"An, kenapa kamu menatapku seperti itu? Apa hari ini aku terlihat tampan?" kata Mas Azzam bergurau.
Aku pun memalingkan wajah karena malu telah kepergok Mas Azzam tengah menatap wajahnya. "Kamu memang selalu tampan, Mas." Aku dengan cepat membekap mulutku karena lagi-lagi mulutku mengucapkan makna yang tersirat dalam. "Seorang Azzam selalu tampan dari semenjak SMP sampai sekarang, he he," ucapku mengalihkan sangkaan penuh arti dari Mas Azzam yang kini juga tengah menatapku.
"Apa itu sebuah pujian?"
Aku kembali menatap Mas Azzam sudah sedikit lega karena suasana kembali seperti biasa. "Mungkin, kamu memang tampan Mas. aku bingung aja kenapa kamu masih betah menjomblo, jangan bilang kamu tidak menyukai wanita Mas?" ejekku pada Mas Azzam.
Mas Azzam bercedih tak suka dengan ucapanku. "Cih, amit-amit, An. Aku pria normal ya! Jantungku bahkan selalu berdebar-debar ketika berdekatan bersama wanita."
"Oh, ya?" ejekku tak percaya. "Berarti sekarang kamu pun berdebar-debar, Mas? Kan dekat aku, aku wanita kan?"
Mas Azzam melirik pada ku tanpa menjawab pertanyaanku. "An, apa aku boleh jujur?"
Aku pun sudah merasakan hawa-hawa menegangkan kembali dari raut wajah Mas Azzam. "Tentu, bukankah jujur itu harus?"
Mas Azzam menarik nafasnya panjang dan mengalihkan pandangannya menatap lurus ke depan dengan terus mengemudi. "Apa dulu kamu tahu kalau aku menyukaimu?"
Aku terdiam tak bergeming sejenak. "Tahu, Mas. Tapi sayang, kamu malah kuliah di luar negeri jadi aku pun menikah dengan pria lain." Lagi-lagi aku merutuki ucapanku karena kembali membuat Mas Azzam semakin curiga dengan apa yang terjadi dalam rumah tanggaku.
Tentu saja jika aku bahagia dalam rumah tanggaku, ucapan itu tak mungkin terucap kembali. Entah apa yang saat ini aku rasakan sehingga mulut ini mengeluarkan kata-kata penyesalan karena telah menikah dengan pria selain Mas Azzam. Itu pula yang membuat Mas Azzam kembali melontarkan banyak pertanyaan padaku.
"An, kumohon jujurlah! Apa kamu bahagia menikah dengan Salman?"
Hening. Mulutku kelu, tak mampu mengatakan apa yang ingin sekali aku katakan pada Mas Azzam. Pikiran ku hanyalah pada ancaman Mas Salman yang mengatakan jika aku membocorkan rahasianya maka bukan saja nyawaku yang jadi taruhannya melainkan orang-orang terdekatku.
Aku menarik napas panjang dan dalam entah apa yang akan aku katakan untuk menjawab pertanyaan dari Mas Azzam. "Aku bahagia, Mas," ucapku pada akhirnya karena tak ingin keselamatan Mas Azzam pun menjadi taruhannya. "Alhamdulillah Mas Salman selalu memperlakukanku dengan sangat baik juga romantis," ucapku dengan senyum yang dipaksakan.
Mas Azzam menatap ku lalu kembali fokus pada pandangannya ke depan. "Apa kamu yakin, An?"
"Tentu, memangnya siapa yang akan menyangka kalau suamiku begitu romantis, Mas? Kamu pasti mengira jika dia itu kaku bukan? Salah! Mas Salman begitu romantis dan perhatian." Jijik, rasa jijik itu kembali merasuki pikiranku mengingat bagaimana romantisnya Mas Salman. Mas Salman memang romantis tapi bukan padaku melainkan pada selingkuhannya yang bahkan adalah sesama jenisnya dan kata romantis itulah yang membuatku semakin jijik padanya.
Mas Azzam tak berkata apa-apa lagi setelah jawabanku yang meyakinkannya jika Mas Salman adalah suami yang romantis serta perhatian. 'Robbi, sakit hati ini. Sakit karena aku harus membohongi orang yang selalu ada untukku setiap duka ku.' Aku memalingkan wajah dari pandangan Mas Azzam karena ingin sekali meneteskan air mata yang sudah tak terbendung lagi.
"Ah, syukurlah kalau begitu, An. Aku ikut bahagia mendengarnya," ujar Mas Azzam pelan, tersirat hati yang tersakiti.
