sorry Ana, kamu tak membuat ku b*******h sama sekali," ucapnya membuat dadaku kembang kempis menahan amarah. "Itu karena kamu tidak normal, Mas!" sentak ku mencoba untuk pergi dari kungkungan Mas Salman tapi Mas Salman malah mengapit dagu ku dengan sangat kasar. "Bukan, Ana. Itu bukan karena aku tidak normal," ucapnya membuat ku semakin jijik padanya. "Itu karena cinta, aku lebih mencintai Sandy daripada kamu." Plaaakk!! Aku menampar pipi Mas Salman sangat kuat karena tak tahan dengan ucapan nya. Sungguh, aku jijik mendengarnya mengatakan cinta pada sesama jenisnya. Selain karena aku merasa terhina, aku pun merasa jika Mas Salman harus segera di sadarkan. Mas Salman memegang pipinya dan melepaskan cengkeramannya dari dagu ku. Aku hanya bisa berdoa pada Allah, agar kamu segera diberi hidayah juga kesadaran, Mas. Sadarlah, itu dilarang agama dan mungkin itu akan membuat keluargamu sedih," ucap ku dengan lantang tak peduli dengan apa yang akan dilakukan Mas Salman padaku setelahnya. Entah apa yang membuat Mas Salman tak membalas apa yang aku lakukan. Mas Salman hanya terdiam membisu dengan tatapan ke arah lantai. Merasa aman untuk pergi, aku pun segera beranjak dan melangkahkan kaki untuk pergi meninggalkan Mas Salman. "Terima kasih, Sus." "Iya, hari ini saya akan nginap lagi, segera saya menuju ke sana," ucap ku pada Suster yang menjaga Ibu. Aku bergegas bersiap untuk kembali ke rumah sakit untuk menemui Ibu tanpa mempedulikan Mas Salman yang masih terdiam duduk di samping ranjang. Masa bodoh dengan apa yang akan dilakukannya bahkan jika dirinya kembali menemui Sandy pun aku sudah tidak peduli. Fokus ku hanya kesehatan Ibu. "Mas Azzam." Aku terkejut karena mobil Mas Azzam kini berada di hadapanku. "Aku akan mengantarmu ke rumah sakit," ucapnya dengan tersenyum manis khas pria Indonesia. Aku di lema, karena sudah dipastikan jika Mas Azzam akan kembali bertanya tentang yang terjadi dalam pernikahan ku jika dia tahu Mas Salman tak ikut menjenguk Ibu padahal ada di rumah. 'Apa aku harus mengatakannya pada Mas Azzam?' batin ku dengan menatap mata teduhnya
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD