6. Ancam Salman

1171 Words
Setelah mandi aku pun mengambil handphone yang sudah dari berdering tapi aku abaikan. Dan benar saja pesan dan panggilan telepon dari Mas Azzam sudah beberapa kali aku lewatkan. Aku pun membalas pesan Mas Azzam jika aku baik-baik saja. Pesan dari Mas Azzam tentu saja hanya bertanya bagaimana keadaanku dan Ibu hari ini. Mungkin karena Mas Azzam masih di luar kota, Mas Azzam pun tidak tahu jika tadi siang aku kantornya. Perasaan menyesal pun kini merasuki hati dan pikiranku. Menyesal karena harus menikah dengan Mas Salman padahal Mas Azzam lah yang selama ini memberiku semangat dalam menghadapi ujian dari Ibu yang masih terbaring lemah. Mas Azzam juga lah yang lebih perhatian padaku ketimbang Mas Salman yang katanya sangat sibuk dengan pekerjaannya. "Maaf, Mas. Untuk kali ini aku tidak bisa membagi masalahku denganmu." Aku meremas handphone dengan sesal yang tiada guna. **** "An, jika ada apa-apa dengan ibu kamu, jangan sampai kami tidak tahu ya, An. Ibu tidak akan memaafkan diri ibu jika sampai ibu menelantarkan kamu juga ibu kamu." Aku mengangkat wajahku menatap ibu mertua yang sangat menyayangiku. "Iya, Bu. Terima kasih karena ibu menyayangi Ana dengan tulus, juga begitu perhatian pada ibu Ana." "Kamu ini apaan sih, An? Kamu menantu ibu dan sudah pasti ibumu juga adalah ibu Salman, besan ibu," ujarnya meremas tanganku lembut. "Jangan bilang apa-apa lagi selain kata iya, okey!" Aku tersenyum tipis sedikit bahagia karena ternyata masih ada orang yang menyayangiku dengan tulus dari keluarga Mas Salman. "Iya, Bu." "Nah, begitu kan cantik, seperti menantu yang ibu inginkan, he he." Aku pun sedikit melupakan rasa sakit dan juga sesak di dadaku ketika ibu mertuaku menceritakan berbagai cerita padaku. Sampai ku dengar suara mobil Mas Salman memasuki garasi rumah kami. Ibu mertuaku begitu senang saat melihat putranya telah pulang ke rumah di siang hari. "Bu, Ibu di sini?" ujar Mas Salman menyalami ibunya. "Kamu ini, Al. Tidak sopan benar bertanya seperti itu pada ibu," gerutu ibu mertuaku membuat Mas Salman tertawa renyah. "He he, bukan begitu, Bu. Al hanya sedikit terkejut saja Ibu sudah berada di rumah jam segini, kan biasanya Ibu masih sibuk dengan berbagai kegiatan Ibu." Aku hanya mendengarkan dengan malas ucapan dan tutur kata dari Mas Salman yang begitu lembut. Tutur kata yang selalu membuatku meleleh itu, kini membuatku begitu jijik mendengarnya. Mungkin semua ucapan dan kata-kata baik dari mulut Mas Salman kini bagiku sangat menjijikkan karena semua itu tak sesuai dengan akhlak Mas Salman yang sebenarnya. "An, kok tumben diam saja? Biasanya'kan kamu selalu antusias menyambut suamimu pulang?" kata ibuku dengan lembut penuh godaan seperti biasanya. Aku sedikit tersentak karena aku pun melupakan jika ibu mertuaku tak tahu dengan apa yang terjadi padaku dan rumah tanggaku. Bahkan Mas Salman akan terus membuat ibu mertuaku tidak akan tahu dengan terus menekanku dan mengancamku. Entah sampai kapan aku akan berpura-pura dengan semua kebohongan suamiku. Aku pun beranjak menghampiri Mas Salman dan mengambil tangannya untuk ku kecup punggungnya. Jijik, jijik sekali aku menyentuh tangan yang aku bayangkan sudah di pakai Mas Salman untuk menyentuh Sandy. Namun, aku harus bisa bertahan untuk berpura-pura jika rumah tanggaku dengan Mas Salman baik-baik saja di depan ibu mertuaku. "Oh iya, An. Bagaimana datang bulanmu? Apa lancar?" Deg!! Mulutku seketika kelu, saat ibu mertuaku bertanya tentang bagaimana keadaan kesuburanku.Aku faham, apalagi kelanjutan dari pertanyaan tentang datang bulan? Sudah pasti tujuannya adalah bertanya tentang keturunan bukan? Lalu apa yang harus aku katakan pada Ibu? Tidak mungkin aku mengatakan jika nyatanya aku istri yang masih perawan bukan? "Ana selalu datang bulan dengan sangat lancar setiap bulannya, iya'kan sayang?" 'Cih, jijik sekali aku mendengar ucapan mesramu, Mas,' bantinku. Bulu kudukku merinding dibuatnya. "Ana memang suka sedikit telat datang bulan, Bu." "Kalian ini bagaimana, sih? Tadi Salman bilang Ana selalu datang bulan tepat waktu dan lancar. Ana bilang memang tidak lancar, mana yang benar?" Mas Salman menatapku tak suka karena jawabanku tak sesuai dengan jawaban yang diucapkan olehnya pada Ibu. 'Heuh, aku puas sekali melihatnya kesal,' gumamku dalam hati. "Terserah, deh. Yang jelas ibu itu pengen cepat-cepat punya cucu. Kalian juga kan sudah 2 bulan menikah, jadi Ibu harap kalian bisa cepat memberikan kabar baik untuk ibu ya." Ibu menatapku dengan senyum lembutnya penuh harap. Entah aku harus merasa berdosa atau tidak karena telah mengikuti kebohongan yang dibuat oleh Mas Salman pada keluarganya karena di sini aku pun korban. Ingin rasanya aku mengatakan pada ibu tentang apa yang sebenarnya terjadi diantara kami. Namun, aku pun masih bingung dengan apa yang akan terjadi pada ibuku nanti. "Bagaimana mungkin aku bisa hamil, Bu." "Sayang, bagaimana keadaan ibumu?" Mas Salman menatapku dengan senyum menyungging penuh arti. Lagi-lagi Mas Salman selalu saja mengalihkan pembicaraan dengan cepat. Aku pun tak mungkin mengatakan yang sebenarnya pada ibu karena sesungguhnya ucapan Mas Salman itu adalah ancaman halus bagiku. Mungkin sebaiknya aku pasrah untuk kebaikan ibu. "Looh, kok pertanyaan suaminya tidak dijawab, An?" Aku menarik napasku dengan sangat berat berat. Bagaimana mungkin aku sudi harus mengatakan keadaan ibuku jika kenyataannya Mas Salman malah mengancamku dengan memanfaatkan keadaan Ibu. Tak ada jalan lain untuk sekarang selain pasrah dan mengikuti kemauan Mas Salman. "Alhamdulillah baik, Mas. Semalam aku rindu pada Ibu jadi aku tidur di sana." Ibu menoleh pada Salman. "Apa kamu tidak tahu istrimu tidur di rumah sakit, Al?" tanyanya pada Mas Salman dengan panggilan sayang seorang Ibu pada putranya. Mas Salman lagi-lagi menatapku tajam karena mungkin ucapanku membuat dirinya harus kembali berbohong pada ibu. "Oh, pasti Ana sudah mengirim pesan'kan? Al, belum buka-buka handphone Bu, karena sibuk," ucapnya dengan tersenyum manis pada ibu. Ibu terdiam sejenak mungkin merasa ada yang aneh dengan interaksi antara Mas Salman denganku. "Ooh, begitu? Baiklah, An. Terima kasih ya, kamu sudah menemani ibu sarapan, terus juga sudah menemani ibu ngobrol sampai jam segini, he he." "Sama-sama, Bu." "Ibu pulang dulu, kebetulan ibu juga sudah ditunggu oleh para ibu-ibu yang mau belajar ngaji bareng." "Iya, Bu. Hati-hati ya Ibu di jalan! Semoga amal ibadah Ibu selalu dilipat curahkan dengan rahmat dan maghfirah dari Allah," ucapku saat mengingat kelakuan putranya yang keluar dari ajaran agama yang selalu diajarkan oleh orang tuanya. Sedih, di lema dan sungguh aku merasa sangat berdosa saat aku ingat pada kebohonganku pada Ibu. Aku pun begitu iba pada ibu dan ayah mertuaku yang selalu mengajarkan anak-anaknya tentang hukum-hukum agama Islam, bahkan pada sanak saudara juga pada orang-orang sekitarnya yang ingin belajar ngaji karena mereka termasuk orang a'lim yang banyak tahu ilmu Allah. Lalu, bagaimana nanti perasaan mereka saat mereka tahu tentang Mas Salman yang memanfaatkan pernikahan hanya untuk menutupi akhlak menyimpangnya yang menyukai sesama jenis? Aku hanya mampu menarik napas dan pasrah dengan apa yang akan terjadi nanti. Sesuai prediksiku setelah kepergian Ibu, Mas Salman langsung saja mencercaku dengan berbagai pertanyaan. Namun, kali ini aku tidak merasa takut sedikit pun padanya karena rasa takutku telah tertutup oleh rasa benci dan jijik padanya. Mas Salman menarik tanganku dengan kasar. "Apa saja yang kau katakan pada Ibu, hah?" sentaknya membuatku meringis karena cengkeraman Mas Salman yang kuat. "Berani kamu melanggar janji, maka bukan saja nyawa ibumu yang jadi taruhannya melainkan orang-orang yang ada di sekelilingmu juga, ingat itu, Ana!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD