Tut ... tut ... tut ...
( Nomer yang anda yang tuju saat ini tidak dapat di hubungi )
Aku mengusap wajahku begitu berat. Mas Azzam tidak aktif. Aku kembali memberikan semangat pada diriku sendiri. Aku memutuskan untuk ke kantor Mas Azzam karena aku benar-benar tak punya pilihan. Sesampainya di kantor Mas Azzam, aku pun di buat kecewa karena nyatanya Mas Azzam tengah di luar kota.
"Ooh, gitu, Pak? Sejak kapan Mas Azzam ke luar kota?"
"Tadi pagi, Bu Ana," kata asistennya.
"Baik, terima kasih, ya Pak."
Aku kembali meremas dadaku yang tak henti-hentinya sesak. Pupus sudah harapanku sekarang. Pria satu-satunya yang selalu peduli padaku pun kini tak bisa membantuku. Aku kembali ke rumah sakit karena hari sudah mulai sore. Pasrah, aku pasrah.
"Selamat sore, istriku." Mas Salman kembali menyeringai mengejekku.
Aku tidak menghiraukan Mas Salman dan lebih memilih fokus pada aktifitasku membereskan bajuku. Aku tahu maksud dan tujuannya mengejekku, tentu saja karena kini waktu yang diberikan olehnya sudah terus berjalan. Mungkin karena kesal Mas Salman aku abaikan, Mas Salman menarik tanganku.
"Kamu berani mengabaikan'ku, Ana?"
Aku menatap Mas Salman dengan d**a yang kembali kembang kempis. "Apa maumu, Mas?"
Mas Salman menyeringai. "Kamu masih belum menyerah, Ana? Waktumu memang masih 4 jam lagi, ya 4 jam lagi. Tapi, jangan sampai aku menguranginya lagi karena kamu mengabaikan'ku."
"Kamu tidak punya hati, Mas!"
"Terserah kamu mau bilang apa, Ana," ejeknya lagi.
"Nona Ana, Dokter memanggil Anda."
Aku menatap suster yang memanggilku. Pikiranku pun sudah bisa menebak apa yang akan terjadi jika Dokter sudah memanggilku. Aku menoleh pada Mas Salman yang semakin menyeringai.
"Baik, Sus. Saya akan segera ke sana, terima kasih."
Dengan langkah yang semakin gontai, aku membuka pintu ruangan sang dokter yang sudah menungguku.
"Apa maksud, Dokter?"
"Ya, Nona. Kondisi Ibu Anda hari ini semakin memburuk dan harus segera mendapatkan penanganan ektra. Anda harus segera membereskan administrasinya, agar kita bisa langsung mengambil langkah terbaik."
Hancur, sesak, bingung juga lelah yang tak berkesudahan itu kembali mendera tubuhku. Aku tidak mungkin bisa membayar biaya pengobatan Ibu yang memang tidak sedikit. Dengan berat hati aku kembali ke ruangan Ibu yang ternyata Mas Salman masih asik bermain handphonenya. Padahal dia bilang akan ke rumah sakit lagi nanti jam delapan malam.
Aku memejamkan mata dengan bibir bergetar, aku pasrah karena aku pun merasa lelah dengan semuanya. "Baik, Mas. Aku akan tutup mulut asal kamu menjamin semua pengobatan Ibu."
Semalam aku bermunajat pada sang Kholiq untuk jalan keluar dari ujian yang aku hadapi. Nyatanya, Allah menginginkan aku untuk menjadi wanita yang lebih kuat lagi dengan mengikuti keinginan Mas Salman. Aku tak punya pilihan karena aku tak punya saudara yang bisa membantuku. Allah pun tidak mengizinkan aku meminta bantuan Mas Azzam. Karena nyatanya kini Mas Azzam tengah berada di luar kota dan tidak dapat di hubungi sedangkan waktu yang diberikan oleh Mas Salman sudah mepet.
Aku pun sedikit trauma jika harus mencari pekerjaan yang bisa menghasilkan uang banyak dengan cepat. Karena nyatanya tak ada yang instan kecuali dengan jalan yang sesat. Aku tak ingin kejadian semalam terjadi lagi. Mungkin lebih baik aku menutup mulut dan aku akan tetap hidup tenang walau aku harus kuat dengan kebohongan Mas Salman pada keluarganya.
Mas Salman tersenyum lebar mendengar keputusanku dan langsung beranjak mengambil berkas perjanjian. "Kenapa kamu selalu membuang-buang waktu, Ana?"
Lelehan bening dari mataku pun terus mengalir dan tak bisa di hentikan lagi. "Sudahlah, aku akan tanda tangan surat perjanjian itu."
Mas Salman tersenyum menyeringai puas. "Cepat tanda tangan! Aku ada meeting pagi ini dan aku tidak ingin membuang-buang waktuku hanya untuk mengurusmu." Mas Salman kembali melemparkan dokumen perjanjian itu ke hadapanku. "Cepat, Ana!"
Aku pun tak ingin banyak bicara dan banyak berpikir lagi selain pasrah. Aku membubuhkan namaku di atas dokumen perjanjian batil itu dengan pasti. "Sudah," ucapku langsung memberikan dokumen itu pada Mas Salman. "Ingat ya Mas, jika sampai kamu tidak menjamin pengobatan Ibu, maka-"
"Kamu tidak perlu mengancam ku seperti itu, Ana! Aku bukan orang bodoh," ucapnya hendak pergi meninggalkanku.
Aku menatap benci Mas Salman dengan begitu jijik karena bahkan dirinya tak merasa berdosa pada sang Ilahi lalu bagaimana mungkin dia bisa merasa bersalah padaku. "Apa kamu tidak merasa berdosa, Mas? Itu dosa besar, Mas!"
Mas Salman menghentikan langkahnya dan menoleh padaku. "Ck, sudahlah, An! Aku tak mau membahas ini sekarang, kamu sudah tanda tangan ini dan kamu bebas melakukan apapun termasuk jika kamu mau mencari pria lain."
"Sadarlah, Mas! Itu dosa besar dan dilarang agama, Mas."
Mas Salman langsung menatapku dengan sorot mata merah tajam. " Diam, Ana! Tahu apa kamu tentang dosa, hah? Kamu hanya cukup menutup mulut dan hubungan kita akan tetap baik-baik saja."
Begitu entengnya dia mengatakan bahwa hubungan kita akan baik-baik saja tanpa mempedulikan bagaimana perasaanku sebagai istrinya. "Aku bahkan lebih terhina dari seorang gay," ucapku dengan sedikit lantang karena sesak di dadaku yang sudah tak tertahankan. "Hentikan hubungan haram kalian, Mas!"
Plakk!!
"Tutup mulutmu, Ana! Atau aku akan berbuat yang lebih kejam dari ini padamu!"
Lelehan bening itu kembali mengalir deras dari mataku tatkala suamiku telah berani menamparku hanya karena membela pasangan laknatnya. Mas Salman pergi meninggalkan aku tanpa punya rasa iba sedikit pun. Mas Salman begitu bahagia setelah aku menandatangani surat perjanjian batil itu. Aku masih mematung meraba pipiku yang perih walau hatiku lebih perih.
Setelah beberapa aku merenung. Aku segera beranjak untuk pulang dulu ke rumah. Walau bagaimanapun ibu mertuaku pasti tahu aku tidak pulang ke rumah. Sebab, hampir setiap waktu ibu mertuaku bertanya tentang keadaan di rumahku pada irt yang dipercayainya.
Ya, mungkin salah satu alasan aku untuk mau bertahan adalah karena keluarga suamiku begitu menyayangiku. Aku sungguh merasa kasihan pada mereka yang ternyata telah tertipu oleh perilaku Soleh dari Mas Salman. Mungkin jika aku tak terlalu merasa kecewa karena bisa saja aku mencari pria pengganti Mas Salman. Akan tetapi, bagaimana dengan keluarganya? Tentu mereka akan sangat terpukul ketika mereka tahu kelakuan Mas Salman yang menyimpang.
Apa yang aku khawatirkan ternyata tak meleset. Ibu mertuaku sudah berada di rumah dalam keadaan yang sangat cemas padaku. Bahkan sudah hampir dua hari aku tidak pulang ke rumah dan aku lupa memberi kabar padanya agar dia tak terlalu mengkhawatirkan'ku.
"An, Kamu dari mana? Kamu nggak pulang semalam Ibu khawatir," kata ibu mertuaku lalu memelukku dengan erat.
"Maaf, Bu. Ana lupa memberi kabar Ibu kalau Ana tidur di rumah sakit." ucapku pada ibu mertuaku.
"Tidur di rumah sakit?" tanyanya sedikit heran. "Apa ada sesuatu pada ibumu, An?" tanyanya lagi khawatir.
Aku begitu bahagia karena ternyata walaupun Mas Salman seperti sudah mencampakkan'ku, tapi ibu mertuaku begitu menyayangiku. "Tidak, Bu. Ana hanya merasa sedikit rindu jadi Ana tidur bersama Ibu," ucapku berbohong karena tak ingin membuat ibu mertuaku semakin khawatir.
"Alhamdulillah, ibu khawatir jika terjadi sesuatu sama kamu juga ibu kamu." Ibu mertuaku kembali memelukku. "Kamu pasti belum mandi kan? Mandilah dulu nanti kita makan! Ibu sudah bawa makanan dari rumah kebetulan Akilah ada tugas pagi jadi katanya tak bisa sarapan bareng ibu. Kamu temenin ibu sarapan ya," pintanya dengan lembut seperti bagaimana Mas Salman berbicara denganku awal kita bertemu.
Aku pun segera membersihkan diri mencoba melupakan apa yang terjadi dalam kehidupanku yang pahit. Mencoba tetap tegar dan menerima ujian yang begitu pahit itu. Aku yakin jika suatu hari nanti aku bisa keluar dari belenggu dalam hidupku. Namun, mungkin untuk kali ini aku harus bersabar dan mengikuti kemauan Mas Salman seperti perjanjian ku dengannya.