Entah itu benar atau tidak jika Mas Azzam bahagia mendengar ku bahagia bersama Mas Salman. Hati ku menjerit ingin berteriak sekuatnya tatkala hati ini tak bisa menerima kenyataan lagi. Jujur, Mas Salman memang lebih tampan daripada Mas Azzam. Akan tetapi, aku selalu lebih nyaman jika tengah bersama Mas Azzam.
*****
"An, aku pulang dulu! kalau ada apa-apa jangan lupa kabarin ya. Salam buat ibu dari menantu yang tak jadi, ha ha," ucap Mas Azzam dengan bergurau namun mampu membuatku tersenyum senang.
"Insya Allah, Mas. Nanti aku sampaikan salam Mas pada ibu ya. Hati-hati di jalan." Aku melambaikan tanganku pada Mas Azzam yang kebetulan tak bisa masuk dulu karena ada hal penting yang harus segera dikerjakannya.
Tring!!
Satu pesan masuk ke handphone ku. Aku pun segera membuka pesan itu. Sedikit terkejut karena ternyata Mas Salman lah yang mengirim pesan padaku.
{ Kenapa tidak bilang jika kamu mau tidur di rumah sakit? } Pesan Mas Salman.
Membuatku mengerutkan kening. Bukannya dia tidak akan peduli dengan ibu? Buktinya dia mengancam ku menggunakan Ibu.
"Ah, bodo amat lah enggak usah dibalas juga kali ya." Aku pun memasukkan kembali handphone-ku tanpa membalas pesan Mas Salman.
Aku masuk kembali ke ruangan yang sejuk itu. Ruangan di mana Ibu masih terbaring lemah di brangkar rumah sakit dengan berbagai alat di tubuhnya. Ya, ibuku sudah hampir satu tahun koma karena kecelakaan tabrak lari dan belum juga sadar sampai saat ini. Mas Salman baik hati yang tutur katanya lembut itulah yang sudah memberikan biaya pengobatan untuk ibu sampai saat ini juga.
Dengan sebab, awalnya aku percaya Mas Salman melakukan semua itu semata-mata karena cintanya padaku. Akan tetapi, kini kata-kata manis bak madu itu bagai racun yang tersekat dalam tenggorokan setiap kali aku mengingat kebodohanku. Bodoh, tentu saja aku bodoh karena aku tak mampu membedakan ketulusan dan kebohongan dari Mas Salman.
"Bu, cepatlah sadar! Ana rindu Ibu." Aku mengecup tangan yang sudah sedikit keriput itu dengan penuh rindu. "Ada salam juga dari menantu yang tak jadi katanya, he he. Assalamualaikum, Bu, hiks." Aku terisak tatkala mengingat masa-masa dulu ketika memakai seragam putih biru.
Dulu Mas Azzam sangat dekat dengan ibu karena Mas Azzam termasuk orang yang ramah tamah. Ibu juga sangat senang ketika Mas Azzam datang ke rumah apalagi membawakan ibu desain-desain baju yang digambar olehnya. Ibu sangat senang menjahit baju dengan desain yang dirancang oleh Mas Azzam bahkan saat ini Ibu pun masih menyimpan baju khusus yang ingin diberikannya pada Mas Azzam. Namun, karena takdir yang tak merestui baju itu mengikat kami. Mas Azzam di bawah pergi oleh kedua orang tuanya ke luar negeri dan menetap di sana sampai Mas Azzam lulus kuliah. Selama kurang lebih 8 tahun aku dan Mas Azzam tidak bertemu dan bertemu kembali satu bulan setelah aku menikah dengan Mas Salman.
Selama hampir 2 bulan ini lah aku dan Mas Azzam berbagi cerita kembali untuk mungkin jalan hidup kami sudah berbeda tak seperti dulu. Aku yang sudah menjadi seorang istri dari Salman Emir. Mas Azzam pun yang kini sudah menjadi orang yang sukses walaupun mungkin Mas Salman masih unggul dari Mas Azzam.
"Apa aku boleh bilang menyesal menikah dengan Mas Salman, Bu? Dia tidak mencintaiku, Bu. Dia bohong padaku selama ini." Dengan terisak aku mencurahkan isi hatiku pada ibu walau mungkin Ibu hanya mampu mendengar ku dan tak mampu menjawab.
"Jadi kamu bohong, An?"
Aku tersentak karena ternyata Mas Azzam mendengar ucapanku pada Ibu. "Mas Azzam."